Chereads / Labirin (Dimensi Misteri) / Chapter 6 - Bioluminesensi dan kenangan

Chapter 6 - Bioluminesensi dan kenangan

Angga merasa was-was setelah menyadari bahwa di sekitarnya menjadi gelap gulita, Angga menolehkan pandangannya ke kanan dan ke kiri, berusaha untuk mengecek situasi dan kondisi di sekitarnya. Angga takut jika ia bertemu dengan lelaki psikopat yang membawa kepala di tangannya, ia berharap bahwa ia tidak akan pernah lagi bertemu dengan lelaki itu.

Kepala Angga kini menegak ke atas untuk dapat melihat langit gelap yang kala itu berwarna hitam kebiruan, tanpa adanya bintang dan rembulan, membuat dirinya merasa minim akan pencahayaan. Kedua matanya bahkan tidak bisa bersosialisasi dengan gelapnya gulita yang menyelimuti dirinya saat ini, hal itulah yang membuat Angga dengan perlahan berdiri dari duduknya dan berjalan satu langkah demi langkah dengan tangan kiri yang senantiasa menyentuh dinding semak labirin tersebut sebagai penentu arahnya berjalan.

"Hh … hhh …. hahhh … " deruan napas dari Angga terdengar dengan jelas oleh dirinya sendiri, tak dipungkiri lagi, Angga merasa panik karena merasa dirinya tengah diawasi di dalam gelapnya gulita. Angga tidak bisa melihat ke arah sekitar karena penglihatannya terlalu gelap untuk bisa menangkap sesuatu hal di kedua ujung lorong yang terletak di depan dan belakangnya saat ini.

Saking gelapnya labirin itu, Angga meyakini jika terangnya lampu senter pun tidak akan bisa menembus terlalu jauh kegelapan yang dihadirkan oleh langit yang ada di atasnya terhadap lorong-lorong yang tengah dipijaki olehnya.

Namun, kegelapan itu pun tidak berlangsung lama. Sekitar dua hingga tiga menit dari Angga berjalan dengan perlahan untuk menembus kegelapan, cahaya yang samar pun perlahan datang dan mulai menerangi labirin itu. Cahaya itu datang dari beberapa semak-semak yang menjulang tinggi di sisi kanan dan kirinya, atau katakan saja setiap satu kotak dinding labirin yang berada di dalam labirin itu bercahaya.

Seolah beberapa dari semak-semak tinggi itu menghasilkan Bioluminesensi, meski Angga yakin seratus persen bahwa semak-semak tidak bisa menghasilkan emisi cahaya seperti jamur dan juga kunang-kunang atau ubur-ubur. Warna dari cahaya atau pendaran yang dihasilkan oleh semak-semak itu adalah hijau ke kuningan terang atau katakan saja warna itu mirip dengan warna stabilo yang sering digunakan oleh Angga ketika dirinya hendak menegaskan sebuah kata atau kalimat di beberapa tumpukan kertas laporan yang diberikan oleh staff kepadanya.

Merasa aneh dengan hal itu, Angga pun mendekati salah satu semak yang berpendar dan menatapnya dengan penuh selidik, yang pada akhirnya membuat Angga teringat dengan sebuah percobaan yang mengingatkannya pada tanaman bercahaya yang sudah diberikan zat nanopartikel.

Angga menjadi yakin mengenai hal itu, semak-semak ini secara sengaja diberikan zat nanopartikel berupa enzim luciferase, ialah carian yang berasal dari kunang-kunang. Biasanya hewan kecil itu menggunakan luciferase untuk memikat lawan jenisnya agar melaksanakan kawin.

Angga meyakini hal itu, karena ia merasa bahwa warna yang dipendarkan oleh semak-semak yang tumbuh di dalam labirin itu persis seperti tanaman yang pernah diteliti oleh dirinya, yang juga sama-sama menghasilkan warna kuning kehijauan seperti warna dari stabilo.

Melihat cahaya-cahaya yang dihasilkan oleh semak-semak pun membuat Angga kembali teringat dengan tanaman selada air yang pernah ia jadikan sebagai bahan praktikum di sekolahnya di masa lalu. Itu merupakan sebuah memori terhebat, sekaligus kenangan yang tak akan pernah bisa di lupakan yang pernah dirasakan oleh Angga di masa sekolahnya.

Saat itu, Angga adalah satu-satunya murid yang berhasil melakukan praktikum tersebut, dan menjadikan dirinya mendapat nilai tertinggi di ujian praktikum. Ia juga dengan bangga menjadikan selada air itu sebagai penerang dirinya ketika ia tidur di malam hari selama empat hari lamanya.

Setiap harinya, ia selalu membanggakan hasil praktiknya itu kepada teman-temannya dan bahkan sahabat jauhnya yang sudah pindah sekolah, dan hasil dari penelitiannya itu sudah seperti sebuah kebanggaan bagi Angga. Tanaman bercahayanya sangat membuatnya menjadi seseorang yang percaya diri.

Namun, itu semua tidak berlangsung lama setelah tanaman bercahaya yang selalu menemaninya di malam hari pun harus direlakan oleh Angga setelah sang ibu memasaknya menjadi sayuran lezat yang cukup membuat dirinya Shock.

Mengingat memori terhebat itu, membuat angga menyunggingkan senyumannya, melupakan kondisi dan situasi yang tengah dihadapi oleh dirinya untuk sejenak. Namun, persekian detik setelahnya, Angga kembali tersadar ketika ia merasakan suhu udara di dalam labirin itu mendadak turun dan berubah menjadi sangat dingin. Dan suhu yang dirasakan dingin kembali menjadi sangat dingin lagi, hawa dingin di dalam labirin itu membuat Angga sempat menggigil karenanya. Ia pun memutuskan untuk kembali berjalan agar tidak mengalami Hipotemia.

"Aku harus menemukan tempat yang aman dan hangat …," gumam Angga kepada dirinya sendiri, ia memutuskan untuk melakukannya karena Angga merasa bahwa udara yang dirasakannya saat ini mencapai kurang dari 4 derajat celcius, dan Angga tidak terbiasa dengan suhu dingin yang ekstrem seperti itu, karena dirinya lama tinggal di kota Jakarta.

Angga menelusuri lorong-lorong panjang yang tidak berkesudahan saat itu. Angga mengakuinya, ia amat sangat lelah, dan membutuhkan istirahat sekarang juga! Namun ia belum menemukan tempat yang aman untuk dijadikan sebagai tempat peristirahatan yang nyaman dan juga aman.

Sriiiiing~

Indra pendengaran dari Angga menangkap sebuah suara desingan pedang, dan hal tersebut tentu membuat Angga merasa panik dan terancam. Rasa panik yang melanda Angga saat ini membuatnya tidak tahu harus melakukan apa, namun satu kata pun muncul begitu saja di dalam benak Angga saat ini.

Lari_ satu kata itulah yang muncul di dalam benaknya, sehingga Angga memutuskan untuk segera menolehkan pandangannya ke kanan dan ke kiri untuk mencari tahu asal suara dari desingan pedang tersebut, dan ketika ia mengetahui bahwa asal suaranya muncul dari arah kanan, Angga pun segera berlari ke arah kiri untuk menghindari orang yang mendesingkan pedangnya tersebut.

Sembunyi_ kata lainnya pun muncul di dalam benak Angga setelah ia berlari, membuat Angga menoleh ke arah sekitar untuk mencari tempat persembunyian yang baik yang ia rasa pas untuk menyembunyikan tubuh besarnya. Namun, Angga sama sekali tidak menemukan celah sedikit pun di antara semak yang ia lalui untuk dijadikan sebagai tempat bersembunyi.

Siiing~

Desingan dari suara pedang itu semakin mendekatinya, yang membuat Angga semakin merasa panik tidak karuan karena mendengar suara tersebut.

"Hah … hah … hh … " deru napas Angga terdengar amat jelas oleh dirinya sendiri, dan bahkan suara detak jantungnya pun terasa begitu jelas di telinganya.

Berlari dan terus berlari, Angga melangkahkan kakinya dengan cepat tanpa henti, menelusuri labirin yang kala itu hanya menyajikan satu jalan ke depan, menyadari hal itu membuat Angga merasa amat putus asa, ia hendak menyerahkan dirinya begitu saja setelah langkah cepat yang dilakukan oleh Angga kian melamban.

Napas yang semakin memburu lah yang mendominasi suara yang ada di sekitarnya selain desingan pedang yang terdengar tidak pernah berhenti, mungkin suara itu ditimbulkan untuk semacam warning kepada dirinya dan juga yang lainnya, sama seperti suara siulan dari lelaki pemegang kepala yang menyeramkan.