Sebelum pelajaran di sekolah, Florensia selalu mengecek barang-barangnya yang ada di atas meja. Termasuk salib warna perak dan patung Yesus disalib warna emas. Untuk mendapatkannya memang tidak mudah. Selain membutuhkan biaya mahal, Florensia harus mengikuti setiap pertemuan berupa pelelangan atau black market. Hal itu bertujuan demi mendapatkan kekuatan barunya.
Bukunya disusun rapi dari paling besar hingga kecil. Alkitab yang dia pegang dirapikan kembali. Florensia melihat secarik foto siluet. Kedua matanya menatap lama pada foto tersebut.
Ketukan pintu dari luar. Bersuara serak dan tegas. Florensia menaruh foto itu ke dalam sebuah buku alkitab miliknya.
"Permisi, Grand Master Florensia. Sudah jam enam pagi. Dimohon untuk segera bersiap-siap ke sekolah."
"Baiklah. Tolong siapkan pakaian sekolah milikku. aku mau ganti pakaian dulu," ucap Florensia bernada datar.
Walau demikian, dirinya tidak bisa dipungkiri bahwa Grand Master merupakan title yang cukup berat orang seperti dia. Dekat jendela, terdapat jubah warna putih dengan lambang salib merah atau disebut Templar. Sebilah pedang tajam bertengger di dinding. Memperlihatkan ketajaman untuk Florensia.
Tangan kanan mengelus dari ujung pedang sampai gagang pedang. Begitu kasar dan kotor karena jarang dipakai.
Beberapa menit berselang, Florensia mengenakan jubah putih dengan tali di bagian pinggangnya. Alunan musik berjudul Salve Regina atau nama inggrisnya Hail Holy Queen dikumandangkan.
Pintu dibuka lebar oleh Florensia, terlihat para utusan berlutut padanya. Florensia menganggukan kepala. Dia berjalan bersama salah satu utusan yang membawa seragam sekolah. Seorang Romo berkacamata berada di belakang. Menunggu Grand Master untuk masuk ke dalam mobil. Pintu telah ditutup oleh sopir. Mesin dinyalakan dan berangkat menuju ke sekolah.
Selama dalam perjalanan, Florensia melihat banyak kendaraan berlalu lalang. Suara bunyi klakson terus menerus berbunyi. Beberapa sepeda motor menyalip dari sisi kiri. Florensia menghela napas. Mobil yang dinaikinya hanya mencapai dua puluh kilometer/jam.
Tangan kiri diangkat dekat jendela. Pipi kanan menghadap pemandangan di jalan. Selama dalam perjalanan,dia tidak bisa menyembunyikan rasa kebosanan. Sinar matahari bersinar, menyilaukan kedua mata Florensia.
"Grand Master, apakah anda sudah melakukan pelatihan untuk para ksatria generasi selanjutnya?"
"Ya. Sejujurnya, tidak ada satu orang pun yang memiliki potensi. Walau demikian mereka memiliki dasar kemampuan bertarung seperti ksatria."
"Begitu ya."
"Apakah kau berkeinginan untuk jadi seorang ksatria?" tanya Florensia datar.
"Ya! Jika memang ini kehendak dari Tuhan, hati dan loyalitas saya dedikasikan untuk-Nya!"
"Itu kata-kata yang bagus, Argon. Akan kupertimbangkan dalam pertemuan akan datang," kata Florensia tersenyum tipis.
Argon bukanlah nama sebenarnya. Florensia memberikan nama itu ketika pangkatnya berupa Squire alias pembantu. Menurut informasi yang dia dapat, orang tua membuangnya di pintu gereja. Romo yang menemukannya, langsung membawanya masuk sekaligus merawatnya. Dan memberi nama Argon.
Rambut di cat warna coklat, disisir rapi dan mengenakan kacamata hitam. Baju setelan biru dan dasi merah selalu dikenakan. Di dalam saku baju, terdapat salib yang sudah dikalungkan.
Mobil yang ditumpanginya terjebak di jalan raya. Florensia duduk nelangsa. Kurang bersemangat karena harus menunggu lama. Suara bunyi klakson di area sekitar mengganggu ketenangannya.
"Tidak kusangka manusia berlomba-lomba sampai rebutan tempat demi mencapai tujuan," gumam Florensia.
"Benar, Grand Master. Saya tidak tahu harus menanggapinya seperti apa."
"Kau benar. Memang sudah saatnya kita harus menerima semua yang telah diberikan."
Walau demikian, dalam lubuk hatinya Florensia masih menyimpan rasa sedih. Terlihat samping kiri, banyak orang sedang melakukan aksi demo. Termasuk mengorasikan untuk menuntut hak-hak rakyat yang belum terpenuhi. Dimulai dari harga sembako hingga tuntutan untuk menjebloskan pimpinan gubernur masuk dalam penjara.
Helaan napas keluar dari mulut Florensia. Rambutnya diikat hingga menampakkan bando warna merah. Kemudian, rambutnya diikat sambil menaruh kaca depan ke samping. Dia membukakan pakaian serta celana yang dikenakan.
"A-a-apa yang sedang anda lakukan?"
"Maafkan aku, Argon. Tetapi, aku tidak bisa menunggu lama. Kau fokus ke depan saja," katanya tergesa-gesa.
Setelah beberapa menit dia ganti pakaian di dalam mobil, Florensia merapikan rambutnya dan setelan seragam sekolah yang dikenakan. Membetulkan pakaian sekaligus bercermin.
Tiba-tiba, suara smartphone milik Florensia berbunyi. Dia membuka screen lock, ternyata tertera nama Hugo. Kemudian, dia mengangkat telponnya.
"Ya?"
"Florensia, 'ya? Bagaimana kabarmu?"
"Seperti biasa. Kau selalu membuat tensi darahku meninggi."
Suara ketawa cekikikan dari Hugo. Aragon juga tidak mampu menyembunyikan tawanya. Tatapan tajam dari Florensia, membuat Argon bergidik ngeri. Berdeham karena takut diancam olehnya.
"Lalu, ada apa meneleponku?"
"Kau ini tidak seru, Grand Master. Aku hanya ingin memberitahumu. Bahwa utusan dari DeMolay international akan mendarat di Jakarta. Kemungkinan, dia akan bertemu denganmu."
"DeMolay kah? Kukira Romo atau utusan vatikan kemari," katanya bernada kecewa.
DeMolay International merupakan organisasi saudara untuk berusia dua belas sampai dua puluh satu tahun. Didirikan pada tahun 1919 di kota Kansas sesuai berdasarkan nama Grand Master terakhir, Jacques de Molay.
"Kenapa nadamu kecewa?"
"Tentu saja karena latar organisasi itu yang membuatku kecewa. Masuk bagian Freemason. Hal itu menyimpang dengan ajaran—"
Tiba-tiba, suaranya terputus. Ketika dia mengecek smartphone miliknya, ternyata baterai sudah habis.
"Ya ampun."
Hanya kalimat itulah yang dilontarkan olehnya. Dia memberikan pada Argon untuk mengecas smartphone miliknya.
Akhirnya selama setengah jam menunggu, akhirnya sampai di sekolah. Florensia keluar dari pintu. Argon berniat untuk membukakan pintu. Sayangnya, sanggahan dari tangan Florensia. Dia berjalan melewati pintu sekolah sambil menundukkan kepala. Bando yang dikenakan kurang begitu nyaman.
Florensia menoleh ke belakang, terlihat Argon sedang melambaikan tangan untuknya. Dia berbalik arah sambil berjalan menjauh. Bel sekolah tiga kali berbunyi.
Sementara itu, dari kejauhan sosok laki-laki berpakaian seragam putih sedang mengawasi sekolah. Dia membuka tutup kaleng soda, kemudian menenggaknya berkali-kali sampai isi kaleng soda habis. Dia mengusap bibirnya sambil melototi suasana sekolah.
"Jadi ini tempat Florensia Sihombing bersekolah, ya? Benar-benar membosankan."
Dia menyeringai senyum lebar. Berharap akan ada sesuatu yang menarik. Di belakangnya, terdapat sosok laki-laki bertubuh besar. Membuka tudung kepalanya.
"Apa sebaiknya kuhabisi wanita itu?"
"Jangan dulu. Aku ingin melihat apakah dia memiliki kekuatan suci dalam dirinya. Akan jadi menarik jika kita membunuh satu persatu di sekolah. Oi, Vega! Bunuh salah satu orang di sana."
Pemuda yang bernama Vega membuka jubahnya. Memegang Great Sword warna coklat dengan lambang tengkorak pada bagian tengah. Berambut tipis di tengah dan menyisakan janggut yang dikepang. Tangan kanan memegang gagang Great Sword sambil tersenyum lebar.
"Mari kita bersenang-senang!"