Chereads / Pernikahan Paksa Gadis Desa / Chapter 32 - Hilman Mencari Eva

Chapter 32 - Hilman Mencari Eva

"Iya, Mas." Laila menuruti Hilman untuk istirahat. Sehabis makan, ia merasa perutnya penuh. Apalagi karena pakaian bagian dalam yang dikenakan terlalu sempit.

Kalau dilihat, badan Laila memang tidak tercetak jelas di pakaiannya. Namun Seruni memakaikan pakaian yang menurut Laila terlalu ketat. Ia agak kesulitan untuk bernafas. Makan sedikit pun merasa kenyang.

"Ini, pakaiannya sempit banget. Kalau dibuka saja, gak apa-apa, kan?" Laila kemudian masuk ke dalam kamar mandi untuk melepas pakaiannya. Namun itu terlalu susah. Karena Laila memakai sebuah gaun yang hanya bisa dibuka dari belakang. Tanpa bantuan orang lain, Laila tidak bisa melakukannya.

Laila yang putus asa akhirnya menyerah. Ia akan meminta tolong orang lain nantinya. Menunggu Seruni masuk ke kamar atau nanti bisa bertemu dengannya.

Lama Laila berada di kamar, ia sampai lupa beribadah. Ia mencari jam dinding di sekitar kamar namun tidak menemukannya. Ia melirik ke arah meja. Mendapati sebuah benda pipih berwarna hitam.

"Ini ponselnya mas Hilman? Bolehlah yah, aku hanya mau melihat jam berapa sekarang," kata Laila.

Laila mengambil ponsel itu dan menekan tombol yang ada di sisi ponsel. Walaupun tidak punya ponsel, Laila tahu cara menggunakannya. Berkat anak didiknya yang memiliki ponsel dan membawanya ke tempat mereka mengaji.

"Ya Allah ... sudah jam tiga lebih," ungkap Laila. Dirinya belum melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Ia kemudian masuk ke kamar mandi untuk mengambil wudhu.

Di dalam kamar mandi, Laila mencari-cari di mana ada kran air. Tak berapa lama akhirnya menemukan shower namun tidak tahu cara menggunakannya. Ia menyalakan shower itu dan tersiram air itu.

"Subhanallah ... aku tidak tahu cara pakainya," keluh Laila. Ia kemudian memutar kran yang menempel di dinding.

Sebenarnya Laila juga tidak sengaja menyalakan shower itu. Ia hanya ingin mengambil air wudhu namun tidak tahu dirinya akan basah seperti itu.

"Jadi orang kaya, ternyata susah juga, yah. Beda banget kalau di rumah sama kakek. Mau mandi, kudu nimba air dulu." Laila mengomentari dan memikirkan bagaimana caranya ia bisa beradaptasi dengan keadaannya saat ini.

Kini ia harus memutar otak cerdasnya agar bisa beradaptasi dengan kehidupan barunya. Walau sebenarnya dirinya lebih nyaman hidup bersama kakeknya. Kalaupun rumahnya bersama sang kakek tidak terlalu bagus, rumah mereka lebih nyaman untuk ditinggali. Sekarang ini mereka berada di salah satu vila milik keluarga Redho. Sebuah vila megah di atas bukit. Namun ia tidak tahu seluk beluk apa yang ada di vila tersebut.

"Di sini serba susah. Mau ambil wudhu aja susah begini," tutur Laila.

Laila melihat sekitar kamar mandi. Ia melepaskan jilbabya dan juga menggulung gaun yang berlengan panjang itu. Dengan membiarkan pintu kamar mandi terbuka, tidak khawatir ada orang masuk ke kamarnya. Kemungkinan yang masuk hanya suaminya karena Laila tidak perlu menyembunyikan rambutnya dari Hilman.

"Bismillahirrahmanirrahim," doa Laila lalu mencuci tangannya. Laila pun berwudhu dengan air shower.

Tidak lama Laila berada di kamar mandi, memutuskan untuk keluar dan mengenakan mukena yang ia bawa dari rumah. Sebenarnya Laila ingin mengajak Hilman sholat juga. Hanya saja tidak berani mengajaknya. Apalagi ia tahu Hilman jarang melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim. Maka Laila harus bersabar dan harus menuntun suaminya perlahan agar dapat melaksanakan kewajibannya.

***

Hilman mencari keberadaan Eva. Pria itu sudah mencari keberadaan istri pertamanya itu selama hampir setengah jam. Jangankan bertemu dengannya, semua orang yang ditanyainya pun bilangnya tidak melihat Eva. Dengan langkah putus asa, ia duduk di sebuah taman.

"Eva, kamu ada di mana?" keluh Hilman. Namun ia hanya bisa bertanya pada angin lalu. Tidak ada yang menjawab pertanyaannya.

Udara di sekitarnya semakin dingin namun sampai saat ini ia belum bertemu dengan Eva. Berbagai hal buruk pun mulai terbayang dalam pikirannya. Tidak tahu harus berbuat apa, Hilman sudah lelah mencari Eva.

Ia memejamkan matanya, duduk dan bersandar pada bangku yang ia temui di taman tersebut. Pria itu merasakan sepasang tangan lembut menutup matanya, merasakan seseorang yang ia kenali adalah istrinya, istri tercintanya.

Eva tidak bisa menyembunyikan rasa hancur dan kecewanya hati. Namun wanita itu tidak mau berlarut-larut dalam perasaan itu. Sang istri itu tahu suaminya kini sudah bukan hanya miliknya. Setidaknya ia memiliki seseorang yang membantunya untuk menjaga suaminya.

"Eva?" tebak Hilman. Kemudian Hilman memegang tangan lembut milik istrinya itu. Ia sadar Eva berada di belakangnya.

"Mas, Hilman." Eva tahu Hilman sudah mencarinya ke mana-mana. Hanya saja ia telah ditugaskan oleh Seruni untuk memilih masakan apa yang harus disediakan malam nanti.

"Kamu ke mana saja, Sayang?" tanya Hilman saat Eva telah duduk di sampingnya.

"Aku? Oh ... aku tadi ke dapur, Mas," jawab Eva tersenyum.

Karena tidak ingin terjadi masalah, Seruni menyuruh Eva untuk membantu bagian dapur. Walau Seruni marah besar, tidak enak hati kalau harus main tangan apalagi kekerasan. Seruni juga seorang wanita juga seorang istri. Ia tidak mau karena kesalahannya pada Hilman, membuat ia dibenci anaknya sendiri. Maka benar keputusan Seruni untuk memerintahkan Eva membantu di dapur.

"Kenapa, Sayang? Oh, pasti karena mama?" Hilman menatap Eva sejenak. Melihat wajah cantik Eva yang tidak berkurang sedikitpun. Hanya buliran keringat menetes di pipi wanita itu.

Eva sudah lelah setelah menyelesaikan apa yang harus ia lakukan. Sebenarnya Eva tidak mau mengatakan pada Hilman kalau dirinya ke dapur. Hanya saja Hilman terus mendesaknya agar mengatakan kebenarannya.

"Aku hanya ke dapur saja, Mas. Mama mengajakku ke dapur karena makanan di meja kelihatannya kurang. Aku sama mama berdiskusi sebentar, tadi." Eva menjelaskan apa yang terjadi antara dirinya dan Seruni.

Seruni tentu tidak ingin ikut campur dengan hubungan percintaan anak-anaknya. Walau sebenarnya ia telah memperingatkan Eva agar bersikap dengan baik dengan istri kedua suaminya.

"Aku tidak bermaksud memisahkan kamu dan anakku, Eva. Walau sebenarnya kami tidak setuju dengan pernikahan kalian, Hilman tetap anak kami! Kamu akan aku akui sebagai menantu, asalkan kamu tidak mengganggu Laila lagi. Bisa, kan?" Ucapan Seruni terngiang di kepala Eva. Itulah yang dikatakan Seruni saat mengajak Eva bersamanya.

Walau statusnya sebagai istri pertama, Eva hanya sebagai istri yang tidak ada nilainya di mata mertuanya. Ia tetap lebih rendah daripada Laila yang merupakan istri ke dua.

Sempat Eva berpikir untuk meninggalkan Hilman waktu ia dibawa Seruni ke belakang. Setelah mendengar janji Seruni, ia setidaknya memiliki angin segar untuk menjalani rumah tangga dengan suaminya.

'Setidadaknya mama mertua tidak memarahiku. Tidak tahu kalau papa,' pikir Eva. Sadar mertua lelakinya yang dahulu pernah membentaknya, sampai saat ini mereka belum pernah berbicara dengannya.

Hilman tersenyum memandang Eva. Ia tidak tahu apa yang ada di pikiran Eva. Namun pria itu tidak bodoh. Ia bisa melihat Eva yang sedang cemas.

***