Chereads / Pernikahan Paksa Gadis Desa / Chapter 36 - Keteguhan Laila

Chapter 36 - Keteguhan Laila

Banyak pihak yang menyayangkan akan kejadian yang mereka saksikan sendiri. Karena tidak ingin menahan malu, Redho memutuskan untuk membubarkan acara besar pernikahan yang terlanjur kacau.

Redho menghampiri panggung yang sedang digunakan untuk mengumandangkan lagu. Ia merasa pernikahan anaknya menggunakan uangnya sendiri. Maka ia berhak acara tersebut. Ia bisa membubarkannya sendiri.

"Sore semuanya. Di sore hari ini, kita berada di ujung acara ini. Ijinkan kami sebagai orang tua, sekaligus wali, kami mengucapkan banyak terima kasih atas kehadiran saudara-saudari sekalian."

Redho bisa mengatakan itu pada semua pada seluruh tamu undangan. Ia diam sejenak sambil mengedarkan pandangan menyeluruh tempat.

"Tanpa mengurangi rasa hormat kami, izinkan kami memohon permintaan maaf, terkait kejadian tidak menyenangkan ini." Redho berdecak lesu. Bagaimana tidak, acara yang seharusnya dipenuhi kebahagiaan, kini telah hancur ditangannya sendiri.

Semua tamu undangan menatap ke arah Redho. Mereka memaklumi ucapan dari Redho. Namun tidak bisa dipungkiri, sebagai orang paling berpengaruh di desanya, masalah seperti itu mendapat berbagai cibiran dan beberapa kata tidak mengenakan.

"Karena kami memiliki urusan yang tidak bisa ditunda lagi, kami mohon undur diri dan acara bisa dibubarkan saat ini juga, terima kasih. Dan mohon maaf untuk semua, maksud baik anda sekalian kami terima dengan baik. Terima kasih telah menghadiri acara pernikahan anak kami. Wassalamu'alaikum warahmatullah ..." tandas Redho, turun dari atas panggung.

Para tamu undangan memakluminya. Mereka berangsur meninggalkan vila mewah itu. Karena tidak mau ikut campur urusan keluarga yang tidak akur itu.

"Ayo kita pergi, Bu," ajak seorang suami kepada istrinya.

"Sebentar, Pak. Habiskan ini dulu," balas sang istri.

"Tidak usah. Ayo cepat pergi!"

"Iya sudah. Ayo pulang saja!"

Sepasang suami-istri itu hanya sebagian kecil dari orang-orang yang masih sibuk dengan urusannya. Bahkan ada yang sedang menyuap makanan dan baru saja mengambil makanan. Mendengar ucapan Redho, membuat mereka tidak mood lagi makan. Ini juga mereka maklumi karena anak dari orang nomor satu di desa mereka telah membuat marah.

Suasana menjadi sepi selepas kepergian para tamu undangan. Makanan yang tersisa pun masih banyak. Para juru masak dan pelayan tidak tahu harus berbuat apa. Sementara para musisi mendekati Hilman untuk menanyai kejelasannya.

"Bagaimana dengan kami, Pak Hilman? Kami sudah mempersiapkan semuanya. Tapi malah jadi seperti ini." Sang vokalis bertanya pada Hilman dengan wajah ditekuk.

Niat hati ingin menghibur tapi sekarang sudah tidak ada orang lagi. Mereka sudah mendapatkan bayaran sebelum tampil. Harusnya mereka bernyanyi selesai nanti jam enam sore. Setelah lewat jam enam, akan digantikan para santri yang melantunkan sholawat.

Sampai saat ini anggota musik gambus itu belum tampil. Mereka saat ini tidak ada di acara itu karena mereka masih dalam perjalanan.

"Sudahlah ... hari ini sudah cukup. Terima kasih buat kalian semua yang sudah menghibur kami." Hilman membubarkan dan mempersilahkan mereka untuk meninggalkan acara tersebut.

"Tapi kami belum sampai jam yang sudah ditentukan. Ini baru jam tiga lebih sedikit," sanggah sang vokalis. Ia tidak bisa begitu saja menerima uang yang telah diberikan oleh Hilman.

"Tidak apa-apa. Kalian sudah melakukan yang terbaik. Lain kali, kami akan mengundang kalian lagi. Terima kasih."

Mereka saling berunding dan mencapai kesepakatan. Para musisi itu pun meninggalkan tempat itu. Sementara masih ada juru masak dan beberapa orang yang membantu, mereka juga telah dibubarkan oleh Redho. Mereka hanya perlu membereskan semuanya baru bisa meninggalkan tempat.

Keluarga Redho membayar mereka penuh walau mereka tidak sampai waktu yang telah disepakati.

Laila telah meninggalkan Hilman yang berada bersama Eva. Ia menghampiri ibu mertuanya untuk meminta tolong melepas pakaiannya karena pakaian Laila terasa sesak.

Setelah mengganti pakaiannya, Laila memasuki dapur. Ia masuk ke dapur untuk membantu.

"Kenapa kamu ikut membantu juga, Laila? Kamu sudah menjadi istri pak Redho, lho. Tidak perlu turun tangan begini," ungkap seorang wanita. Ia tahu Laila sangat baik namun tidak untuk saat ini.

Keadaan memang membuat acara berlangsung tidak baik. Laila seharusnya merasa sedih dan kecewa terhadap Hilman. Namun itu bukan Laila namanya kalau ia terus berlarut dalam masalah ini.

"Tidak apa-apa, Buk. Aku sedang tidak ada kerjaan. Lagian aku suka melakukannya," balas Laila. Segera gadis itu mengambil piring kotor dan mencucinya.

"Tapi ini tugas kami, Nduk. Kami sudah dibayar untuk semua tugas dapur. Dan maaf Laila, kamu tidak apa-apa, kan? Kamu harus kuat, Nduk." Ia merasa kasihan pada Laila. Kalau dia dalam posisi Laila, ia akan merasakan malu untuk bertemu dengan orang-orang. Itu berbanding terbalik dengan Laila.

"Terima kasih, Bu. Insyaallah aku tidak apa-apa, kok." Laila menyunggingkan senyum. Malah Laila terlihat tidak memiliki masalah apapun saat ini.

"Kamu anak yang baik, Laila. Suka membantu kami dari dulu. Seandainya anak lelaki ibu sudah besar, ibu mau menjadi mertuamu yang baik. Hanya mengijinkan anakku menikahi kamu saja, Laila." Ibu itu terasa trenyuh melihat Laila yang masih saja dengan tingkah polosnya.

Sesekali Laila akan membaca tasbih untuk menenangkan hatinya. Namun yang ia biasa lakukan adalah bersholawat. Dengan bersholawat, membuat hatinya menjadi tenang.

"Alhamdulillah ... terima kasih, Bu. Sini aku bantuin." Laila tanpa ragu membantu menyelesaikannya.

Mereka berniat membagikan makanan itu pada warga sekitar agar tidak mubazir. Laila telah membantu sebisanya hingga merasa kelelahan. Akhirnya ia pun meninggalkan mereka. Ia kembali ke kamar untuk melaksanakan kewajibannya.

***

Tidak terasa hari telah gelap. Saat ini vila itu telah sepi dari semua orang. Hanya tersisa Redho sekeluarga.

Saat ini Pramono sedang duduk bersama Laila di ruang depan. Mereka menikmati pemandangan malam dengan tenang. Laila pun tengah membaca ayat suci Al-Qur'an. Itu karena Pramono yang menyuruhnya. Itu dilakukan semata-mata untuk mengobati hati yang terluka.

Hilman melihat Pramono bersama Laila. Lantas ia menghampiri keduanya untuk meminta maaf secara langsung. Memang dirinya yang bersalah karena telah membuat pesta pernikahan ini hancur.

"Kakek," panggil Hilman.

"Kamu, anak muda! Kamu telah berjanji akan memperlakukan cucuku dengan baik. Namun apa yang telah kamu lakukan?" Pramono sangat kecewa terhadap Hilman. Karena Hilman juga, ia juga harus menanggung rasa malu.

"Maafkan saya, Kek." Hilman mendekat ke arah Pramono. Ia akui telah berbuat salah. Apalagi melibatkan Laila dalam urusan ini.

"Sudahlah ... sekarang pun sudah terlambat. Ini sudah terjadi. Kuharap ke depannya tidak terjadi hal ini lagi."

"Sudah, Kek. Sekarang sudah terjadi. Aku tidak apa-apa, kok." Laila tersenyum pada Pramono. Tidak ingin kakeknya mengungkit masalah itu lagi.

Yang terpenting untuk saat ini adalah memperbaiki apa yang telah terjadi. Setidaknya Hilman sudah sah menjadi suami Laila. Hanya pesta pernikahannya yang dibatalkan. Sebenarnya Hilman sudah mempersiapkan semuanya. Hanya saja terjadi hal tak terduga, membuatnya tidak bisa menghindarinya.

Malam yang terasa panas itu menjadi saksi. Pramono meninggallan Hilman dan Laila untuk berbicara empat mata.

"Kalian selesaikan lah semua ini," pungkas Pramono.

"Baik, Kek," jawabnya bersamaan."

***