Chereads / Pernikahan Paksa Gadis Desa / Chapter 29 - Laila Pingsan

Chapter 29 - Laila Pingsan

Meskipun Laila dibela oleh Seruni, bukan tidak mungkin, Eva akan bertindak lebih jauh lagi. Namun itu tidak mudah bagi Eva. Laila merupakan seorang gadis yang kuat. Ia sudah terbiasa dengan tekanan seperti ini. Ia sudah bekerja keras untuk bertahan hidup dari kecil.

Mendengar panggilan dari Laila, Seruni sangat senang. Bagaimana tidak, anak menantunya ini adalah sebuah anugerah terindah yang dimiliki keluarga Redho. Selain itu, Laila terlihat tegar dan masih tersenyum saat diperlakukan buruk oleh Eva.

"Iya, Sayang," balas Seruni.

Nyatanya Seruni lebih menyetujui pernikahan anaknya dengan Laila. Walau dirinya tidak menyalahkan Eva sepenuhnya, ia tidak ingin Eva berbuat nekat untuk memisahkan Laila dari Hilman.

"Dia istri pertama mas Hilman?" tanya Laila pada Seruni.

"Iya, Sayang ...." Seruni menatap Laila dengan lembut. Mengelus kepala Laila yang terbungkus kerudung birunya.

"Baiklah, Ma. Mungkin aku hanya menantu yang tidak dianggap. Aku tidak seharusnya berada di tengah-tengah keluarga kalian," ujar Eva lirih dengan berlinangnya air mata.

"Ma," panggil Hilman. Ia tidak setuju dengan tindakan mamanya yang terus memojokkan Eva.

Hilman sudah menurut untuk menikah dengan Laila. Ini berarti Eva harus diterima dengan baik di dalam keluarga. Jika ada yang tidak menerima Eva, lebih baik Hilman pergi dan meninggalkan rumah.

"Kamu bukannya tidak mendapat pengakuanku, Eva. Tapi kamu ingat baik-baik, untuk tidak mengganggu Laila lagi!" tegas Seruni.

"Aku tidak-"

"Tidak apa? Apa maksudmu dengan memamerkan statusmu itu, bisa seenak dan semaumu? Kurasa derajatmu tidak setinggi itu." Seruni menatap Eva dengan geram. Ada perasaan tidak suka Seruni pada Eva. Tidak rela rasanya jika Eva terus-terusan berada di tempat ini.

"Maaf ..." ucap Eva lirih.

"Ma, Cukup!" bentak Hilman.

"Apa? Kamu berani membentak mama karena wanita ini?!" balas Seruni menunjuk ke arah Eva. "Sungguh mama kecewa padamu, Hilman," tandas Seruni.

"Tapi, Ma," elak Hilman. Tidak seharusnya seorang anak membentak orang tua. Apalagi itu adalah orang yang telah melahirkannya, yang merawat dan memberikan kasih sayangnya semenjak kecil.

"Cukup, Hilman! Ini acara pernikahanmu. Jangan sampai runyam karena masalah wanita ini." Seruni menarik tangan Eva agar menjauh dari Hilman dan Laila.

"Ma! Apa yang akan Mama lakukan?!"

"Diam, Hilman. Mama tidak suka kalau acara pernikahanmu ada yang merusaknya. Biarkan mama bicara empat mata dengannya." Seruni membawa Eva ke tempat lain, menjauh dari Laila dan Hilman.

"Mama kenapa berbuat seperti itu?" Hilman putus asa dengan semua yang diperbuat Seruni. Ia tahu kesalahan yang dilakukannya. Namun ia tidak ingin terjadi sesuatu pada Eva.

"Mas, kamu tenang saja, pasti mama tidak akan berbuat sesuatu yang buruk pada kak Eva." Laila melihat kepergian Seruni bersama Eva. Perlahan menghilang dari pandangan.

"Apa pedulimu?"

Hilman menatap Laila sejenak. Ia kemudian mengedarkan pandangan ke semua tamu undangan. Banyak di antara mereka yang sedang memotretnya bersama Laila. Terutama rekan-rekan Redho dari luar kota. Mereka merupakan rekan kerja Redho saat bekerja di kota dahulu. Sebelum memiliki usaha sendiri di bidang pertanian atau perkebunan.

Sebenarnya Hilman ingin mengejar Eva yang dibawa oleh Seruni. Ia tahu mamanya orang baik, meski tidak menyetujui hubungannya dengan Eva, Hilman yakin Seruni tidak akan berbuat sesuatu yang membahayakan nyawa Eva.

Sesuatu yang ditakutkan oleh Hilman adalah Eva dipaksa oleh Seruni untuk meninggalkannya. "Apa yang dilakukan mama pada Eva?" gumam Hilman.

"Mas, kenapa?" tanya Laila menatap Hilman yang menunduk murung.

"Eh, tidak. Kamu jangan liatin aku seperti itu!" ucap Hilman dengan nada tinggi.

Ucapan Hilman membuat Laila mundur sejenak. Ia menghela nafas untuk menstabilkan badannya yang terhuyung ke belakang. Ingin sekali rasanya ia membalas ucapan Hilman namun kepalanya tiba-tiba terasa pusing.

"Ya Allah ... pusingnya," keluh Laila.

"Sudah, jangan pura-pura," lirih Hilman. Ia tidak peduli dengan Laila yang dikira berpura-pura pusing.

"Enggak, aku beneran pusing," jujur Laila. Ia memegangi keningnya sembari menahan tubuhnya yang hampir terjatuh.

Orang-orang yang mendengar Hilman yang membentak Laila pun mulai memperhatikan mereka. Hilman tahu dirinya sedang dipandangi beberapa orang hanya menahan malu.

Karena tidak ingin membuat gunjingan terjadi, Hilman melihat Laila sejenak membisikkan, "Kamu jangan ngerepotin orang seperti ini, Laila ... aku tidak suka." Kemudian Hilman merangkul Laila.

"Aku nggak-" ucap Laila terhenti.

Sebelum Laila mengatakan dengan jelas, Hilman menutup mulut Laila dengan tangannya. "Kamu tidak perlu bicara lagi, Laila. Jadi perempuan nurut dikit, ngapa!" tegas Hilman dengan nada kesal.

Sebenarnya Hilman hanya emosi dengan orang tuanya. Ia juga tidak berpikir bahwa Laila benar-benar sakit kepala. Akal pikirannya dipenuhi kecemasan tentang nasib istri pertamanya, istri yang paling ia cintai, Eva.

"Akh, aku pusing," lirih Laila yang memegangi kepalanya. Ia juga merasakan melilit di perutnya. "Ya Allah, perutku."

Hilman memandang ke arah para tamu undangan yang memperhatikannya. Ia berpikir keras agar tidak terjadi keributan. Namun saat ia melihat Laila, perempuan itu terlihat semakin pucat dan akhirnya tak dapat menahan tubuhnya tetap berdiri.

"Laila!" sentak Hilman menangkap punggung Laila. Ia melihat Laila begitu pucat di siang hari itu. "Beneran pingsan?" Hilman segera membopong tubuh Laila dan berlari ke arah kamar.

"Laila!" Pramono yang melihat Laila dibopong Hilman, berlari ke arah kamar pengantin Laila dah Hilman.

Di dalam kamar, Hilman meletakan Laila ke ranjang pengantin yang sudah diatur sedemikian rupa dengan berbagai pernik dan bunga mawar merah yang ditata rapi membentuk dua hati.

Hilman tidak memperdulikan itu semua, ia kemudian melepas jasnya dan melemparkan ke sisi Laila. Ia merasa gerah karena kepanikan yang masih melanda. Bukan karena Laila saja tetapi karena Eva yang dibawa oleh Seruni.

"Masalah ini terjadi karena gadis ini, aku harus menanggung malu. Hah, sungguh merepotkan," lirih Hilman. Hilman melihat wajah pucat Laila.

"Ada apa dengan cucuku?" tanya Pramono yang sudah masuk ke kamar.

"Menantuku," ungkap Redho khawatir. "Mamah kemana, sih? Tidak tahu menantunya pingsan begini?"

Redho kemudian mendekat ke arah mereka. Ia melihat Pramono yamg sudah terlebih dahulu memegang kening Laila. Ia juga memperhatikan kondisi cucu perempuannya.

"Ada apa, Bapak?" Redho memberanikan diri bertanya pada Pramono.

Karena sudah kebiasaan semenjak kecil, Pramono tahu betul apa yang terjadi dengan Laila. Ia akan pingsan jika dalam kondisi saat ini. Karena hidup mereka yang dalam kekurangan itu, Pramono hanya bisa memeriksakan Laila ke dukun di desanya.

Seiring berjalannya waktu, Pramono tahu cara dukun itu mengobati dan memeriksa Laila. Di desa ada seorang dukun, namun itu bukanlah dukun yang bekerjasama dengan jin. Dukun yang dimaksud adalah seorang yang biasa menyembuhkan penyakit dengan memeriksa nadi dan mengobati dengan resep tradisional. Dari rempah-rempah ataupun tanaman obat.

Pramono tahu betul dengan cucu perempuannya itu. Ia malah tersenyum dan meninggalkan tempat itu. Ia lalu mengatakan, "Biarkan dia istirahat dulu. Cucuku ini kebiasaan, kalau makan suka telat. Biarkan dia istirahat dulu, nanti setelah sadar, beri makan." Pramono berlalu meninggalkan kamar itu.

Kepergian Pramono menimbulkan tanda tanya pada Redho dan Hilman. Mereka saling menatap tidak percaya, kakeknya sendiri tidak mengkhawatirkan cucunya yang pingsan.

"Kakek yang aneh," ucap Redho dan Hilman bersamaan.

***