Di samping aku memikirkan masalah besarku, aku juga dapat kiriman berupa rekaman video dari Ardy, dia curhat lagi akan kegagalan dia mendapatkan hati Liza, diam-diam ternyata Ardy memvideokan moment pertemuan dengan Liza kemarin malam itu kepadaku. Kasihan Ardy, padahal dia lelaki yang baik, mungkin jika aku ada dua, satu aku bagi untuknya. Aku sempatkan menyaksikan dengan detail video mereka itu.
Di dalam video itu terdengar Alunan musik dengan selarasnya bersenandung dan berbarengan dengan terpaan angin sepoi-sepoi menyapu telinga dan wajah Ardy juga Liza, duduk di kursi lembut dan empuk dengan hidangan favorit keduanya terpampang didepan mata. Ruangan setengah remang cahaya jadi pilihan anak muda malam ini.
"Liza bagaimana?!" Membuka suara lebih awal Ardy memecah keheningan sejak tadi,
"Iya apa Dy?" jawab Liza simple dan pelit kata, "Jangan memikirkan Arman dan Inez terus, berkali-kali aku sampaikan, diri kamu sendiri juga perlu perhatian dari kamu juga, sampai kapan kamu akan sendiri terus? Bagaimana dengan aku?" Ardy menyodorkan tanya.
Hening sejenak tertata, tampak Liza termangu dengan segala perasaan yang terbelenggu, entah apa yang ada di benaknya sehingga ia terasa kelu, makan malam bersama Ardy adalah hal yang dirasa perlu. Mendiskusikan apapun dengan pria itu. Ardy selalu ada untuk Liza, mereka bersahabat setiap waktu.
"Liz, hari ini tahun ketiga aku menyatakan perasaanku lagi. Selama kau masih sendiri aku akan mengulang setiap tahunnya, tapi tega kamu Liz bertahun-tahun aku mencintaimu tak kunjung kamu membalasnya. Aku selalu setia menanti cinta dan jawabmu," tambahnya.
"Ardy, maafkan aku, bagaimana ya? Aku sudah terlalu nyaman dengan predikat sahabat, saudara dengan dirimu. Ehm ... aku tak bisa bayangkan harus sayang-sayangan sama kamu, pelukan bahkan ciuman denganmu tidak akan ada rasanya .. Ayolah Ardy, banyak junior rekan kerja kita. Usia kita sama, carilah yang lebih imut dan ayu dari aku," jawab Liza selalu begitu.
Ardy telah lama mengenal Liza, sejak magang di perusahaan itu. Ardy menyimpan sesuatu untuk Liza, rasa rindu dalam dekap kalbu dan rasa cinta dalam hati dan jiwa, cukup lama ia pendam rasa sampai mereka berdua tertaqdirkan bisa kerja. Di tempat yang sama karena mendapat panggilan disana setelah magang itu, namun ungkapan Ardy tak kunjung berbalas cinta. Rupanya hanya cukup berbalas kasih persahabatan saja. Liza gadis yang cukup alot untuk diluluhkan hatinya.
"Lebih junior? Lebih ayu? Memang kenapa kalau seumuran? Arman dan Inez juga seumuran, tapi mereka bisa saling mencintai, katakan aku kurang apa? Kamu ingin sosok pria yang bagaimana? Apa kejelekanku? Akan aku rubah demi kamu bisa menerimaku," sarkas Ardy mencecar liza.
"Tidak ada Dy, yang penuh kekurangan adalah aku. Aku tak bisa membuka hatiku entah kenapa? Aku menunggu apa? Sekian tahun masih sendiri. Maafkan aku, Dy. Sekali lagi maafkan, kesalahan ada pada diriku, bukan padamu," mohon Liza untuk dimengerti Ardy.
Ardy sambil menggelengkan kepalanya.
"Itulah kamu, kurang perhatian pada dirimu sendiri, ketika sahabat butuh dirimu, kamu akan bergegas-gegas, padahal kamu juga butuh cinta. Jangan ada penyesalan dihari nanti. Kadang kesempatan tak hadir lagi, apakah kesetiaanku kurang lama? Bahkan aku tak melirik siapapun gadis lain selain dirimu selama ini."
"Sungguh tidak ada yang kurang Ardy. Aku yang keterlaluan hingga sering mengecewakanmu dan melukaimu, namun aku tak bisa membohongi hatiku, juga tak mau berpura-pura kepadamu. Maafkan aku dengan berat hati jawabanku masih sama. Kamu terlalu baik untukku. Aku tak pantas mendapatkan itu." Sembari menunjukkan mata yang berkaca-kaca Liza memberi penjelasan,
Betapa tidak? Pria dihadapannya akan sangat langka berada di zaman ini. Kesetiaan yang tak tanggung-tanggung. Jaman magang terhitung tahun pertama, bekerja bersama dengannya, Arman dan Inez terhitung tahun kelima. Enam tahun sudah Ardy mengempu rasa di dalam hati dan palung rindu. Enam tahun sudah tetap setia hanya cukup puas dengan predikat sahabat semata.
namun tekad juga visi misinya tidak diragukan lagi, satu yang tak ada duanya,
"Jangan sampai aku berpaling darimu dan kamu terjadi penyesalan Liz, waktu tak akan bisa diputar lagi, cobalah untuk menerima aku Liz, apa salahnya? Jika terjadi ketidak cocokan di hatimu. Kamu bisa meninggalkan aku, kenapa Inez dan Arman bisa sedangkan kita tidak?" Ardy melanjutkan lagi perkataannya dengan menorehkan kegundahan hati.
Liza diliputi rasa bersalah karena menatap Ardy yang terpana dan terluka oleh dirinya. Ya, terluka karena sekian tahun membuat lelaki yang tak banyak tingkah dan baik hati ini bertepuk sebelah tangan karena dirinya. Kalau dicari-cari sungguh tidak ditemukan kekurangannya. Lelaki dihadapannya ini tinggi sejajar Arman, juga tak kalah tampan dari Arman. Setia dengan perangai baiknya.
"Ini murni kesalahan ada padaku Dy, tak perlu menyalahkan diri kenapa tak kunjung aku terima pernyataan cintamu yang tiap tahun kamu utarakan. Pada tanggal dan bulan yang sama. Aku tidak mau melukaimu terlalu jauh, liriklah gadis lain yang lebih cantik dan muda dari aku," panjang lebar seperti yang sudah sudah ia utarakan sebagai bentuk jawaban yang sama kepada Ardy.
"Hatimu begitu sulit untuk kutembus Liz. Satu dua kali masih bisa diterima. Berkali-kali aku tak juga mampu mendapatkan hatimu. Ada pria lain, Pak Juna dan Rio rekan satu bagianku juga kamu tolak kan? Aku tahu itu, Liz coba deh punyai waktu untuk menalar. Mungkin ada yang perlu kamu gali lebih dalam ke hatimu. Ada apa sehingga semua pria yang jatuh hati padamu kamu tolak? Apakah semua lelaki tak bisa masuk ke hatimu?" Liza terkaget-kaget mendengar pernyataan Ardy sembari mengernyitkan keningnya.
"Apa?! kamu tahu tentang Rio dan pak Juna? Itu semua rahasia Dy." Tampak bibir Liza mencibir karena menyimpan tanya darimana Ardy tahu, sedangkan baginya dipastikan seluruh anggota kantor tidak ada yang tahu.
"Aku tahu semua tentang dirimu Liz. Tanyalah padaku apa tentang dirimu. Akan aku jawab karena aku tahu semuanya. Semua ini kulakukan karena rasa ini hanya untukmu?! Saking dekatnya aku kau anggap sahabat sampai tak pernah kamu bercerita ini kepadaku? Bahkan coba tanyalah Inez dan Arman, pasti mereka takkan tahu tentang ini. Kamu curang Liz, orang lain menumpahkan segala kisah hidupnya padamu tak bersisa, karena menganggap sahabat, tapi kamu menutup rapat semua tentang dirimu padaku dan mereka yang kau sebut sahabat itu?" Panjang lebar Ardy menngintimidasi Liza,
"Bukan aku tak maukan pria untuk menemani langkahku, bullshit jika aku sekuat itu, tidak ada wanita yang tidak membutuhkan kehangatan kasih orang yang ia cintai. Bukan aku keras kepala Dy, tapi aku tak sanggup mengutarakan kepada siapapun. Aku pendam hanya untuk aku sendiri. Ada orang lain yang mengisi dan menghuni hati ini sejak lama, dengan segala kekurangan dan kelebihan dia, sungguh tak mengubah posisinya dihati ini," guman Liza dalam hati. Tak urung menitiklah air mata itu, disekanya buru-buru namun tetap tampak juga oleh Ardy.
"Hei Liz kamu menangis? Tidak sayang jangan menangis. Maafkan aku terlalu keras menuntutmu. Kumohon, ayo lupakan yang aku katakan. Tahun ini aku cukup mendapat jawaban. Aku akan coba lagi ditahun depan," ungkap Ardy menenangkan Liza sembari mendekatkan dirinya pada gadis itu,
"Ayo jangan ragu. Ini adalah pelukan persahabatan, jangan ditolak ya? Aku bukan orang yang suka mencuri kesempata. Aku tidak akan meminta lebih dari ini," Ardy langsung mendekap Liza dan mengelus rambutnya yang lurus semampai.
Ia, Ardy menyudahi topik cintanya malam itu, bagi dia tak bisa ia bahas lagi kepada Liza, karena kalau sudah ada air mata, terlalu dalam yang dirasakan oleh gadis itu.