Chereads / HANYA AKU UNTUK DIA / Chapter 14 - 14 Sendiri

Chapter 14 - 14 Sendiri

Tak tahu arah dan linglung tujuan berakhir pula di tempat rahasia serta tersembunyiku ini. Nan gelap dirundung malam dengan larutnya, seberkas cahaya kecil sengaja aku nyalakan dari ponsel HP untuk sedikit mengurangi suasana yang mencekam ini. Pertama kalinya kaki berlabuh dimalam hari di tempat kesayanganku. Rasa gundah gulanaku lebih besar dari rasa takut menghantui membawaku ke tanah rerumputan ini. Terakhir kesini adalah satu hari setelah ditolaknya lamaran Arman untukku. Kala itu kuhabiskan seharian ahad itu bersama tebu-tebu.

"Hai tebu-tebu. Kita berjumpa lagi. Jangan bosan mendengar curhatanku. Izinkan aku memandangmu semalam ini," sapaku pada mereka yang memang aku selalu berkata-kata dengan mereka. Meskipun tak ada jawaban, hanya deru angin dan gesekan tarian tebu-tebu itu, namun tak lebih mencekam dari suasana dan pergolakan batinku, sehingga aku memberanikan diri menyambanginya. Tempat pelarian di setiap ada kesedihan dan kepedihan menghinggapiku. Sejak usia masih belasan tahun__Sekolah Dasar dulu. Tempat inilah yang menjadi peraduan, pematang sawah nan luas, jauh dari hiruk pikuknya kerumunan orang, dikelilingi sepetak ladang tebu yang bergoyang-goyang tersapu angin. Bulu kudukku merinding dengan kesunyian hawa malam. Dinginnya menusuk urat nadiku, kupendarkan tatapan bola mataku jauh nan lepas kelangit yang dipenuhi kerlap kerlip bintang makhluk ciptaan Yang Maha Kuasa. Betapa Indahnya. MasyaaAllah, disanding rembulan nan bercahaya menyembulkan kehangatan menyapu kulit wajahku. Kuhela nafas panjang, sesekali kuhembuskan lagi. Kunikmati detik demi detik waktu disini. Kumpulan batang pohon tebu yang lurus tinggi terayun-ayun tergesek angin malam, disebaliknya ada rerumputan yang agak luas untuk kusandarkan beban dari tubuh ini, kulirik arlojiku menunjukkan pukul sebelas malam. Kian larut tak membuat urung untuk berpijak di rerumputan hijau namun menjadi kehitaman karena semakin lama semakin kelam pencahayaan. Alunan sayup-sayup suara nyanyian dari hati kurealisasikan pada ponselku agar sedikit mengusir sepi, hanya satu lagu ini saja aku biarkan berulang-ulang kali bunyi.

"Britney Spears__Everytime"

Kuusir sepi dan penat sambil kuikuti nada dan lirik dalam hati. Meskipun tak dapat dipungkiri diiringi titik-titik butiran bening air mata ini. Setengah jam sudah kuhirup wewangian alami tebu juga padi sebagai shock teraphy bathin di tengah alam semesta ini. Nada-nada binatang malam turut mengiringi, katak, jangkrik, serangga malam dan banyak lagi bersahut-sahutan tanpa aku mampu sebutkan satu-persatu jenis dari mereka.

sampai kapan aku disini___sampai pagi.

"Nez, kamu disini selarut ini? Kenapa Nez?" Sesosok lelaki tampan dibalik cahaya bias malam setengah terang setengah redup terpancar di wajahnya karena berebut cahaya bulan. Menggenggam sebuah senter sudah menghadap aku. Suara tak asing itu kuharap bukan hanya halusinasi. Kuharap benar-benar ada ditelinga ini. Sayangnya itu hanya angan-angan dan fatamorgana ditengah kelimbungan jiwa yang hakiki.

"Inez, ada apa? Jawab aku!" Kuusap-usap mataku. Aku mimpi atau tidak sekarang? Apakah ada makhluk jejadian dalam kisah romansa yang aku torehkan? Sosok ini Arman atau hanya menyerupai Arman? Aku hanya diam membisu dan bertanya-tanya kini. Biarlah meskipun hanya bayangan atau mahluk jejadian, yang penting berwujud Arman__kekasihku. Aku memang merindukannya disaat seperti ini. Menularkan cahaya ketenangan.

"Nez, jangan melongo saja, jawab kenapa kamu Nez?" Dia langsung memelukku.

Tiba-tiba hadir disisi, membuat aku terkaget, namun disisi lain aku senang. Kurentangkan kedua tanganku segera kubalas rangkul pria yang memang aku rindukan selalu setiap waktu. Apa iya ini Arman yang nyata?.

"Ayo pulang, Ibu mencarimu. Kau dihubungi enggak bisa? Ibu menelfon Liza, Ardy dan aku menanyakan dirimu. Kami bingung mencarimu. Liza dan Ardy menyusuri tempat-tempat kesukaanmu dan aku antara yakin dan tidak, aku cari disini," balasnya mengeratkan pelukan dan mengajakku kembali.

"Arman, apa kamu Arman? Siapa nama adik kembarmu?" sahutku memastikan, sedikit diselimuti rasa takut juga meragu.

"Echa dan Icha lah, kenapa bahas yang lain? aku ajak kamu pulang," balasnya kebingungan.

"Kapan hari jadian kita?" lanjutku menanyakan kalau dia benar-benar Arman.

"22 Februari. Nez, sudah. Nanti kita bicara lagi, yang penting kita pulang sekarang!"

Sambil menggeleng-geleng, tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan Arman. Ini bukan halusinasi atau makhluk jejadian. Aku bahagia dia ternyata Arman pemuda yang aku cintai.

Kami terduduk berdua berpelukan erat. Seerat tautan hati kami yang tak mau dipisahkan. "Tolong aku Arman. Dia pria hancur dan putus asa. Mana bisa bahagiain aku? Dia bilang akan menyembuhkan lukaku? Dia sendiri saja patah hati, kan gila namanya." Kalimat lugas nan jelas kusampaikan agar dia detail mendengar.

"Ayo pulang dulu sayang, selarut ini seorang gadis sendirian di sawah? Bagaimana kalau aku tak kesini tadi? Bagaimana jika terjadi sesuatu padamu?" tutur katanya menyela ucapanku.

"Bagaimana kalau ada orang jahat? Siapapun yang melihat gadis seperti dirimu tak akan mampu mengusir niat jahatnya kepadamu apalagi malam-malam begini. Bagaimana jika ada ular atau anjing gila? Ayo pulang. Semua akan kita bahas besok ya?" rayunya disertai wewangian harum kata-kata.

"Biar terjadi sesuatu aku tak perduli. Semua sudah gak ada artinya kan? Terjadi sesuatu atau tidak, bakalan hancur juga hidupku ini. Enggak mungkin Ayah mencari karena tahunya aku ketemuan sama dia, jadi sampai pagi pun pasti Ayah tetap tenang jika aku tak pulang sekalipun," kulepas pelukanku, segera duduk dan kuseka derai air mata ini.

"Ibu yang khawatir dan tak tahu harus apa? Akhirnya aku putuskan mencarimu disini, mari pulang Nez, tidak akan mengubah sesuatu dengan seperti ini, ayo bergegaslah," pintanya dengan nada merendah.

"Arman, sekali saja kita habiskan waktu berdua. Aku ingin disini, temanilah aku sampai pagi. Subuh baru kita pulang, mungkin ini pintaku yang terakhir sebelum aku dibelenggu." Tangisku semakin menjadi, lalu didekapnya aku lagi.

"Apa yang harus aku lakukan? Semua ingin aku lakukan untukmu. Aku ingin memberimu kebahagiaan, tapi aku miskin cara__terbentur oleh aturan-aturan Agama kita. Tangisku selalu pecah dalam diam, seakan aku pria tegar. Aku semakin pedih jika melihatmu melakukan hal yang tak bisa di nalar dan nekat lagi, kuatlah Nez. Itu yang akan memberikan aku kekuatan, kalau kau begini terus aku juga ikut lemah. Aku mohon padamu Nez." Mengelus-elus rambutku dari ujung kepala sampai ujung rambutku,

"Apa aku harus menurutimu? Katakan Nez, apa yang sebaiknya aku lakukan. Tolong pulang. Bagaimana jika ada warga? Bagaimana jika tiba-tiba orang melihat dan menilai kita sedang macam-macam?" Secepat kilat aku dekatkan tanganku ke bibirnya sebagai tanda aku tak mau dengar dia berbicara lagi.

"Indahnya malam ini Arman, biarlah jadi milik kita. Jadi saksi kisah cinta kita. Aku tak mau pulang, aku mau temanilah aku disini. Kita habiskan masa ini berdua. Kita lupakan masalah yang kita punya," ungkapku sambil mengangguk-anggukan kepala sebagai ajakan agar dia turut mengangguk juga dan menyetujui permintaanku.

"Aku tak punya jawaban Nez, pilihanmu ini ... kunalar dan kumasukkan pada akal. Harusnya aku tak bisa disini selarut ini bersamamu, namun rasa cintaku yang terlampau besar kepadamu, mebuatku menyerah." Arman menundukkan kepalanya dan kesedihan bergelayut didadanya melihat gadis yang dicintainya sedang merana tak bisa berbuat apa-apa.