Dasar orang aneh, dia sama sekali tidak kaget, malah senyum-senyum sendiri. Ada otak enggak sih nih orang? Apanya yang lucu? Bagaimana kalau orang tadi tertabrak dan tak dapat tertolong? Apa enggak fatal?
"Kenapa? Apa yang lucu sih? Bahaya tau, kalau dia celaka, bisa pikirin enggak bagaimana keluarganya?" gumamku sambil mencibirkan bibir.
"Iya, maaf ... Maaf, aku enggak sengaja. Aku tersenyum karena aku senang, akhirnya kamu mau memanggil aku untuk yang pertama kali. Setelah sekian lama kenal sama aku. Terima kasih ya, Nez," ucap dia kegirangan kepadaku, membalas sambil tetap senyum-senyum enggak jelas.
"Apaan sih? Aku enggak manggil kamu. Aku tuh marah sama kamu. Kalau mau mati, sendiri saja karena sudah putus asa, kan hidupmu sama kisah cintamu? Kalau aku masih mau jalani hidupku, malah enak aku bisa bersama dia," jelasku tak ada sopan-sopannya kepada Royan itu.
"Nah itu tadi, aku enggak salah dengar kok. Kamu manggil aku Mas, itu sudah cukup bagus untuk panggilan kita pas jadi suami istri nanti, jadi sudah aku acungi jempol kamu sudah mulai membiasakan dari sekarang. Hehee." Nyengir-nyengir dia menggodaku__aku makin sewot dibuatnya.
Aku pun ikut tertawa kecil pertanda meledeknya,
"apaan sih, enggak ada spesial-spesialnya, kata *Mas* itu kata biasa dan umum. Aku memanggil tukang bakso, tukang cilok, tukang Sempol (jajanan khas Malang) bahkan tukang sayur aku juga manggilnya mas, kok." Aku geli mendengar pernyataan dia, yang disebut *mas* saja sudah kesenengan begitu.
"Ya ... Terserah anggapanmu sih, cuma yang terpenting kamu sudah mau memanggil aku, terserah Mas, Yah, Yank, Pa, Baby apa saja boleh lah buat kamu ... Hahahaa." Sambil tertawa lepas makin enggak nyambung nih orang__apa uda konslet ya?
Aku tak mau menggubrisnya lagi. Sekali lagi aku buang mukaku ke arah samping kaca jendela pintu mobil ini. Aku mencoba menyisir pemandangan sekitaran yang secara cepat terlewati oleh pandanganku dan akhirnya aku senang sekali jalan yang sekarang aku lalui sudah makin dekat dengan tempat kerjaku, jadi aku akan terlepas dari keadaan ini, keadaan yang menjengkelkanku.
"Ah, stop! Stop, aku turun disini saja," ujarku mendadak sambil menggebrak pintu mobil.
"Kantormu, kan masih depan?" tanyanya keheranan.
"Aku mau mampir ke warung langganan dulu sebentar," alasanku kepadanya.
Mobil yang di kendarai oleh kami akhirnya berhenti juga di samping warung Bang Benny.
"Lah ngapain? Bukannya tadi sudah sarapan di rumah?" cetusnya keheranan.
"Aku tuh kalau lagi galau, makan bisa dua-tiga piring," jelasku sambil menampilkan wajah yang bosan.
"Kenapa tadi enggak makan dirumah dua tiga piring?" tandasnya lagi.
"Tadi, kan udah kenyang? Habis bareng sama kamu jadi lapar, nguras emosi!" tukasku judes.
"Waaah unik! Lucu. Bisa saja kamu Hahaa, biasa cewek suka takut makan biar tetap sexi, kalau kamu jujur banget makan sampai tiga piring. Hahaa. Aku makin suka kamu apa adanya, makan yang banyak gak masalah. Makin montok aku suka!" Jawabnya sambil mengerling mata genit. Aku langsung melotot. Dasar setengah sinting, nih orang! Ngomong asal buka mulutnya, haduuuuh! Aku seketika berbalik arah dan meninggalkan dia begitu saja. Aku juga tak mau berterima kasih.
Aku nyelonong ke warung Bang Benny, padahal aku enggak lapar, cuma cari teman curhat saja. Waktu yang kepagian begini di kantor hanya boring dan mau ngapain? Kalau ketemu Bang Ben, aku bisa tanya-tanya tentang Royan yang pengakuannya sudah main kesini beberapa kali. Apa yang ia obrolkan dengan Bang Benny selama bertemu berulang kali itu?
Warung Benny jam segini nampak sudah banyak tersedia menu makanan utama seperti nasi, sayur dan aneka macam lauknya, ada juga menu tambahan seperti gorengan dan kue-kue basah untuk menjadi pilihan sarapan.
"BANG BEEEE....N!!" teriakku sambil mencari-cari sosok dia yang tidak terlihat oleh mataku. Kemana ya nih orang? Kalau warung ditinggal, bagaimana kalau kecolongan?
Aku menyemaikan pandanganku ke segala arah untuk tetap menemukan sosok yang aku cari itu. Semakin dekat dengan dapur, aku mendengar suara gemericik air di kamar mandi, humm ... ternyata orangnya di kamar mandi. Aku iseng gedor-gedorin saja pintu kamar mandinya.
"Brak ... brak!"
"Bang Beee...nnnn, cepet dong keluar, aku mau curhaaaaaat!"
"Eh auw auw .. masih mandi aku cintaaah, tuh siapa disana menanti?" Terdengar sahutnya dari dalam bilik itu.
"Inez Bang ... Jangan lama-lama, penting nih!"
"Waaah Mbk Inez, iyup cintah, lima menit lagi selesai. Aku masih cukiur mencukiur niiih."
"Ah, enggah usah cukur mencukur Bang, biarin gondrong saja makin ehem nanti. Hahaha! Ayo Bang temenin aku dong sekarang."
Aku tetap menunggu di depan kamar mandinya. Tak sabar hendak berkata-kata panjang dan lebar. Setelah lima menit.
"Ceklekh." Pintu mulai ia buka, dia hanya memakai handuk sebatas pusar sampai lutut saja. Aku yang sudah tak sabar segera memeluk dia. Dia terkaget dan belingsatan.
"Bang Ben ... Huhuhu, sedihnya aku tuh."
"Eh, Auw! Oh no! Cintah jangan begini, aku kaget nih, ntar aku pakai baju dulu." Dia gelagapan dan tergopoh-gopoh oleh sikapku.
"Ih, tuh-tuh! Handukku melorot, auw mahkotaku nanti tampak, aku jadi enggak virgin lagi dilihat Mbak Inez," teriaknya sambil berusaha memegangi handuknya. Aku masih tertawa-tawa melihatnya yang kelabakan sendiri.
"Duduk dulu cintah, tenang dulu ya? Nanti aku temenin, curhatmu akan aku atasi, okey?" Dia melepas pelukanku dan terbirit-birit ke kamarnya. Lucu banget sih manusia satu ini. Hihihi, kayak enggak punya rasa sedih setiap hari. Tak berselang lama, beneran dia datang juga seperti biasa, make up maksimal, alis yang menukik tajam dan dengan lipstik yang mencolok mata. Dia duduk disampingku, sambil membawa teh hangat untukku. Aku sama seperti tadi, langsung menubrukkan diri dan memeluknya.
"Bang Ben, huhuhu ... Aku sedih banget. Aku mau dinikahkan sama pria lain, Bang Ben, kan tahu aku cinta mati sama Arman." Aku memaparkan masalahku.
"Lhah cintaah kok bisa gitu, padahal uda lama banget ya pacaran?" Aku mengangguk sambil mengerucutkan bibirku.
"Calonku katanya pernah beberapa kali mampir kesini Bang? Kamu ingat tidak? Dia pakai mobil terus wajahnya putih ada garis indonya juga mukanya, mungkin dia ada tanya-tanya tentang aku atau Arman gitu?"
"Ooh Mas-mas ganteng yang aku lihat waktu itu mungkin? Awalnya aku kira mimpi apa ya semalam, kok ada cowok ganteng yang nyasar kesini? Enggak pernah aku lihat sebelumnya. Tumben mampir ke warung Benny, salah alamat atau bagaimana? Ternyata dia makan siang lho mbak Inez disini, yaa maafkan daku, aku servis sebaik mungkin, lha wong ganteng banget, ahihihi," ceritanya sambil tersipu malu.
"Terus dia ngomong apa Bang?" Tanyaku penasaran dan ingin tahu.