Ya, si calon pilihan Ayahku itu! Aku harus bicara empat mata dengannya untuk mencoba berusaha menggagalkan niatnya menikahiku. Mungkin ada setitik harapan jika aku menyampaikan semuanya pada dia. Satu-satunya cara hanya itu. Yang terakhir dan tidak ada celah lagi setelah planning ini aku lakui. Ini yang akan menjadi tolak ukur akan jatuh kemana kisah cintaku ini, tetap untuk Arman atau direnggut oleh orang tak dikenal itu?!.
"AssalamuAlaikum ... Ibuuuuu," teriakku sesampai dirumah.
"Wa'alaikumussalam." Suara balasan dari balik kelambu biru, berlari-lari kecil mendekat dan menghampiriku, segera dipeluk dan di dekaplah aku oleh wanita yang semalaman menantikan kabarku. Wanita yang menunggu-nunggu kedatanganku dengan pakaian yang masih bau bumbu dan tangan yang masih basah terburu-buru mencuci tangan dan menghampiriku.
"Inez, alhamdulillah kamu sudah sampai. Ibu harus mengabari Ayahmu, sudah khawair Ibu karena Ayahmu menanyakanmu terus," ucap beliau sambil mengecup kening ini, sambil melirak-lirik kekanan dan kekiri seakan mencari sesuatu. Aku tahu siapa yang dicari, siapa lagi kalau bukan Arman? Aku diantar Arman sampai gang depan saja, jadi dia tak berani lagi menampakkan diri ataupun menginjakkan kakinya di halaman rumah ini, apalagi masuk ke rumah ini sudah No way.
Aku jelaskan semua pada Ibuku tentang kekhilafanku dan meminta maaf setulus hati kepadanya. Sang wanita mulia ini tak menampik sebenarnya kecewa, namun apalah daya aku adalah anak gadisnya yang penuh pergolakan batin, sehingga tak urung tetap memaafkan dan memakluminya, tapi dengan janji aku takkan mengulangi lagi.
Diajaklah aku masuk sambil terus berjalan berpelukan hangat dalam rangkulnya, kami melepas rindu meskipun hanya sehari dan semalam tak bertemu.
"Ibu, adakah Ayah mengatakan sesuatu?" tanyaku disusul dengan rebahnya tubuh ini di sofa panjang empuk yang benar-benar nyaman karena punggung ini terasa keletihan menempuh perjalanan juga sedikit tragedi tadi. Ibu sibuk membuatkan aku minum dan mengeluarkan kue-kue ringan kesukaanku.
"Kamu tahu sendiri Ayahmu bagaimana? jadi Ibu minta melembutlah padanya. Ayah akan secepatnya mengundang calonmu itu. Aku tahu terlalu dini sih, Ibu sudah merayu Ayah, tapi keputusannya sudah bulat Nez." Penjelasan Ibu membuat aku kaget dan spontan membuka mata, padahal sedari tadi kuingin mengistirahatkan mata ini, ku pejamkan dengan lama.
"Aku tak mau scepat itu Ibu," rengekku karena memang aku tak ingin keluarga yang tak kukenal itu tiba-tiba datang kesini dan melamarku secepat ini.
"Nanti aku akan bicara sama Ayah, Bu. Sekarang aku mau tidur dulu ya, Bu?" pamitku karena aku sedang tak ingin membahas hal itu dulu, kepala ini sudah makin pening saja mau pecah. Tidur adalah solusi yang sangat manjur bagiku.
"Oke sayang istirahatlah dulu," pungkas dari Ibu berlalu meninggalkan aku di sofa ini, beliau melanjutkan aktivitas rutin seorang Ibu pada umumnya. Menyiapkan makan malam untuk keluarga juga menantikan kedatangan Ayah yang sebentar lagi pasti akan sampai rumah.
Arman, sudahkah kamu sampai dikontrakanmu? Andai saja kamu izinkan, aku masih ingin bersamamu. Beristirahat dan rebahan ditempatmu itu, bercerita panjang kali lebar yang tak akan ada habisnya kepadamu, bersenda gurau dan meratap bersamamu, tapi lurusnya abdi diri dalam jiwamu sebagai makhluk yang ingin berbenah lebih baik-lebih baik lagi, betapa berhati-hatinya engkau dalam memilih langkah untuk dirimu sendiri juga untuk diriku,
Semakin berat hati ini melepasmu, betapa mata-mata telanjang tak bisa melihat kebaikan itu dalam bayangmu, betapa sayang melepas menantu lelaki sesempurna dirimu bagiku, hanya karena tampak uang dan jabatan dipelupuk matanya.
"Inez, Ayah mau bicara padamu." Samar-samar aku dengar suara pria seperti berada disampingku, mata ini mengeryip-ngeryip mencoba perlahan membukanya yang tanpa kusadari aku telah tertidur pulas sekian jam lalu, tetiba saja ada Ayah sudah duduk disisi sofa panjang ruang tamu masih memakai pakaian formalnya pertanda beliau baru saja pulang dari bekerja.
Segera aku bangkit dari posisi awalku __rebahan.
Tanpa mengeluarkan sepatah katapun aku hanya menunduk.
Pandangan kosong kuarahkan kelantai menatap kedua kakiku.
semenjak tragedi pemaksaan Arman dan aku untuk putus itu, aku enggan sekali bertatap muka dengan Ayahku sendiri, apalagi bercakap-cakap seingatku sudah tak pernah lagi, setiap hari aku lebih sering pergi, keluar, sebelum Ayah kembali. Aku juga berangkat kerja sepagi mungkin agar tak berpapasan dengannya, menandakan kode bahwa anaknya ini sangat marah dan luar biasa kecewa pada dirinya, baru saat ini, baru kali ini kami berdampingan bersuara, maka itulah aku tetap pelit kata untuknya.
"Ayah mau ajak keluarga teman Ayah itu kesini, agar kita semua mengenalnya, Ayah tak mau bertele-tele, siapkan hatimu menemui calon suamimu." Sontak aku menatap kepadanya, masih hampir-hampir saja aku buka mulutku menyiapkan balas jawaban untuk Ayahku, sudah dipotongnya secara kilat. "Ayah tak mau mendengar alasan apapun, tugasmu hanya nurut dan manut. Semua Ayah tentukan," ujar ayah mengintimidasi putri satu-satunya ini, lalu bergegas Ayah meninggalkan tempat ini. Ku angkatlah tanganku memberanikan untuk menyahut tangannya, kuujar sepenggal kalimat pendek yang keluar dari kerongkongan,
"Aku mau menemuinya dulu." Kening Ayah dikerutkan yang memang sudah nampak kerutan-kerutan halus itu sambil menolehkan kepala ke arahku dengan posisi tetap berdiri dihadapanku. "Maksudmu?" cakapnya membalas.
"Biarkan Inez ketemu dia dulu Ayah, sebelum keluarganya kerumah," lafalku yang sebenarnya berat dan kaku untuk aku utarakan karena sebenarnya aku juga tak inginkan ini, tapi apalah daya aku hanya seperti kambing congek Ayah yang didorong kesana dan sini harus mau menuruti.
"Aaah benar itu, Ayah setuju denganmu, agaknya ada baiknya juga kamu ketemu dulu sama calonmu ya? Biar akrab, ini nomor dia, kamu bisa tanya langsung padanya." Sembari mengeluarkan ponsel androidnya mencoba scroll-scroll keatas dan kebawah mencari kontak yang dimaksudnya.
"Ayah saja yang atur. Beritahu aku kapan aku bisa ketemu, aku tak butuh nomornya. Aku tak mau menyapanya, apalagi menghubunginya. Inez anti itu Ayah," bantahku dalam kekesalan.
"Ooh Ayah siap atur itu. Begitu anak manis, jangan bikin Ayah geram terus. Ayah masuk dulu ya? Segera kita makan bersama, ayo." Kata-kata Ayah betul-betul seperti ejekan yang tak patut aku balas meskipun ingin aku balas dengan umpatan, sayangnya pria ini. Dia Ayahku. Aku tak membalas apa-apa tak juga menganggukkan kepala, hanya diam membisu sebagai akhir dari percakapan berdua antara anak gadis dengan kekalutannya versus sang ayah dengan keculasannya.
Tak urung Ibuku yang perasa segera mendatangiku dari dalam tampak tergopoh-gopoh, seakan membaca sebuah symbol bahwa anaknya, pasti terjadi hal yang tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Setelah bergeming singkat dengan Ayahnya. Ibu datang sebagai pendingin suasana yang sempat memanas antara Ayah dan anak, dielus dan dikecupnya aku sambil mengeluarkan kata-kata adem dan merayu, digiring dan diajak untuk bersama-sama bergegas menuju ruang santap malam yang menjadi hal wajar setiap hari setiap waktu.