kumohon jangan Liza, jangan ada jarak antara kita. Aku tak akan sanggup menjalani ini sendirian aku butuh sandaran kepada kalian-kalian semua, terutama kamu Liz! Apa yang ada didiriku ini semua engkau tahu, tak ada hal tentang aku yang tidak kamu tahu. Segera aku masuk ruangan agar mimik wajahku tak ditemui orang-orang. Jangan sampai orang lain tahu apalagi Arman. Dia sudah cukup menderita karena semua ini, oke akan aku coba renungkan sendiri atas apa yang terjadi? Sudah ada Ardy yang membantuku.
****
Waktu mundur ke hari kemarin, tadi malam disaat aku dan Arman berdua di ladang tebu pematang sawah desa. Ternyata terjadi sesuatu di rumah Liza. Ketika Arman mengabari Liza bahwa aku sudah ditemukan dan sedang tak mau pulang karena minta ditemani dia. Liza terpaksa memberi kabar kepada Ibuku dan mengatakan bahwa aku sedang bersamanya. Menginap dirumahnya, dianggap seperti biasa. Ternyata hal itu menyulut terjadinya sesuatu yang tak biasa__Ayah dan Ibuku malam-malam tetiba sudah datang kerumah Liza berniat menjemput aku, tapi celakanya aku tak ada disana__dirumah Liza. Sungguh diluar dugaan semua orang, Ayah yang mungkin sudah geram dengan tingkahku selama ini, berusaha menaklukkan anak gadisnya dan hendak memarahinya waktu itu juga!
"Assalamu'alaikum. Permisi nak Liza, maaf mengganggu malam-malam." Ketukan pintu diiringi suara yang terdengar ngebass__iaitu Ayahku. Entah mungkin suasana mencekam dan membingungkan. Apa yang akan Liza lakukan untuk menghadapi Ayahku sedangkan Liza tak tahu bagaimana harus berbohong demi aku? Liza pun tak berani keluar rumah, namun datanglah seorang perempuan ayu rupa berpenampilan santun dan sedikit bergaya, rambut berkuncir rapi yang segera membukakan pintu menyambut Ayah dan Ibuku.
"wa'alaikumussalam, mari masuk Pak, Bu." Salam dijawab salam untuk mencairkan suasana yang ada. Mama Liza itu mempersilahkan kedua orang tuaku masuk.
"Maafkan, Bu. Ya? Kami tengah malam bertamu tak tahu waktu. Maaf kami disini saja, kami tidak lama Bu. Lain waktu pasti kami kesini lagi untuk silaturahmi," ucap Ibuku dengan keramahan juga untaian senyuman karena yang menyambut adalah perempuan, maka sudah sepantasnya perempuan sesama perempuan yang saling berbalas.
"Kami hanya ingin menjemput Inez. Anak kami, tadi nak Liza bilang inap disini. Maaf lho Bu, anak saya ini sering sekali merepotkan nak Liza juga Ibu, sering inap disini." Setengah canggung Ibu memberi penjelasan kepada mamanya Liza yang mungkin juga ada rasa malu karena berulang-ulang semenjak aku galau memang berkali-kali inap disini, kadang beneran inap, kadang hanya sebagai alasan saja karena tak ingin pulang ke rumah.
"Ooh, ya tidak. Tidak apa-apa. Mereka, kan sohib kental, jadi kami sangat senang kok dengan kedatangan Inez. Kapanpun rumah kami terbuka untuk sahabat-sahabat Liza bukan cuma Inez. Mereka sudah saya anggap anak sendiri bu." Masih dalam posisi di depan pintu, obrolan itu terlaksana. Sedangkan Liza tak muncul sama sekali.
Karena anak-anak sudah tertidur, entah kelelahan atau bagaimana? Tadi Inez datang sambil menangis. Ya, biasa ... Gadis muda mungkin saling curhat, hehee." Masukan mama Lisa diutarakan dengan santai dan seakan bukan sebuah kebohongan, beliau memberi saran agar esok pagi saja, Mama janji akan mengantarkan sendiri aku kerumah dikarenakan anak gadisnya itu sedang memikul beban dan sedang kurang baik sehingga tidak mau pulang ke rumah, dengan bujuk rayu Mama Liza yang lugas dan benar-benar meyakinkan, tak ada celah untuk kedua orang tuaku menyela dan mencari alasan lagi untuk memaksaku pulang.
Akhirnya perbincangan yang cukup menyita waktu itu harus berakhir tanpa mengabulkan hasrat orang tuaku untuk membawa anak gadisnya itu bersama mereka. Betapa piawai Mama Liza berkata-kata, sehingga menyelamatkanku dari__mungkin bencana yang pasti luar biasa. Orang tuaku Berlalu pulang setelah berpamitan dan bersalaman. Di tengah malam, dikemudikanlah mobil keluarga berwarna silver satu-satunya yang kami miliki itu. Seketika ditutuplah pintu rumah berwarna biru berukir bebungaan klasik yang memperindah bentuknya dan goresannya.
"Ma ... Sudah amankah, Ma?" bisik gadis cantik nan baik itu dibalik kelambu biru, bermotif ringan yang kukenal sebagai Liza.
"Sudah sayang, tenang saja ... Mama atasi semua dan sudah beres," diikuti kerlingan mata kepada anak gadisnya.
"Bahaya banget, Ma. sikon tadi, dag dig dug aku, Ma. Kok bisa orang tuanya sampai kesini?" ucap Liza mengelus dada dan menyemburkan nafas lega sambil memejamkan mata.
"Mungkin malu karena anaknya suka enggak pulang. Kasihan Inez, anak gadis itu sudah dewasa malah harus dipaksa-paksa. Kadang Mama enggak ngerti apa mau orang tua sampai segitunyanya, ya?" ucap Mama Liza sambil geleng-geleng kepala sebagai tanda tidak setuju terhadap peraturan orang tua yang terlalu memaksakan kehendaknya.
"Aku juga enggak ngerti Ma, namanya orang beda-beda Ma, yang penting selamat kita malam ini Ma. Kalau bukan Mama pasti sudah kacau balau semua. Inez nih keterlaluan! Ngapain coba malam-malam bersama Arman? Kan bahaya juga?" jawab Liza sekenanya saja sambil merengut.
"Masak anak Mama ini iri hati karena pangeran idamannya belum lagi jatuh ketangan gadisku ini, hihihi." Goda Mama sambil menutup bibirnya sendiri dengan jari jemarinya yang terawat dan lentik itu, tersenyum-senyum kecil.
"Eh, ngomong-ngomong gimana kabar pemuda idamanmu itu? Hah?! Kasih tahu Mama dong. Belum ada kabar baru nih? Siapa dia? Yang mana orangnya?" bisik mama menyenggol bahu Liza sambil menggodanya,
"Ah, Mama! Dia tuh masih dengan kisahnya yang lain. Biarkan aku menunggunya Ma. Percaya deh sama aku, pasti aku cerita ke Mama deh," jawab Liza malu-malu sambil berlari-lari kecil bergegas menuju kamarnya agar segera terhindar dari pertanyaan lanjutan yang dilayangkan Mama setelahnya.
Diikuti Mama yang turut mengejar Liza. Keduanya berlarian ditengah malam. Keluarga Liza sangatlah hangat seperti tak seserius dan menegangkan seperti suasana dalam rumahku. memang dulunya aku sering menginap dirumahnya, jadi hampir mengenal semua anggota keluarganya, sedangkan Liza hanya sesekali saja menginap di rumahku, mungkin memang ingin atau hanya sekedar membalas inapanku saja karena sungkan jika tidak membalas. Pemuda itu? Pemuda idaman Liza? Siapa dia? Sungguh apik dan rapi dia menyimpan rahasianya.
Satupun tak ada orang yang tahu siapa pemuda yang dia maksudkan, bahkan Mamanya sendiri tidak ia bagi. Menunggu waktu? Setahuku Liza tak pernah dekat dengan pria manapun. Hanya Ardy yang dekat dengannya. Hanya kami berempat yang selalu dekat dengannya, sedangkan Ardy sudah ditolaknya berkali-kali setelah menyatakan cinta yang kesekian kali.
Mana mungkin pemuda itu Ardy? Lantas siapa pemuda itu?
Apakah Liza diam-diam menjalin cinta dengan orang yang tidak kami tahu? Sungguh tidak adil! Semua terbuka akan diri kami masing-masing kepada Liza. Memang benar! Hanya Liza yang tidak pernah kita tahu. Kenapa aku baru menyadari?