Chereads / Inevitable Fate [Indonesia] / Chapter 43 - Tetaplah Bersemangat dan Syukuri Saja

Chapter 43 - Tetaplah Bersemangat dan Syukuri Saja

So let's keep it gold, mm

Just keep it gold, mm

- Keep It Gold by Surfaces -

============

Di tempat lain, beberapa jam sebelum Reiko dan Runa kembali ke rumah, di mobil Onodera muda, empat pria masih berada di sana usai mendatangi pasar jajan.

"Sepertinya tadi adalah gadis yang menarik perhatian Tuan Muda Onodera, benar?" Handa Yojiro menggoda Nathan Ryuu yang duduk di sampingnya.

"Ha ha ha, Handa-san, bagaimana bisa pikiranmu melaju sejauh itu?" tangkis Nathan Ryuu pada koleganya.

"Oho ho ho ... mataku ini setajam elang, Onodera-san." Handa Yojiro menyahut. "Jangan remehkan mata sipit ini. Justru yang begini yang bisa memandang dengan awas apapun yang tidak bisa ditangkap orang lain. Ha ha ha! Hm, ayam ini ternyata enak juga."

"Ayam ini memang enak, dan sepertinya masih agak jarang bagi orang Jepang membuat seperti ini untuk pasar jajanan." Nathan Ryuu segera membelokkan topik obrolan. Kebetulan Handa Yojiro memberikan jalannya dengan menyinggung mengenai ayam.

"Ini ... sepertinya mengadopsi cara penjual street food di Korea Selatan." Handa Yojiro mengikuti alur yang ditetapkan Nathan Ryuu.

"Hm, sepertinya begitu. Aku sendiri jarang ke pasar street food jika datang ke Korea Selatan." Nathan Ryuu juga sambil memakan ayam yang tersisa di kantung miliknya.

"Wuhaahh! Uffhh!" Seruan tak tertahankan muncul dari kabin di belakang tempat duduk Nathan Ryuu dan Handa Yojiro. "Ini terlalu pedas! Terlalu pedas! Wuhaahh! Haahhh!" Rupanya itu adalah asisten Onodera Ryuzaki, yaitu Izayama Zuko.

Wajah Izayama Zuko sudah merah padam menahan rasa pedas yang menggerogoti lidahnya sejak tadi. Dia telah berusaha menahan rasa sakit di lidahnya, namun kini gagal dan tak bisa bertahan lebih lama dalam ketenangannya.

"Ha ha ha, Izayama-san, sepertinya kau ini bukan ahlinya makanan pedas." Handa Yojiro menoleh ke belakang.

"Sepertinya begitu, Handa-san! Uffhhh ... haahh ... tapi ... kenapa Itachi-san ...." Zuko menoleh ke sampingnya, di sana ada manajer kepercayaan Nathan Ryuu, Aiba Itachi, sedang tenang memakan ayam pedasnya.

"Zuko, jangan mencoba-coba ingin menandingi Itachi untuk urusan pedas." Nathan Ryuu tidak perlu menoleh ke belakang dan hanya tersenyum geli menyahut asistennya.

"Itachi-san ... kenapa kau tidak kesakitan? Apakah lidahmu sebebal itu seperti dirimu?" Zuko menatap tak berdaya pada Itachi.

"Hm, ini butuh pelatihan khusus yang takkan bisa kau jalani." Itachi membalas dengan nada datar saja sambil terus menikmati ayam pedas yang hampir tuntas di tangannya.

"Minum! Ssshhh! Haahh! Minuumm, ohh, apakah tidak ada minum?" Zuko kewalahan saat lidahnya bagai dikerubungi semut-semut merah.

-0-0-0-0-

Reiko masih memikirkan ucapan Runa malam itu. Perkataan Runa mengenai Nathan Ryuu terus terngiang di benak gadis itu, bahkan usai Runa kembali ke asrama di hari Minggu siangnya.

Menjalani kembali hari-hari tanpa Runa, cukup membuat Reiko merasa kesepian dan tersiksa. Ini karena Bu Sayuki akan kembali bersikap ketus dan kejam padanya apabila tak ada Runa di rumah.

Sepertinya Bu Sayuki memang sengaja bersikap baik pada Reiko di depan Runa agar Runa bisa tenang dan memasrahkan Reiko ke ibunya. Runa tak akan mengira jika selama dia di asrama, Reiko, sahabatnya, sedang menjalani hidup sebagai pekerja romusha di bawah tekanan ibunya.

Harus bekerja dengan waktu rehat yang sangat minim, dan juga tanpa digaji. Bu Sayuki juga secara tega mengatakan pada Reiko, "Kamu ini sudah beruntung bisa menginap di rumahku, jadi wajar saja kalau kau membayar dengan tenagamu, paham?"

Atau ucapan semacam, "Sadar diri, kau ini menginap gratis di sini. Maka sudah sepantasnya kau bekerja untuk ganti uang sewa tempat dan juga makan, mengerti?" Dan Beliau menambahkan, "Awas kalau kau berani melaporkan ini kepada Runa."

Reiko seperti mendapatkan dejavu. Ini hampir mirip seperti kehidupan dia ketika di rumah pamannya. Di sana, bibi pun bersikap seperti Bu Sayuki, memperlakukan dia seperti pelayan. Namun, masih beruntung di rumah paman, dia diberi uang saku oleh bibinya meski sedikit.

Ia tahu bahwa uang yang diberikan oleh bibinya itu adalah uang milik orang tua Reiko yang seharusnya diberikan seluruhnya ke gadis itu, namun dengan dalih sang bibi yang akan mengelolanya, maka uang itu dikuasai bibi dan paman untuk kepentingan mereka sendiri.

Apakah ini artinya dia harus mengulang lagi kehidupan semacam dulu?

Mendesahkan napas tak berdaya, Reiko menengadah menatap langit sore ketika dia baru saja selesai menyapu halaman. Padahal dia masih lelah dari membersihkan semua ayam karena kadang Tomoda pergi seenaknya begitu saja meninggalkan pekerjaannya untuk dikerjakan Reiko semuanya.

Bahkan, siang ini Reiko belum tidur siang. Sementara dia merenungi nasibnya, Bu Sayuki sudah menegurnya dari belakang, "Hei, jangan melamun saja! Apa kau sudah membersihkan semua ayamnya?"

Menoleh ke Bu Sayuki di belakangnya, ia menjawab, "Sudah, Bu. Semua sudah siap di kotak pendingin."

"Bagus! Hoaaheemm ... sepertinya aku terlalu lelah dan harus tidur sebentar lagi sebelum petang datang." Menggumam sendiri, Bu Sayuki pun kembali masuk ke kamarnya, mungkin untuk tidur seperti yang dia celotehkan baru saja.

Menahan kekesalannya, Reiko menghela napas sambil membawa sapu lidi dan pengki berisi dedaunan kering ke bak sampah di depan rumah. Mungkin ini memang jalan nasib yang masih harus dia lalui dulu.

Reiko percaya, langit tidak akan terus bersikap kejam pada dirinya. Pasti akan ada masa dimana dia akan menuai kebahagiaan sebagai hasil dari kesabarannya.

"Yoss! Ayo, Reiko! Teruskan semangatmu!" Reiko menyemangati dirinya sendiri. Ia pun tersenyum dan hatinya berkobar kembali dengan sikap positif.

Yah, dia bersyukur dia masih bisa makan dan minum. Mungkin bahkan banyak orang di luar sana yang tidak mampu untuk mendapatkan makan dan minum dengan layak setiap harinya, dan juga ada berapa banyak orang yang tak bisa berteduh?

Reiko harus mensyukuri ini. Meski dia memang lelah dan dijadikan sapi perah, namun dia tidak kekurangan makan dan minum dan juga memiliki tempat berteduh. Kalau begitu, apa lagi yang perlu dia keluhkan?

Sungguh keterlaluan apabila dia masih mengeluh sementara ada banyak orang yang tidak seberuntung dirinya di luar sana.

Karena itu, Reiko kembali memupuk semangatnya menjalani apapun di depan matanya. Ia yakin dia bisa bertahan.