"Untuk hari ini, kurasa akan lebih baik jika kita bermalam dan beristirahat di sini, kau bisa tidur di mana saja sesuai dengan tempat yang menurutmu nyaman, aku akan tidur di sudut ini … selamat beristirahat!" ucap Eiji kepada Angga, dirinya sesegera saja berbaring di sudut sebelah kanan dari tempat Angga berdiri saat ini, melihat Eiji yang nampaknya sangat lelah, membuat Angga menghembuskan napasnya dan kemudian berjalan mengelilingi labirin tersebut untuk mencari tempat yang nyaman, sesuai dengan apa yang diucapkan oleh Eiji.
Angga pada akhirnya berbaring di sudut yang letaknya bersebrangan dengan Eiji, dan itu merupakan tempat yang dirasa nyaman bagi Angga. Ia berbaring di atas rerumputan yang keras itu seraya menatap langit yang kala itu hanya terlihat biru gelap, tak ada bintang, dan tak ada bulan, hanya pencahayaan dari semak-semak lah yang kini menerangi sekelilingnya.
Pandangan Angga saat ini tertuju ke arah Eiji yang sudah tertidur terlebih dahulu dari dirinya, dan pikiran Angga pun saat ini bertanya-tanya mengenai berapa lama anak itu sudah berada di dalam dimensi ini?? apakah dia sudah berada di dalam labirin ini selama satu bulan lamanya? Hal itu muncul hanya karena baju yang dikenakan oleh dirinya sudah terlihat lusuh dan rambut darinya pun sudah mulai memanjang, dan itulah akhirnya kenapa memunculkan pertanyaan semacam itu di dalam benak Angga mengenai Eiji yang kini tengah terlelap di sebrang sana. Pikiran Angga terhadap Eiji pada saat itu pun akhirnya teralihkan ketika ia mendengar suara pekikan kecil seorang wanita dan juga suara ringisan seorang laki-laki.
Dengan gerakan spontan, Angga terbangun dari tempatnya dan kemudian menoleh ke kanan lalu ke kiri untuk menatap sekitar dari ruangan tersebut, hingga akhirnya ia mendapati darah mengalir dari samping kanan tempat di mana dirinya berdiri saat itu. Melihat darah tersebut, membuat Angga sangat yakin bahwa ada seseorang yang terluka di luar sana.
Ditolehkannya pandangan Angga kepada Eiji yang masih terlelap di hadapannya, tidak tega membangunkannya yang sudah terlelap seperti itu, membuat Angga pun memutuskan untuk keluar dari semak-semak tersebut tanpa memberitahukan niatnya dalam membantu atau membangunkan Eiji sedikitpun. Ia merasa bahwa ia harus menolong seseorang yang ada di luar sana. Setidaknya, Angga memang tidak ingin menjadi seorang pembunuh, dan membiarkan orang yang terluka hingga meninggal pun sama saja seperti pelaku pembunuhan, itulah yang ada di dalam benak Angga, sehingga dirinya pun nekad melakukan hal itu.
Srak!! Srak!!
"Ugt!"
Angga meringis dan sedikit menggeram ketika ia berusaha untuk menembus tembok semak yang sangat padat, namun ia terlihat sangat kesulitan. Dengan susah payah, ia berusaha untuk menembus semak-semak tersebut, namun upayanya dalam menembus dinding semak tersebut pun gagal. Semak-semak tersebut terlalu padat dan mustahil bagi dirinya untuk bisa menembus dinding semak labirin tersebut, dan begitupun dengan orang-orang lain yang mungkin saja memiliki pemikiran yang serupa dengan Angga.
"Eum … apa yang sedang kau lakukan?" sebuah pertanyaan yang terlontar dari Eiji pun, membuat Angga segera berbalik badan dan menoleh menatap Eiji yang kini sudah berdiri dari tidurnya dan menatap ke arah Angga dengan pandangan yang bingung.
"Oh! … itu" ucap Angga menggantung seraya menunjuk ke arah belakang, tanpa berucap dengan jelas.
Membuat Eiji yang mendengar ucapan itu pun semakin merasa bingung, Eiji berdiri dari tempatnya dan kemudian berjalan mendekati Angga. Setelah mendekat, Eiji pun terkejut ketika kedua matanya kini menatap genangan darah yang merembes dari luar labirin sana, hal itu pun membuat Eiji kini menoleh menatap Angga yang juga menatap genangan darah tersebut dengan wajah yang cukup cemas.
"Apakah kau ingin membantunya?" sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh Eiji kepada Angga, membuat Angga kini segera menganggukkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan tersebut.
"Ya, aku harus membantunya … dia terluka dibalik tembok ini" jawan Angga seraya menoleh menatap Eiji yang kini terlihat begitu ragu karenanya.
"Kau yakin, dia terluka??" tanya Eiji lagi, pertanyaan yang dilontarkan oleh Eiji saat itu membuat Angga terbingung hingga mengerutkan dahinya, ia tidak mengerti dengan Eiji yang seolah mencurigai bahwa orang yang ada di luar bisa saja menipu atau bisa saja sudah tidak bernyawa.
"Setidaknya kita harus mengetahui kondisi dari dirinya saat ini, Eiji!" ujar Angga kepada Eiji yang kini mengangguk dengan pelan dan menghembuskan napasnya untuk bersiap membuka semak-semak tersebut.
Digosokkannya kedua telapak tangan Eiji yang kemudian merentangkan tangannya ke depan, ia kemudian merentangkan kedua tangannya yang saling bertautan, dan kemudian memisahkan tangan kanan dengan tangan kiri darinya yang akhirnya membuat semak-semak itu terbelah dan terbuka seperti dua buah pintu gerbang yang dipisahkan.
Secepat setelah ia membuka dinding semak tersebut, sesegera pula lah sebuah tubuh hadir dan tergeletak di hadapan Angga. Melihat hal itu pun membuat keduanya cukup terkejut melihat kondisi dari tubuh itu.
Tubuh lelaki itu kini bersimbah dengan darah, sebuah luka kibasan pedang yang kala itu di dera oleh lelaki tersebut, yang membuatnya kehilangan banyak sekali darah, bagaimana tidak? Kibasan dari pedang itu menghasilkan sebuah luka yang menganga cukup panjang dari bahu kanan hingga ke pinggang bagian kirinya. Hal itu tentu sangatlah menyakitkan.
Napas dari laki-laki itu terlihat tersenggal-senggal, dan dirinya pun kini menoleh menatap ke arah Angga yang langsung hadir disampingnya. Angga segera melepaskan jas yang dikenakan olehnya untuk menahan pendarahan hebat yang dialami oleh lelaki tersebut.
"Hh … hhhh …. hhh … "
"Eiji, berikan aku mantelmu!" ucap Angga kepadanya yang kini terlihat terdiam terpaku di tempatnya, dan Angga yang belum menyadarinya pun menoleh menatap lelaki yang kini terlihat mengejang dan kesakitan di depan mereka. Hal itu membuat Angga kembali menolehkan pandangannya karena merasa bahwa Eiji tidak kunjung memberikan rompi itu kepadanya.
Hal itu membuat Angga melirik kembali Eiji yang ternyata masih terdiam, membuat angga harus kembali memanggilnya untuk menyadarkan Eiji, "Eiji! Hei! Eiji!!" panggil Angga lebih keras lagi kepadanya, namun kali ini Angga berhenti memanggil Eiji setelah lelaki itu menggenggam lengan Angga dengan cukup kuat dan menggelengkan kepalanya.
Kedua pandangan Angga kini menatap lelaki itu yang baru saja menggelengkan kepalanya dan tersenyum ke arah Angga sebelum akhirnya menghembuskan napas terakhirnya di tangan Angga.
Bertepatan dengan hal itu, situasi gelap yang tengah menguasai labirin itu pun berganti menjadi cerah, seolah seseorang baru saja menghidupkan tombol turn on, yang membuat hari seketika berganti dari malam ke siang.
…