Keduanya saling tergagap, bingung mau mengatakan apa. Pada akhirnya mereka hanya menjadi dua orang yang asing. Tidak saling berbicara karena keduanya sama-sama punya pemikiran dan dendam tersendiri.
Bagaimana tidak, Hilman yang harus mengorbankan cintanya hanya untuk menikahi Laila. Ia harus menerima Laila menjadi istri keduanya. Sementara orang yang paling dicintainya tidak dapat restu dari papanya sendiri.
Sementara Redho masih tidak terima Hilman menikahi Eva. Ini bukan karena status Eva yang dulunya mantan wanita malam. Ini menyangkut soal harga dirinya. Ia juga harus menepati apa yang ia nazar-kan. Ia tidak tahu harus menjelaskan apa pada almarhum sahabatnya saat tahu Hilman telah menikahi wanita lain selain Laila.
"Kau, urus istrimu!" Redho pun berlalu meninggalkan Hilman. Itu adalah kalimat yang termasuk panjang yang diucapkan Redho pada Hilman.
Setelah pertengkaran Hilman dan Redho waktu dulu, mereka sudah sangat jarang berbicara satu sama lain. Alasannya karena keegoisan keduanya yang tidak mau saling mengalah.
"Iya," balas Hilman merasa canggung terhadap papanya sendiri. Walau sebenarnya ia ingin berbicara lebih banyak dengan Redho.
Hilman duduk di tepi ranjang. Ia memperhatikan wajah istri mudanya itu. Terlihat cantik walau wajahnya berubah menjadi pucat. Sementara terdengar keributan di luar kamar.
"Aku mau bertemu menantuku!"
Seorang wanita paruh baya berucap keras. Itu membuat Hilman yakin itu suara wanita yang telah melahirkannya, Seruni.
Tak lama kemudian pintu kamar terbuka. Dan jelas saja Seruni langsung berlari ke arah menantunya. Ia terlihat cemas ketika mendengar Laila jatuh pingsan.
"Kamu kenapa, Nak? Kupikir kamu baik-baik saja," ungkap Seruni. Wanita itu mendekat ke arah Laila. "Kenapa pucat seperti ini?" Seruni menatap anaknya untuk memberinya kejelasan.
"Dia pingsan, Ma. Kata kakek Pramono, mungkin dia belum makan." Hilman melihat mamanya khawatir. Tidak tega ingin memarahi karena telah membawa Eva pergi dari sisinya.
Raisya yang sedang menikmati makanan, mendengar orang-orang berkata Laila pingsan. Gadis itu pun segera meninggalkan makanannya. Ia masuk ke dalam kamar pengantin.
"Ada apa, Ma?" Raisya pun tidak mau ketinggalan. Ia sudah berada di kamar itu, menengok Laila yang tidak sadarkan diri.
"Anak kecil, ngapain masuk-masuk!" bentak Hilman. Ia tidak ingin kamarnya menjadi terlalu ramai. Apalagi ia bisa saja bertengkar dengan Raisya.
"Kakak ngapain bentak aku? Kaki, kaki aku, ngapain harus minta persetujuan kakak? Bebas terserah aku, dong!" cetus Raisya.
"Dasar anak bandel, yah!" gertak Hilman
"Sudah! Kalian jangan ribut terus! Kakak adik kerjaannya ribut terus. Lihat kalian, menantu cantik mama sudah pingsan!" Seruni kemudian memegang tangan Raisya. Melihat ke arah Hilman dan menggelengkan kepala.
"Ada apa, Ma?" tanya sang gadis yang tidak mengetahui apa-apa.
"Ayo keluar, Nak! Jangan bertengkar dengan kakakmu terus." Seruni membawa Raisya untuk menjauh dari Hilman.
"Iya, Ma. Aku juga tidak mau berantem sama dia," balas Raisya. Gadis itu menggandeng tangan Seruni hingga keluar dari ruangan.
"Tunggu, Ma. Di mana Eva!" teriak Hilman sebelum akhirnya Seruni keluar dari kamar.
Seruni tidak menjawab pertanyaan dari Hilman. Membuat Hilman diliputi emosi dan kekhawatiran. Jika saja Laila tidak pingsan, ia ingin mencari Eva. Ia khawatir Eva sudah meninggalkan tempat pesta.
Setelah Raisya dan Seruni keluar dari kamar, Hilman mencari ponselnya. Ia ingin menghubungi Eva. Ia berharap Eva masih ada di sekitar tempat itu. Namun tidak ada jawaban dari Eva. Ia menyentakkan kakinya, menendang angin.
"Sial!" umpatnya. Ia kemudian duduk di tepi ranjang. Ia melihat wajah Laila sekali lagi. "Cantik," gumam Hilman menyadari bahwa Laila memang cantik.
Jika dibandingkan dengan Eva, Laila memiliki wajah yang lebih cantik. Ia masih mengenakan pakaian pengantin yang dipakaikan oleh Seruni.
"Kelihatannya ini sesak. Apakah aku bisa melonggarkannya saja?" ujar Hilman sambil menyentuh pakaian Laila.
Hilman merasa Laila tidak bisa bernafas dengan baik karena pakaian Laila begitu ketat. Apalagi bagian dadanya yang terlihat menderita. Hilman mulai membuka kerudung Laila dan terlihatlah sedikit rambut hitam Laila.
"Rambutnya pun hitam dan panjang," gumam Hilman. Ia kemudian mengalihkan pandangannya, tidak ingin melihat lebih jauh.
Beberapa saat kemudian, Hilman melihat Laila mulai menggerakkan matanya. Ia membuka matanya dan pandangan mereka saling bertemu. Laila tersenyum lembut pada Hilman. Senyuman lembut itu membuat Hilman terpaku sejenak.
Seketika Laila menyadari bahwa rambutnya keluar dari kerudungnya. Ia meraba pakaiannya yang masih menempel di tubuhnya. Hanya saja baju pengantin Laila sudah dilepas oleh Hilman.
"Aku kenapa?" tanya Laila lalu memundurkan diri langkah karena
Pertanyaan Laila membuyarkan lamunan Hilman. Pria itu tergagap dan bingung mau menjawab apa. Pikirannya masih kosong karena fokus dengan wajah Laila.
"Kenapa, Mas?" Kembali Laila bertanya pada lelaki yang sudah sah menjadi suaminya itu.
Hilman tidak langsung menjawab pertanyaan Laila itu. Ia memalingkan wajahnya lalu berdiri dan memundurkan badannya. Ia hendak pergi dari ruangan itu namun Laila mencegahnya.
"Kamu mau ke mana, Mas?" lirih Laila. Ia belum bisa berucap dengan keras. Badannya lelah karena seharian ini belum makan.
"Ambil makan!" jawab Hilman singkat. Ia pun berlalu meninggalkan ruangan itu.
"Baik, Mas. Maafkan aku yang mengganggu pernikahan ini."
Laila mengangguk. Ia merasa bersalah pada semua orang. Karenanya, mereka jadi repot. Seandainya ia makan dari pagi, ia tidak akan pingsan seperti ini.
"Apakah aku pingsan? Ini salahku karena tidak makan dahulu. Jadinya aku pingsan," lirih Laila. Laila menatap keluarnya Hilman dari kamar mereka.
"Aku harus segera mencari Eva. Tetapi aku tidak bisa meninggalkan gadis itu begitu saja. Sebaiknya kuambil kan makan untuknya terlebih dahulu."
Hilman keluar dari kamar menuju meja yang ada makanannya. Pria tersebut mengambil piring dan mengambil nasi. Ia menambahkan lauk seperti ayam serta sayuran. Ia mengambil sepiring penuh.
"Pasti perempuan itu makannya banyak," lirih Hilman sembari tersenyum.
Ia melihat air mineral kemasan dan mengambilnya. Ia membawa makanan dan air ke kamar pengantinnya bersama Laila. Di sini masih ada orang tuanya. Ada juga kakek Laila yang sudah berpesan untuk menjaga Laila. Ia tidak ingin mengecewakan semuanya. Walau ia tidak ingin pernikahan ini, Hilman harus menjaga sikapnya. Ia tidak ingin pernikahannya menjadi bahan gosip bagi warga desa Wanadadi.
"Pak Hilman, selamat atas pernikahannya. Maaf, baru bisa datang sore ini," ungkap seorang pria paruh baya. Dia merupakan petani yang bekerja di ladangnya.
"Iya, tidak apa-apa. Terima kasih," sahut Hilman. Hilman mengangguk dan bermaksud meninggalkan orang itu.
"Tunggu, Pak Hilman. Saya belum bertemu dengan Laila," cegat pria paruh baya itu. "Saya mau memberinya selamat juga. Akhirnya guru mengaji anak-anak kami menikah, pasti anak-anak didiknya sangat senang."
"Iya, nanti akan kubawa ke sini. Silahkan Bapak menikmati hidangan yang tersedia dulu. Maaf, saya ada urusan sebentar. Tidak bisa menemani." Hilman meninggalkan pria paruh baya itu.