Malam harinya, Rosie dan Ameera kembali ke rumah sakit untuk menjemput Jasmine. Dokter sudah mengizinkan Jasmine pulang malam ini. Dengan riang Jasmine dan keluarga menyambut keputusan sang dokter. Ingin rasanya segera melepaskan beban dan juga bermanja-manja dalam dekapan ibunya.
"Dokter Ana akan kemari sebentar lagi. Anda bisa menunggu beliau dengan nyaman." Seorang dokter berpamitan setelah melepaskan jarum infus dari tangan Jasmine.
"Terima kasih, Dok."
"Senang bisa membantu keluarga Wijaya."
Sepeninggalan dokter. Ameera menghidupkan televisi, mencoba mengusir keheningan dan rasa bosan. Membunuh waktu sembari menunggu kedatangan Alexiana dan Leonardo.
Headline news kali ini menayangkan sebuah kasus pembunuhan yang belum terpecahkan. Sebuah kasus pembunuhan yang bertubi-tubi terjadi beberapa bulan, pembunuhnya sama sekali tak terlacak. Ia bahkan membunuh targetnya dengan akurat pada jarak yang sangat jauh dan kondisi cuaca yang sangat ekstream.
Layar televisi menayangkan pembunuhan wakil walikota, seorang anak kecil, dan beberapa preman di gerbong kereta. Beberapa gambar cctv manunjukan seorang pria dengan masker dan topi baseball selalu terlihat tampak di sekitar lokasi kejadian perkara. Jasmine sempat menatap topi milik pria itu beberapa saat.
El?? Wajah Jasmine memucat, ia kenal betul dengan outfit dan topi yang dipakai pria itu.
"Ganti salurannya, Mera! Jangan mendengarkan berita yang membuat suasana hati Kakakmu menjadi buruk. Dia baru mengandung." Rosie menegur Ameera saat melihat wajah pucat Jasmine. Gadis itu mengangguk, mengganti saluran televisi menjadi kartun Spong Bob.
"Aku tidak apa, Bu." Jasmine menarik sudut bibirnya agar sang ibu tidak khawatir.
"Tetap saja, kaukan sedang masa pemulihan. Untuk apa melihat berita-berita buruk. Lebih baik kartun lucu atau drama," tukas Rosie.
"Ibu benar." Ameera mendekati Jasmine.
"Kak, bagaimana kau bisa mengenal Kak Leo?" Gadis itu penasaran bagaimana kakaknya itu bisa menggaet seorang pria kaya dan sempurna seperti Leonardo. Ameera bahkan sudah punya panggilan kesayangan tersendiri untuk calon iparnya itu. Leo, sama dengan zodiaknya.
"Ceritanya panjang. Lagi pula kenapa anak kecil ingin tahu masalah orang dewasa? Tugasmu sekarang adalah sekolah! Jadilah orang yang berhasil, jangan seperti Kakak." Jasmine mencubit hidung Ameera.
"Auch ...! Sakit!" pekik Ameera, Jasmine terkikih.
"Habis, selain kaya dia juga ganteng banget, calon suami idaman semua wanita. Kenapa Kak Jasmine memilih menggugurkan kandungan alih-alih menikah dengannya? Kak Rafaelkan sudah meninggal, apa lagi yang Kakak ragukan?" Ameera mendesak Jasmine, rauh wajah Jasmine langsung berubah sendu saat mengingat kisahnya.
"Kau tak akan tahu rasanya karena belum pernah jatuh cinta, Mera. Kakak masih sangat mencintai Rafael, belum ada pria yang bisa menggantikannya," jawab Jasmine, Ameera langsung mengerucutkan bibirnya tidak setuju.
"Aku lebih suka Kak Leo. Kalau saja dia bukan milik Kakak, aku pasti sudah jatuh cinta padanya." Ameera tertawa lantang, membuat Jasmine dan Rosie bergeleng.
"Anak perempuan tak boleh membuka mulutnya lebar-lebar saat tertawa. Pamalik, Mera!" Tegur Rosie.
"Memang apa alasanmu lebih memilih Leon dari pada Rafael?" Jasmine mencoba mendengarkan pendapat adiknya. Sudah lama mereka tak saling bercakap sedekat ini.
"Ehm ... Kak Rafael juga tampan sih, tapi Kak Leo lebih menarik. Tatapan dan auranya membuat siapa pun bertekuk lutut. Apa namanya, em ... kharisma, betul berkharisma. Dia pria yang berkharisma, Kak!!" celoteh Ameera.
"Kau bisa saja." Jasmine mengusik pucuk kepala adiknya.
"Ibu juga penasaran, Jasmine. Bagaimana kau bisa mengenal Leon? Dia sepertinya kaya sekali, ibu sampai terbengong-bengong begitu tiba di apartemen." Rosie menyerahkan piring penuh apel. Jasmine dan Ameera langsung mencomot isinya.
"Benar, Kak. Mera juga tercengang. Mau mandi saja bingung karena tombolnya banyak sekali. Ibu malah mencari gayung, tapi tidak ketemu. Ternyata kami benar-benar orang kampung, Kak." Ameera tertawa bila mengingat keudikkannya dengan sang ibu.
"Ranjangnya empuk, tapi dingin sekali." Rosie tak bisa mengecilkan AC central.
"Ada juga kursi yang bisa pijat sendiri juga, Kak. Pokoknya kami benar-benar kaget, semuanya serba otomatis dan mewah. Tak seperti di desa." Ameera tersenyum.
"Ibu suka?"
"Yah, kalau pemberian anak sendiri ya tentu suka." Rosie mengelus lengan Jasmine.
"Baguslah. Ibu dan Mera tak perlu tahu bagaimana Jasmine mengenal Leon. Yang penting kalian suka dan bisa menerimanya." Jasmine tersenyum, ia memeluk Rosie dan mencubit pelan pipi Ameera.
"Ah, irinya. Ameera juga ingin punya suami seperti Kak Leo." Ameera mencibirkan bibirnya.
Pucuk dicinta ulam tiba, panjang umur sekali, saat sedang dibicarakan datang. Leonardo masuk bersama dengan kakaknya, Alexiana. Alexiana sudah berganti pakaian casual. Dress terbaru keluaran merk terkemuka. Di telinga tergantung anting mutiara, senada dengan kalung yang ia kenakan.
Rosie sedikit membungkukkan badan. Ameera memperbaiki posisi berdiri tegap berusaha nampak seanggun mungkin. Matanya mencuri pandang ke arah Leonardo lalu bergantian ke Alexiana.
Wah, satu keluarga benar-benar punya fisik yang sempurna, batin Ameera.
"Halo, Jas. Bagaimana perasaanmu?" tanya Alexiana.
"Baik, Kak."
"Baguslah, istirahat yang cukup, makan makanan bergizi, dan minum vitamin yang kuberikan. Bulan depan kita cek lagi kandunganmu. Harus sudah ada detak jantung pada janinnya." Alexiana menutup file case dan memberikannya pada perawat.
"Iya, pastikan kau meminum semua vitaminmu! Karena aku ingin anakku tumbuh dengan baik," tambah Leonardo.
"Ibu akan pastikan Jasmine meminumnya, Leon. Juga akan pastikan dia selalu makan dan menjaga kandungannya baik-baik." Senyum Rosie.
Leonardo berwajah datar, memang apa yang harus dijaga? Jasmine sudah membunuh anaknya. Leonardo hanya berpura-pura agar Jasmine tetap menjadi miliknya. Terkungkung dalam sangkar bernama pernikahan.
"Ya, Leon berterima kasih, Bu."
"OK, aku pulang dulu." Alexiana pamit, Rosie, Jasmine, dan Ameera sedikit menundukkan kepalanya tanda berterima kasih. Leonardo mengantarkan kakaknya sampai ke koridor depan.
"Terima kasih, Ana," ucap Leonardo.
"Jangan terlalu kasar padanya, Leon. Aku tahu kau serius mencintainya, cobalah memenangkan hatinya dengan ketulusan. Kau dan dia hanya akan sama-sama terluka bila pernikahan ini hanya berlandaskan obsesi dan dendam semata." Alexiana menggenggam tangan Leonardo.
"Akan aku mempertimbangkannya, Ana. Yang pasti, Jasmine harus merasakan penderitaan hatiku terlebih dahulu." Leonardo tak sabar membayangkan bagaimana wajah Jasmine saat tahu anak mereka sudah menghilang dan ia terjebak dalam pernikahan dengan Leonardo.
"Oh ya, satu lagi ... Kau tidak boleh menghamilinya enam bulan sampai satu tahun ke depan. Rahimnya belum siap menerima janin lagi. Jadi, pastikan kau memakai pengaman atau buang saja ke luar!!" Kikih Alexiana.
"Cih, merepotkan." Leonardo berdecih. Alexiana semakin terkekeh melihat ekspresi adiknya yang kurang bisa menerima hal itu.
"Pastikan dia minum obatnya, atau bulan depan ia akan menstruasi dan menyadari ada yang tidak beres dengan kehamilannya." Lanjut Alexiana.
"Sudah sana pulang, cerewet."
"Kau juga jangan terlalu lelah, OK! Kita bertemu di rumah seminggu lagi. Pastikan kau mendadaninya secantik mungkin!" Alexiana masuk ke dalam mobil. Leonardo mengangguk mengerti maksud sang kakak. Ibu dan Kakaknya Lexandro pasti akan menjadikan Jasmine sasaran untuk menjatuhkan Leonardo di depan sang Ayah. Jasmine tak boleh terlihat seperti gadis kampungan.
"Aku harus mengajar wanita itu dengan keras mulai dari sekarang." Leonardo menghela napas panjang.
"Kesya, carikan Jasmine guru les tata krama dan juga percantik dirinya! Aku tak ingin dia mempermalukanku di acara makan malam keluarga." Leonardo langsung menutup ponselnya begitu selesai mengutarakan perintah pada sang sekretaris.
oooooOooooo
Vote please.
Duh, Jasmine jadi secantik apa besok?
Hihihi