Jasmine sempat tertegun beberapa saat kemudian menoleh namun pria itu sudah tidak ada di sana. Menghilang pada tikungan jalan.
"Suara itu, El??!" Mata hitam Jasmine membulat sempurna saat mengenali suara yang pernah memenuhi hari-harinya dulu. Suara yang pernah teramat sangat ia rindukan.
"Apa aku terlalu merindukannya sampai merasa orang lain adalah dia?" Jasmine menggelengkan kepalanya berusaha menerima kenyataan dan realita bahwa suami pertamanya itu telah meninggal. Jasmine sendiri yang menguburkannya. Jasmine sendiri yang menaburkan tanah ke dalam liang makamnya.
Matahari bersinar cukup terik, beberapa ekor burung merpati berkeliaran di taman kota, mengambil remah-remah roti milik pengunjung yang kebanyakan adalah orang kantor sekitar. Mereka menunggu jam makan siang berakhir. Jasmine belum memperoleh tujuan, kakinya masih berjalan luntang lantung tanpa arah.
•
•
•
Namun entah bagaimana Jasmine melangkah sampai tiba di rumah lamanya. Kakinya lecet karena berjalan cukup jauh dengan heels. Keringat membasahi keningnya, menetes sampai ke anak rambut.
"Tak kusangka aku akan melangkah kembali ke tempat ini. Saat aku tak punya tujuan memang rumah ini selalu menjadi tempatku pulang." Jasmine tersenyum getir.
Tangan kurusnya menarik pagar besi agar terbuka, pagar itu sedikit seret karena sudah lama tidak dibuka. Jasmine melangkah masuk, ia melirik taman di depan rumah, rumput liar mulai tumbuh meninggi. Teringat kembali bayangan taman yang penuh pot-pot bunga dan tanaman hias, Rafael selalu merawatnya dengan baik karena takut Jasmine merasa bosan bila ia meninggalkannya seorang diri saat pergi menggambar.
Keduanya sering menikmati pagi dengan secangkir kopi di pinggir taman itu. Mengobrol ringan sampai bermesraan. Jasmine merasa aneh mengingat itu semua hanyalah kebohongan yang diciptakan oleh Rafael.
"Ah, kasihan kalian. Sudah tak terawat." Jasmine mencabuti rumput liar beberapa saat, namun bunga-bunga itu telah mati, tindakkannya percuma. Bahu Jasmine melemas, menyadari sudah tak ada yang bisa ia lakukan pada tanaman itu Jasmine pun bangkit.
Jasmine melangkah masuk, membuka pintu rumahnya. Bau lembab dan apek tercium pekat saat ia melangkah ke dalam. Benar saja, sudah hampir dua bulan ia tak menjamah rumah mungil itu, debu terlihat menebal, sarang laba-laba mulai bergelayutan.
"Uhuk, uhuk, baunya." Jasmine mengibaskan tangan di depan hidung, debu membuatnya terbatuk.
Mata Jasmine membulat saat mendapati rumahnya tertata rapi. Apa ada yang membersihkannya setelah Jasmine pergi? Siapa? Lalu bagaimana dengan semua peluru milik Rafael??
Jasmine meloncat masuk ke dalam kamar, sprei telah diganti dengan yang baru. Foto-fotonya bersama Rafael di atas nakas bersih. Barang-barang yang di pack dalam kardus juga hilang. Semunya jejak kebersamaannya dengan Rafael tersapu bersih.
Jasmine menelan ludahnya berat, dengan segera ia masuk ke dalam lemari. Beruntung satu kotak penuh peluru tidak menghilang, bahkan tidak terjamah. Permukaannya berdebu.
"Syukurlah."
Wanita itu masuk ke dalam ruang kosong di belakang lemari, ia menata kembali peluru-peluru itu di dalam loker. Peluru timah itu ternyata cukup banyak. Kadang Jasmine berpikir bahwa Rafael benar-benar pembunuh yang dibicarakan para pelahap berita di televisi. Dan sampai kematian menjemputnya pun Rafael tak pernah berkata jujur pada Jasmine. Itulah yang membuat Jasmine sesak. Apa selama ini dia benar-benar hidup dengan seorang pembohong dan pembunuh?
"Bagaikan mimpi, aku bahkan merasa tak mengenal siapa dirimu." Jasmine mengelus foto Rafael dan kakaknya berseragam tentara elit di atas meja, tempat Rafael membuat sendiri pelurunya. Jasmine mengambil kalung, melipat foto itu, dan mengesaknya ke dalam saku celana.
Setelah merenung beberapa saat Jasmine memutuskan untuk pergi dari rumahnya. Dengan tertatih dia melangkah menuju ke area pemakaman umum tak jauh gereja. Tempat suaminya beristirahat dengan tenang.
Rafael yang penasaran dari tadi terus mengikuti keberadaan wanita itu. Ia mengikuti langkah Jasmine di belakangnya, menunggu dengan sabar sampai wanita itu keluar dari dalam rumah dan menuju ke tempat lain.
Kenapa ia terburu-buru? Mau kemana? Rafael kembali mengikuti Jasmine dari belakang.
Jasmine sempat berhenti beberapa saat untuk mematahkan sepatu heelsnya. Berjalan jauh dengan sepatu hak tinggi sungguh membuatnya tersiksa. Rafael pun ikut berhenti saat Jasmine berhenti, ia bersembunyi bila Jasmine menoleh. Rafael saat ini lebih terlihat lihai sebagai penguntit profesional dibandingkan pembunuh bayaran.
•
•
•
PEMAKAMAN UMUM
Rafael menatap heran dengan deretan huruf yang menghiasi gapura pintu masuk. Sebuah pemakaman umum. Untuk apa wanita muda itu datang kemari setelah dari rumah kosong? Apa orang tuanya sudah meninggal? Atau saudaranya? Tapi pakaian yang dikenakannya terlalu mahal untuk mendatangi pemakaman umum sederhana seperti ini.
Di dorong dengan rasa penasaran Rafael melanjutkan langkah kakinya memasuki taman makam. Di sana ia melihat Jasmine menangis di depan sebuah gundukan makam. Wajah cantik Jasmine mengeryit karena kulitnya sempat tergores saat berusaha membersihkan area makam dengan tangan kosong.
Setelah membersihkan area makam, Jasmine duduk di sampingnya. Ia menatap sendu ke arah gundukan tanah. Jasmine bahkan belum sempat membangun keramik dan ia sudah menikah lagi dengan pria lain. Bila Rafael bisa melihatnya dari atas sana, mungkin ia akan sangat kecewa padanya.
"Maaf, El, maafkan aku. Aku sudah menikah lagi. Dan bahkan mengandung anak dari pria itu. Aku juga telah mencintainya, maafkan aku yang secepat itu berpindah ke lain hati, El." Jasmine menggigit bibirnya yang bergetar. Ia kembali membayangkan pengkhianatan Leonardo dan hatinya sesak. Singkatnya Jasmine memang telah mencintai Leonardo, sakit hatinya membuktikan bahwa ia sangat mencintai pria itu.
"Mungkin ini semua karma, El. Aku pernah berkhianat padamu, aku pernah tidur dengan lelaki lain saat kau masih menjadi suamiku dulu. Dan kini, suamiku mengkhianatiku dengan wanita lain." Jasmine mengusap air matanya yang kembali luruh.
"Namun semua itu salahku juga, aku pernah hampir membunuh anak kami, El. Aku menganggapnya sebuah kesalahan. Aku melampiasakan depresi dan kesedihanku pada anak ini. Mungkin karena itu sekarang dia membenciku." Jasmine mengelus perutnya. Ia semakin terisak saat mengingat proses menyakitkan itu berlangsung begitu cepat, tanpa jeda, dimulai dari terungkapnya kebohongan Rafael, lalu kehilangan Rafael, disusul obsesi Leonado yang berujung kehamilan, dan kini pengkhianatan Leonardo bersama wanita lain.
"Tak pantaskah aku bahagia, El?" Jasmine menunduk, keringat dan air mata menyatu menjadi satu.
Kesiur angin menggoyangkan dedaunan pohon kamboja yang tumbuh subur di sekitar makam. Menimbulkan bunyi gemeresik yang menenangkan hati. Angin pun mulai terasa dingin menerpa wajah, tanda hari mulai sore.
Jasmine berhenti menangis, ia termenung sambil memeluk lututnya. Beralaskan karpet alam, ia duduk di dekat makam almarhum suaminya itu. Jasmine mengelus gundukkan makam.
"Kenapa dulu kau berbohong padaku, El? Apa aku tak layak untuk dicintai? Siapa sebenarnya dirimu? Kenapa kau sampai harus berbohong padaku? Kenapa kau menyembunyikan semuanya?" Jasmine mengeluarkan kalung dari dalam saku celana, ia mengamati kalung itu beberapa saat sebelum menguburkannya di dalam tanah.
"Siapa itu Light? Siapa itu Shadow? Kau yang mana?" Hela Jasmine panjang. Cukup lama wanita itu menangis dan merenung di pinggir makam.
Dari kejauhan Rafael masih mengamati Jasmine di bawah pohon kamboja. Rafael tak berani mendekat, jadi ia tak bisa tahu apa yang sedang dipergumulkan oleh wanita itu. Kenapa ia sampai menangis sekencang itu di pinggir makam? Makam siapa?
"Kenapa hatiku sesak saat melihatmu menangis? Kau siapa? Apa kau ada hubungannya denganku?" Rafael bergumam, ia ingin menyerbu ke sana, bertanya sejelas mungkin. Tapi sebagai buronan dan pemilik identitas palsu. Rafael tak bisa begitu saja menghampiri Jasmine dan memperlihatkan wajahnya. Ia harus berpikir panjang, masih ada Eric yang tertidur koma, dan juga teman-teman yang membutuhkannya.
Jasmine terlihat bangkit, ia mengelus dan mengecup kayu nisan sebelum meninggalkan area pemakaman. Rafael ikut bangkit, ia kembali menguntiti Jasmine, namun sebelum itu, Rafael melesat cepat menuju ke gundukan tanah tadi dan membaca siapa nama yang tertera pada kayu nisan berbentuk salib itu.
RAFAEL
USIA 33 tahun
Lahir: 1986
Wafat : 2019
Rafael menutup mulutnya yang mengangga. Siapa Rafael?? Kenapa ia tak asing dengan nama itu??
oooooOooooo
NB: Rafael adalah nama samaran Shadow saat pindah ke ibu kota. Bukan nama asli. Teman-temannya selalu memanggilnya dengan sebutan 'S' inisial dari Shadow setelah Rafael siuman dan lupa ingatan. Saat ini Rafael menggunakan nama Zack.
Identitas anggota Tim Omega semuanya hanyalah palsu. Dengan kemampuan Albert mereka mendapatkan identitas dari beberapa orang yang telah mati atau menghilang saat masih muda. Kebanyakkan adalah orang yang hidup sebatang kara, tanpa keluarga.
(Love, lIke, and comment 💋💋💋💋💋)