Suasana ruang rawat inap VVIP mendadak menjadi legang, seluruh prabotannya membisu. Tak ada bunyi lain terdengar selain detak jantung Jasmine yang menderu semakin cepat tak kala wajah Leonardo semakin mendekat.
Sejengkal, wajah Leonardo hanya berjarak sejengkal dari wajahnya. Hembusan napasnya kian merasa panas dan teratur menyentuh permukaan kulit. Hidung mancung keduanya hampir bersentuhan, membuat Jasmine sempurna menahan napasnya. Menengok lekat pada dua manik mata Leonardo, juga wajah tampan dengan garis wajah tegas itu.
Wajah tampan itu berhasil membuat Jasmine menelan ludahnya dengan berat.
Wajah tampan itu berhasil membuat napas Jasmine tercekat dan hatinya kacau.
Wajah tampan itu berhasil menyita seluruh fokus dan membuat wajah Jasmine semakin panas.
"Hahahaha!!" tawa lantang Leonardo memecah keheningan. Ia menjatuhkan diri ke atas tubuh Jasmine. Namun tetap menahan bagian bawah agar tak menekan perut Jasmine.
"Wajahmu lucu sekali, Baby! Apa yang kau harapkan dariku? Ciuman panas penuh gairah?" ledekkan Leonardo membuat Jasmine kesal dan mengerutuki dirinya. Benar-benar lengah sedikit saja, Jasmine langsung menjadi bahan olokan Leonardo.
"Sialan! Turun, jangan menindihku, kau berat!!" Jasmine mendenguskan napasnya kasar, ia mendorong tubuh Leonardo agar lekas beranjak darinya.
Leonardo bangkit sambil terkikih, ia menghenyakkan pantatnya pada kursi di samping Jasmine. Mengambil ponsel untuk hubungi kakaknya, Alexiana. Menanyakan kapan Jasmine diperbolehkan meninggalkan rumah sakit.
Setelah percakapan singkat dengan sambungan nirkabel. Leonardo beralih untuk menatap Jasmine. "Alexiana akan kemari sebentar lagi."
"Bisakah aku pulang? Aku bosan di sini."
"Tentu saja, kau akan lebih cepat pulih bila berada di dekat Ibu dan adikmu." Leonardo meletakkan ponsel di atas meja nakas.
"Kenapa tiba-tiba kau berubah? Kenapa kau jadi baik? Apa kau sedang sakit?" tanya Jasmine, ia tak menyangka Leonardo menjadi setenang ini.
"Kan sudah kubilang, aku hanya ingin kau hidup. Lagi pula ada janin yang mesti kujaga. Dia anakku, walaupun kau tak pernah menginginkannya dia tetap anakku." Leonardo menyunggingkan bibirnya sembari sibuk mengupas buah apel.
Jasmine tercekat, entah kenapa ia merasa bersalah mendengar penuturan Leonardo. Mendengar kata 'anakku' dan bukannya 'anak kita' lagi yang terlontar dari bibir Leonardo membuat hati Jasmine tidak nyaman. Kenapa? Apa Jasmine mulai merasa bahwa anak ini juga bagian dalam hidupnya?
"Ini makanlah, kau butuh banyak asupan gizi. Sebuah kehormatan aku mau mengupaskannya untukmu, jadi kau harus menghabiskannya." Leonardo menyodorkan piring berisi buah apel dan jeruk yang telah dipotong kecil-kecil. Jasmine dengan mudah bisa menikmatinya.
Perutnya yang keroncongan tentu saja tak membuat Jasmine menyia-yiakan pemberian Leonardo. Nampan sarapan sudah diangkut oleh perawat, masih satu jam lagi menunggu jatah makan siang. Buah-buahan ini cukup untuk mengganjal perutnya sebelum makan siang datang. Sebenarnya Jasmine bisa saja meminta makan siang, tapi ia merasa tak enak hati pada Leonardo.
"Makan pelan-pelan, nanti tersedak!" Leonardo bergeleng heran sedangkan Jasmine mengangguk patuh.
Dasar anjing liar. Butuh kesabaran ekstra untuk membuatnya patuh. Batin Leonardo, untuk kesekian kalinya ia melihat Jasmine makan dengan begitu lahap walaupun dengan perasaan takut-takut.
"Aku akan mengajakmu menemui orang tuaku besok," ucap Leonardo.
"Uhuk ... uhuk!!" Jasmine langsung tersedak.
"Ck, sudah kubilang makan pelan-pelan!" Leonardo menepuk punggung Jasmine dan memberinya segelas air. Jasmine langsung menggenggaknya.
"Bertemu dengan orang tuamu?" sergah Jasmine setelah berhenti terbatuk.
"Iya, kau kan akan menjadi istriku. Orang tuaku tentu harus tahu siapa calon istri yang akan mendampingi anaknya, walaupun hanya sembilan bulan ke depan." Leonardo menyeringai.
"Benar, kau benar. Tapi kenapa secepat ini? Aku ... aku belum siap." Jasmine tergagap, muncul dalam benaknya bayangan akan keluarga Wijaya. Keluarga dengan martabat tinggi dan kekayaan bak sultan. Jasmine bergidik saat membayangkan akan betapa kejam dan dinginnya mereka saat melihat ada wanita kelas rendah yang masuk ke dalam daftar anggota keluarga.
Leonardo mengerti gelagat Jasmine. "Keluargaku tidak seburuk bayanganmu! Well, harus kuakui, ibu dan kakakku pasti akan menyudutkanmu. Tapi tenang saja karena aku akan membelamu."
Leonardo mencomot sepotong apel dan ikut memakannya. Jam makan siang hampir tiba dan pasti juga membuatnya lapar.
"Aku takut, bagaimana kalau mereka tidak akan menerimaku?" Jasmine menggigit bibirnya.
"Kenapa kau takut? Bukankah kau hanya akan bersamaku sampai anak itu lahir?! Apa yang kau harapkan? Kebaikan keluargaku? Senyuman mereka? Cih, kau naif sekali, Baby!!" Leonardo terkikih, Jasmine meliriknya sambil menahan kesal.
Leonardo mendekatkan wajahnya, tangannya yang lebar mengelus masuk ke belakang tengkuk Jasmine. Dengan perlahan Leonardo menarik kepala Jasmine sampai telinganya mendekat pada bibir. Leonardo mengecup daun telinga Jasmine seraya berbisik. "Tahan saja penghinaan mereka sampai anak itu lahir. Toh kompensasi yang kuberikan pastinya cukup untuk membuatmu tuli selama sembilan bulan."
Maksud Leonardo dengan kata tuli adalah supaya Jasmine menutup telinga dan mata dengan apa yang akan ia dengar dan lihat selama menjadi anggota keluarga Wijaya.
Lidah Jasmine langsung kelu. Sikap dingin Leonardo membuatnya merasa tidak nyaman. Ucapan itu seakan menuduh Jasmine menjadi seseorang yang menjual anak dan juga harga dirinya demi uang dan kebebasan. Padahal jauh dari semua pemikirannya, Leonardo hanya ingin Jasmine merasakan semua penderitaan yang ia alami karena Jasmine menolak dan membunuh anaknya.
"Ah, Aku lelah. Sepertinya aku butuh liburan, kau mau berbulan madu ke mana?" Leonardo bangkit, mengesak tangan dan berjalan menuju jendela. Ia menengok ke arah taman hijau yang asri.
"Maladewa? New Zealand?" tanya Leonardo.
"Aku sedang mengandung." Jasmine menolak, teringat kata tetangganya kalau hamil muda tidak boleh naik pesawat.
"Ah, Benar, kau sedang hamil." Leonardo masih menatap taman, memunggungi Jasmine.
Jasmine menatap lamat-lamat punggung kokoh Leonardo. Kemeja putihnya melekat pada lenciran otot-otot punggung yang kuat dan liat. Hati Jasmine bergetar, entah kenapa jantungnya berdegup kencang saat melihat punggung itu. Teringat kembali malam-malam yang pernah ia habiskan sambil menatap punggung itu.
Kau pasti sudah gila, Jas!! pikir Jasmine.
ooooOoooo
Wah Jasmine perlahan mulai bucin. Jatuh ke dalam pesona si singa
Awokokokoko .... 🦁🦁🦁
Vote gaes, muucih 💋💋💋