Ketika Liza sudah sampai kantor duluan,
aku baru datang dan masuk di ruang kerja.
Wajah muram Liza sejak shubuh tadi masih jadi pemandangan menghiasi hari kerjanya, aku yang datang pun tak disapa atau di gubrisnya entah dengan sengaja atau memang tidak sengaja, padahal biasanya kami tegur sapa bahkan lebih dari itu, cipika-cipiki juga diikuti gelak tawa. Padahal tadi pagi kami sudah bersama,
"Liz kamu kenapa, dari shubuh pelit kata gak mau ngomong sama aku?" tanyaku memberanikan diri, sambil memegang bahunya yang sedang menata berkas dimeja.
"oke, to the point aja ya Nez, berhentilah merepotkan orang" sambutnya itu membuat aku berpikir, maksud dia apa?
"apa karena kejadian semalam?" kuuraikan pertanyaan lanjutan untuknya.
"Nez, katakan semalam kalian dimana?" Liza setengah mengintrogasiku.
"aku ... di ... Ladang tebu" jawabku sambil menelan ludah karena posisi yang tak nyaman sekarang ini. "Ladang tebu? ditengah sawah sana itu?" lanjut dia sambil bernada lebih tinggi. Aku mengangguk pelan karena sudah tahu dia akan muntab.
"sekarang jawab jujur, kalian ngapain saja di sawah malam-malam sampai pagi? kalian bercinta ya?" tuduhnya kepadaku menohok tanpa basa-basi sehingga aku terbata-bata mau menjawabnya. Harus bilang apa karena kami berdua memang hendak bercinta semalam, namun tetap tidak kelewatan batas karena Arman yang mengeremnya, "kami enggak bercinta Liz, ya selayaknya pasangan yang tak mau dipisahkan, kami hanya melepas rindu dan bercumbu saja, tapi enggak berlebihan kok." ucapku mencoba untuk santai dan biasa saja. sedangkan dia menggeleng-geleng kepala.
"Siapa yang mulai duluan, dia apa kamu?" iiih sampai se detail ini Liza ingin tahu, aku kan jadi malu mau jawab apa lagi? "aku yang
menggodanya duluan." sahutku memang
sesuai kenyataan aku yang memulai duluan
"PLAKH!!!" tiba-tiba aku kaget ternyata Liza menamparku, seperti tidak mungkin dia begini terhadapku, "jadi perempuan kayak enggak ada harga diri kamu Nez?, malu-maluin kaum hawa saja!" wajah Liza berubah sangat sinis dan merah seketika itu juga. Aku sudah mau menangis dibuatnya, "kamu anggap aku saudara kan? kalau saudara perempuanku berbuat begitu, walaupun dia bukan kamu, sama aku akan marah, karena itu salah!" tambahnya sedangkan aku hanya diam saja.
"Nez, ayolah hadapi dengan lebih dewasa, apa kamu enggak tahu kelakuanmu akhir-akhir ini mengkhawatirkan semua orang, merepotkan semua orang, sampai kapan kamu begini terus?" sambil berbalik badan sehingga posisi kami berdiri saling berhadapan, aku yang lebih pendek dari dia menatap sambil mendongakkan kepala dan masih memegang pipiku, "apa kamu tak berfikir? Arman itu akan kau tinggalkan, kau akan menikahi pria lain, mikir lah, kalau semakin intim hubunganmu sama dia, bagaimana perasaan Arman saat kamu tinggalkan? kamu akan makin menyakitinya!, kamu enak bisa enak-enak nantinya sama suami kamu, kalau Arman bagaimana?" Ujarnya meledak-ledak kepadaku. membuatku tak bisa berkata-kata lagi, hanya tangis yang akhirnya keluar juga.
enak-enak sama suami katamu? bagaimana enak-enak dengan dia, sedangkan aku benci orang itu!" bathin dalam hatiku.
"Jangan sampai hal ini terulang lagi ya, aku sungguh enggak akan mau bantu kamu lagi, cobalah berpikir masalah orang lain, jangan hanya orang lain yang kamu suruh memikul masalahmu saja, semua juga punya masalah masing-masing Nez" menggeleng-geleng kepala seakan Liza geram terhadapku dan kelakuanku yang tak kunjung aku sadari.
tahu aku bercumbu di ladang tebu saja semarah ini, apalagi kalau dia tahu kami bercumbu lagi di kamar mandi? tanpa pakaian sama sekali malah, pasti sudah di cincang Liza aku ini.
"Iya, aku tukang merepotkan ya? baik aku gak mau repotin kamu lagi, oiya aku tahu, aku sampai seperti ini gak karuan, kamu gak bakal ngerti! gimana rasanya terluka oleh cinta, dan gimana rasanya tidak bisa memiliki orang yang kita cintai, aku sedang down banget, dan kamu merasa terbebani, oke" tak menyangka ucapan itu keluar dari Liza, wanita yang aku anggap saudara perempuanku sendiri, dia selalu membuat aku nyaman karena memang aku anak semata wayang sendirian yang tak punya saudara untuk berkeluh kesah apalagi berbagi rasa, hanya dia dan dua yang lain yang sudah jadi saudaraku selama ini.
"Apa?! kamu keliru Nez.. kamu bilang aku gak ngerti arti cinta dan arti terluka?! emang Dunia Cinta cuma milikmu semata kan? sekian lama kamu mengenal aku, kamu sama sekali tak tahu tentang diriku, sama sekali! tahu gak kamu?!" jawabnya sambil mengangkat tangan dan menunjukkan jari telunjuknya dihadapan mukaku, "yang kamu tahu hanya tentang kamu dan tentang dirimu saja, bagimu cinta hanya milikmu saja!, mana pernah kamu perduli dengan hidup orang lain, kamu hanya memikirkan dirimu sendiri" tak terasa tiba-tiba nafas ini sama-sama terasa berat dan mata Liza mulai berkaca-kaca, ya.. Liza hendak meneteskan air mata pula, dia tarik tangannya itu dan membuang muka sekaligus berbalik arah lalu berlari meninggalkan aku dan ruangan kerjanya,
Liza.. apa yang terjadi dengannya? apakah sejahat itu hatinya kepadaku yang selama ini baik-baik saja, apa justru aku yang jahat selama ini tanpa kusadari? kenapa tidak ia sampaikan dari kemarin dan kemarinnya, kenapa baru hari ini?.
Suasana tempat kerja tampak dan terasa seperti biasa, lalu lalang para pegawai dengan segala kesibukannya juga kerjaan-kerjaan yang dari pagi sampai sore menunggunya, semua tampak sama seperti hari-hari yang ada, namun ada yang berbeda dari biasanya Liza memang tak memberi sapa kepadaku dari awal kedatanganku tadi, wajah yang menghiasi juga nampak muram. Apa iya aku sama sekali tidak mau mengerti orang lain? apa iya aku hanya mementingkan diri sendiri.. aku sedang dalam posisi hancur, mengertilah Liz ... sedang membutuhkan rangkulan dari orang-orang terkasihku yaitu kamu dan yang lain Liz, tapi kenapa kamu seperti ini?! aku tak mengerti dan hanya memutar otakku untuk mengingat-ingat sesuatu, apa ada yang terlewat? sehingga dia muntab kepadaku?
"Liz.. tunggu aku, kamu kenapa Liza" kejarku dibelakangnya yang ketinggalan jauh karena aktifitas berpikir lambanku tadi.
"Inez, ada apa?!" ketika aku sedang berlari, kutemui Ardy yang menghentikan langkahku.
"Liza tiba-tiba marah kepadaku dan berlari meninggalkan aku, tapi aku ingin tahu apa salahku? " ucapku setengah ngos-ngosan.
"biar aku yang mengejar dan menbujuknya kamu lanjutkan saja pekerjaanmu ya, nanti akan aku beri tahu" Ardy mencoba
menenangkan aku dan segera berbalik arah mengejar Liza.
Aku menurut saja atas saran Ardy, langkah gontai disertai rasa bingung hati mengitari kepalaku sambil ku jalan pelan-pelan ke tempat semulaku. Aku tak habis pikir, apa yang membuat Liza semarah itu kepadaku sekian tahun kami sama sekali rukun-rukun saja, tak pernah ada perdebatan yang berarti.
Aku tak ingin merepotkan siapapun, tapi aku sedang sakit parah, sakit yang tak tampak dari luar karena badanku kelihatan sehat baik-baik saja, tapi jiwaku terguncang.. bathinku terkoyak.. hatiku terkulai tak ada daya. apa yang harus kulakukan selain meminta bantuan dan support dari orang yang aku percayai?.