Aku terlalu fokus akan diriku sendiri sehingga tak perduli lingkungan sekitarku. Bahkan Liza yang aku katakan sebagai saudaraku pun. Aku sama sekali tak tahu kehidupan pribadinya.
Mengenaskan sekali bersahabat denganku. Pantas saja dia marah sejadinya gara-gara aku yang seperti ini. Gara-gara aku yang keterlaluan sudah merepotkan semua orang, di tambah aku yang terlalu mementingkan diri sendiri.
Liza dan lelaki yang masih dengan kisahnya? Apakah dia menjalin hubungan terlarang dengan suami orang? Kenapa dia katakan masih dengan kisah yang lain, tapi mana mungkin Liza seperti itu? Dia gadis yang mengejar kesempurnaan. Tak mungkin dia kelewat batas, apalagi membawa nama baik keluarga besarnya, tapi siapa pria yang ada dalam hati Liza? Semua masih dalam tanda tanya. Aku juga tak tahu bagaimana harus mengoreknya.
"Hai Nez, melamun ya?" Arman menyapaku sambil mentowel pipiku di ruang kerjaku.
"Lhoo kapan kamu datang? Aku tadi enggak lihat kamu masuk kesini?" tanyaku celingukan tanpa sadar.
"Maka dari itu, kamu kutunggu enggak keluar-keluar. Sudah jam istirahat. Ayo makan siang aku sudah lapar," pinta Arman seraya memegang perutnya seperti orang berakting kelaparan.
"Ah, maafkan aku Arman. Aku benar-benar enggak lihat kamu. Enggak lihat jam juga, sepertinya efek semalam yang terlalu menguras tenaga juga kurang tidur. Aku jadi kurang fokus," jelasku sekalian aku rapikan berkas-berkas kerjaku. Agar aku segera bisa makan siang dengannya. Seiring berlalu bersamaan dengan dirinya sambil bergandengan tangan selagi masih bisa.
Kami sambil berjalan menuju tempat makan siang. Kami mengobrolkan tentang pagi tadi yang Ayahku sangat marah karena aku yang tidak tidur di rumah, Ayah sampai-sampai mau memukulku karena saking jengkelnya, namun ada Ibu yang selalu mendekapku.
Aku? Ya menangis sejadinya. Mendengar ocehan Ayahku yang panjang dan lebar sambil berteriak-teriak kencang. Membuat aku ketakutan. Dimintalah aku berjanji untuk selalu tidur di rumah sendiri. Apalagi keadaan yang genting begini, jika aku melanggar lagi. Maka kata Ayah akan langsung menikahkan aku saat itu juga dengan calonku itu. Tidak ada ampun lagi. Kini aku harus berhati-hati, aku masih mau menjalin hubungan dengan Arman selagi masih tersisa waktu. Kalau aku gegabah akan fatal untuk hubunganku sekarang ini.
Arman yang mendengarku segera menyeka air mataku. Biasanya dia akan mencium dan memeluk aku, namun tidak mungkin untuk saat ini, karena banyak pegawai yang masih wira-wiri. Hanya menggenggam tanganku dengan lebih kuat sebagai tanda dia ada bersamaku. Kami memilih siang ini untuk pergi makan ke warung Benny, masakan kantin masih kurasa bosan, juga warung Benny tak jauh dari kantor tempat bekerja kami. Kami sudah sampailah di warung itu. Aku lihat beberapa teman kerja yang lain juga ada disitu, tapi ada orang luaran yang bertandang pula.
Di sebelah warung Benny, namun agak jauhan ada satu pohon mangga yang besar. Arman menghentikan langkahku dan segera menarikku berdiri di balik pohon itu, tanpa kami ketahui ternyata sebenarnya Benny sudah menyadari kedatanganku bersama Arman sejak awal tadi. Benny sambil melirik kami dari kejauhan, seakan mempertanyakan,
"Ngapain kami di balik pohon? Kami yang tak sadar akan pantauan Benny itu, sehingga membuat kami tak malu-malu. Arman meraih pinggangku dan menarikku lebih dekat padanya. Si Benny melotot dan mendekap sendiri badannya di dalam warungnya, mulut dia sambil melongo menyaksikan aku dengan Arman. Arman mendekatkan bibirnya ke arahku, lalu mencium bibirku. Aku memejamkan mataku, Benny makin membesar bola matanya secara jelas melihat kami yang berciuman dibalik pohon itu. Dia dengan gaya kemayunya menutup wajahnya dengan kedua tangannya tapi sambil mengintip-intip penasaran, sembari merem-meremin mata terus melotot lagi. Sambil bibirnya mencucu, dan sambil mengoceh.
"Auw Auw," desisnya pelan dari dalam warungnya.
Kami yang bersembunyi dibalik pohon mangga ini. Asyik berciuman dengan saling menghujamkan lumatan yang mendebarkan dada masing-masing, sudah ... Kami hanya cukup berciuman saja. Ini di tempat umum yang mungkin saja banyak yang melihatnya, iya itulah si Benny salah satunya, tanpa kami tahu dia merekam di otaknya kegiatan kami disitu. Arman segera memelukku erat.
"Aku sungguh sayang kepadamu, Nez," bisiknya masih memelukku.
"Aku pun sama Arman, kamu tahu sendiri bagaimana aku berontak demi hubungan kita ini," balasku kepadanya.
Usai sudah kami melepas rindu sejenak, kami melanjutkan lagi ke warung.
"Bang Ben!!!" teriakku memanggil nama pemilik warung itu.
"Aku mau gado-gadonya dong," lanjutku dan disusul Arman juga memesan.
"Aku mau nasi rawon ya Bebh, yang super pedes."
"Ooh, okey cintaaah. Ehem ehem mbak Inez tumben mampir sini, takut lakinya aku godain ya? Hihihi," goda Benny sambil cekatan memotong-motong bahan gado-gado.
"Hehehe, aku kangen masakan Bang Ben, soal Arman, godain deh Bang! Kayaknya dia juga suka deh digodain sama Bang Ben, tuh tiap hari ngapelin terus kesini, kan?" Aku tertawa-tawa ikut menggoda juga.
"Ah apaan sih, Nez? Aku kesini setiap hari karena emang masakan dia enak dan sesuai kantong aku, lagi dapat bonus terus jadi makin kerasan deh," jawab Arman lalu kami tertawa bareng lagi.
"Jelas enak dong. Aku masak dengan bumbu cinta dan kasih sayang mendalam pada semua masakanku, hihihihi." Sambil jalan dia turut berbicara.
Beny datang membawa piring pesanan Arman lalu menyenggol bahu arman dengan sikunya, setelah ia taruh piring di depan Arman, nampan itu ia tutupkan pada bibir dan mukanya seakan membisikkan sesuatu kepada Arman.
"Ehm ehm, josh gandos, ya Bebh?" Sambil mengerlingkan mata dan melirik-lirikkan mata kearah pohon mangga itu, diiringi kepalan tangan yang ditekuk kedalam (seakan gerakan yang biasanya berkata "yess") lalu menjulur-julurkan lidahnya meledek Arman. Aku pura-pura saja tidak tahu sambil makan kerupuk.
"Pantesan pesen yang super pedes, ahai ahai ya Beibh, hihihihi," godanya dengan tawa dia yang khas itu.
"Hahaha, apaan sih Bebh, jangan begitu, ah! Aku, kan malu?" ucap Arman yang kudengar terbahak-bahak. Ternyata dia tahu juga kalau kita bersembunyi berciuman tadi, dilihat oleh Benny. hummmm ... malunya.
kami menikmati makan siang bersama-sama. Aku dengan gado-gadoku, Arman dengan nasi rawonnya. Benny masih menyelesaikan pelayanan kepada pelanggan-pelanggan dia yang makin berdatangan. Aku curi-curi pandang kepada Arman yang memakan nasinya dengan lahap dan dengan mulut yang mendesis-desis kepedesan, sambil keringat bercucuran. Sesekali ia seka keringat di keningnya, tapi akan segera muncul dan muncul lagi. Lagi-lagi aku melamunkan dia. Bayang-bayang dan kenangan saat dicumbunya berkali-kali. Sungguh aku tak akan bisa lupakan itu, di dalam pikiranku selalu melayang-layang adegan demi adegan yang aku lakukan bersamanya kemarin-kemarin.
"Inez, ayo makan. Habisin! malah senyum-senyum sendiri kamu?" sapa Arman yang membuatku jadi salah tingkah. Segera kulahap sendokku yang berisi gado-gado ini.
"Ya ... Aku lihat kamu lucu, makan kepedesan sampai keringatan terus bibirnya manyun-manyun gitu, hehehe," kilahku sambil terus memakan menuku ini.