Lari, satu kata yang diperintahkan oleh otak Angga saat ini. Ya, logika darinya masih berjalan dan memerintahkan Angga untuk menjauh dari sana, karena bisa saja langkah kaki itu merupakan langkah kaki dari sang pembunuh. Angga sempat terhenyak sesaat dari rasa penasarannya terhadap dua tato itu, yang pada akhirnya mendatangkan sebuah rasa takut setelah pikirannya tersadar mengenai pembunuh dan suara langkah kaki yang mendekat, yang membuat Angga pun memutuskan untuk segera berlari menjauhi jasad tanpa kepala yang tergeletak di hadapannya.
Angga berlari secepat yang ia bisa, berusaha untuk menjauhi asal suara yang baru saja didengar olehnya. Berlari dengan cukup kencang ke arah yang lainnya yang berlawanan dengan suara itu.
Drap .. Drap … Drap …
Suara langkah kaki dari Angga terdengar olehnya, napasnya pun kembali menderu dan terdengar cukup kencang, tidak dapat dipungkiri lagi jika Angga merasa takut. Bagaimana tidak? Ia merasa bahwa nyawanya sedang terancam saat ini.
Merasa bahwa Angga sudah cukup jauh menelusuri jalan tersebut, pada akhirnya ia melambatkan langkah kakinya yang sempat berlari menjauhi tempat awal. Ia berjalan dan terus berjalan hingga akhirnya kembali mendapatkan tikungan di depan sana. Dengan leganya ia pun berbelok secara random di dalam pertigaan itu, namun hal itu lah yang membuatnya masuk ke dalam kandang singa.
Karena ketika Angga berbelok, kedua langkah kakinya pun kembali terhenti dengan segera saat mendapati seseorang yang kini berdiri di ujung lorong sana, menatap Angga yang kini berhadapan dengan dirinya dengan tatapan yang cukup tajam, orang itu bahkan menyeringai dengan seramnya di hadapan Angga.
Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Angga selain terpatung, kedua kakinya menolak untuk melangkah lebih jauh lagi, ia sama sekali tidak dapat menggerakkan kedua kakinya seolah kedua kakinya terpaku di tempat dan membuatnya tidak bisa bergerak hingga terjatuh karenanya. Pandangan Angga kini dengan jelas menatap seorang lelaki bertubuh besar dan kekar yang masih berdiri di hadapannya dengan menggenggam sesuatu di tangan kirinya.
Siapa saja yang melihat itu, pasti akan merasa takut dan tidak mampu lagi untuk melangkah, persis seperti apa yang dirasakan oleh Angga saat ini. Bagaimana tidak akan terkejut dan takut? Karena lelaki bertubuh besar itu saat ini membawa segenggam rambut panjang, yang tersambung dengan sebuah kepala yang menggelantung di tangan kirinya. Melihat kepala tersebut, Angga yakin jika kepala itu milik jasad wanita tanpa kepala yang sempat ia temukan beberapa saat yang lalu.
Tak ada yang bisa dilakukan oleh Angga saat ini selain merangkak berupaya untuk menjauhkan dirinya dari lelaki bertubuh kekar yang membawa kepala di tangan kirinya. Siapa saja yang berhadapan langsung dengan lelaki itu akan secara otomatis berbalik dan kabur dari sana, dan itulah hal yang juga dilakukan oleh Angga saat ini. Dengan susah payah ia merangkak ke belakang untuk menjauhi lelaki yang kini terdengar mulai melangkahkan kakinya untuk mendekat, hal itu tentu membuat Angga ketakutan. Akal sehat Angga bahkan sudah tidak lagi bisa berjalan, ia berpikir bahwa dirinya akan mati hari ini, di tangan lelaki menyeramkan itu tentunya. Namun, ia berusaha untuk menyangkal itu semua dan berupaya untuk kabur sebisa yang ia lakukan.
Angga merasa takut bukan hanya karena paras dari lelaki itu, namun ia juga takut karena lelaki itu dengan berani membawa potongan tubuh dan membawanya seperti kantung plastik. Itu sungguh mengerikan.
BRUK!
Pergerakan Angga yang saat itu merangkak untuk menjauh pun seketika terhenti, kala sebuah kepala mendarat tepat di hadapan Angga yang memposisikan dirinya tertelungkup di atas rerumputan itu.
Lelaki itulah pelaku dari pelemparan kepala yang baru saja mendarat di hadapan Angga. Kengerian tentu dirasakan oleh Angga, karena pasalnya ia melihat secara dekat kepala dari wanita yang ia sempat dengar teriakannya, dan lagi itu semua diperburuk saat kedua mata dari Angga bertatapan langsung dengan kedua mata dari kepala yang kini terbelalak ketakutan, dengan darah yang mulai mengering, dengan mulut yang menganga. Raut wajah dari kepala yang terputus itu mengisyaratkan bahwa ia ketakutan setengah mati, dan hingga ajalnya tiba pun raut dari wanita tersebut masih seperti itu.
lelaki itu nampak sengaja melemparkan kepala tersebut di hadapan Angga, agar pergerakan dari dirinya terhenti, dan agar lelaki itu bisa melancarkan aksinya lagi, sama seperti ia melancarkan aksinya kepada wanita yang kini sudah menjadi jasad tanpa kepala.
Tak ada yang bisa dilakukan oleh Angga selain terpatung karena terkejut, seluruh tubuh Angga bahkan bergetar dengan hebat saat ini, hanya bisa memejamkan kedua matanya dengan segera untuk menghindari tatapan mata si kepala yang kini berjarak kurang dari setengah meter dari hadapannya. Meski sebenarnya Angga tahu bahwa ini adalah saat untuk dirinya melarikan diri, namun apa dayanya jika Angga tidak sanggup untuk menggerakan tubuhnya bahkan untuk menoleh ke arah lain sekalipun.
Angga juga mengetahui bahwa lelaki itu kini sudah berada tepat di sampingnya, dan kembali mengambil kepala itu dari hadapan Angga. Itu semua ia ketahui dari indra pendengarannya, karena Angga belum berani sedikitpun untuk membuka kedua matanya lagi.
"Anak baru?" sebuah pertanyaan yang terdengar oleh kedua telinga Angga, membuatnya yakin jika pertanyaan itu terlontar dari si lelaki yang berdiri di sampingnya saat ini.
Tak ada satu pun reaksi yang dikeluarkan oleh Angga, ya … Angga memilih untuk tidak menjawab pertanyaannya, namun kaki dari si lelaki itu kini menyentuh lengan Angga berkali-kali tidak terlalu keras untuk meminta sebuah jawaban dari Angga, hal itu pun membuat Angga akhirnya menoleh menatap lelaki yang kini menatapnya dengan seksama. Tidak dengan Angga yang kini menatap lelaki itu dengan tatapan yang penuh dengan kengerian dan ketakutan.
"Khkhkh …"
Melihat reaksi yang diperlihatkan oleh Angga kepadanya saat itu, membuat lelaki itu terkekeh dan kemudian menganggukkan kepalanya menanggapi sesuatu yang tidak dimengerti oleh Angga. Detik kemudian lelaki itu menyunggingkan senyuman atau lebih tepatnya seringaian kepada Angga, "Apa yang membawamu kemari, Anak baru?? Apakah itu air? Batu? Merkuri?" ucap lelaki itu bertanya.
Tidak mengerti dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh lelaki itu, membuat Angga tidak menjawab pertanyaan tersebut, dan lagi pertanyaan yang dilontarkan oleh lelaki tersebut dirasakan oleh Angga sangat menekan dirinya, bagaimana tidak? Lelaki itu bertanya seraya menyeringai dan matanya menatap Angga seolah ia ingin segera menghabisi nyawa Angga saat itu juga, dan itu sangat mengintimidasi Angga saat ini.
Melihat bahwa pertanyaan yang dilontarkan oleh dirinya tidak di jawab sedikitpun oleh Angga, membuat lelaki itu kembali terkekeh di sampingnya dan kembali menganggukkan kepala. Lelaki itu menyadari bahwa anak baru itu tampak ketakutan dan juga kebingungan atas pertanyaan yang baru saja dilontarkan olehnya.
"Hahh … " lelaki itu menghela napasnya dan kembali menatap Angga setelah dirinya melihat ke arah sekitar untuk sejenak, "Baiklah … kurasa karena kau baru saja menginjakkan kakimu di tempat ini, jadi aku akan memberikanmu sedikit keringanan, aku akan membebaskanmu kali ini, tapi … jika kau beruntung dan bertemu denganku lagi … aku tidak akan segan melakukan hal yang sama kepadamu, sama seperti aku melakukannya kepada wanita jalang ini dan kepada yang lainnya juga." jelas lelaki itu, mendengar perkataan dan ancaman dari lelaki tersebut, membuat Angga hanya mampu menelan salivanya sendiri dengan sulit.
Ia berharap bahwa itu semua tidak akan terulang, ia tidak akan pernah mau bertemu dengan lelaki yang kini terkekeh setelah melihat raut ketakutan Angga dan melenggang pergi menjauhi Angga yang masih memposisikan dirinya terlungkup di atas rerumputan itu.