Chereads / Another World Chronicles Universe / Chapter 31 - Chapter 29. Pertemuan dengan Perwakilan Gereja

Chapter 31 - Chapter 29. Pertemuan dengan Perwakilan Gereja

Setelah kejadian tersebut, sekolah diliburkan. Para polisi menindaklanjuti mengenai peristiwa tersebut. Satu persatu mereka investigasi hingga menanyakan para saksi. Termasuk Aisyah dan Florensia. Keduanya di bawa ke tempat terpisah. Selalu menanyakan pertanyaan serupa.

Peristiwa perampokan dan pembunuhan telah jadi headline news di media sosial sekaligus televisi.

Semua mengutarakan pro dan kontra. Ada rumor mengatakan bahwa peristiwa itu terjadi karena lalainya polisi dalam menangkap pelaku. Akibatnya, jatuh korban tidak dapat terhindarkan. Di sisi lain, kepolisian telah mengupayakan yang terbaik dalam proses penangkapan dan investigasi mendalam mengenai kasus ini.

Salah satu contohnya memanggil Aisyah dan Florensia ke polisi. Mau tidak mau, mereka nurut dan mengikuti prosedur kepolisian.

"Goro, apa kau yakin kita terlalu ikut campur dalam kasus ini?"

"Karena yang mereka hadapi bukanlah orang biasa. Apa kau bisa merasakannya?" bisik Goro pada Sakurachi.

Sakurachi mengedipkan mata satu kali. Matanya berubah warna merah. Menelusuri jejak bubuk resiu sihir. Bentuknya menyerupai bubuk mesiu. Tetapi warnanya hitam kebiru-biruan. Jejaknya hanya sampai atap. Sisanya menghilang alias menggunakan sihir tidak kasat mata. Sihir yang merepotkan bagi mereka.

Kemudian, Goro menjelaskan pada para pengikut Knights Templar untuk ikuti aturan hukum. Argon dan utusan hanya bisa tertunduk lemas.

"Semoga Tuhan membebaskan dari iblis yang terkutuk itu."

Tidak ada kata apapun dari mulut Goro maupun Sakurachi. Keduanya saling mengangguk. Namun Fanesya menghampiri mereka berdua.

"Ngomong-ngomong, kalian berdua pasti Sakurachi dan Goro Tsukishima, bukan?"

"Kau siapa?" cibir Sakurachi.

Laki-laki berambut perak memukul bagian belakang kepala Sakurachi. Gadis berambut pink meringis kesakitan.

"Dia itu Fanesya Nurianti. Sahabatnya Aisyah. Kau melupakan hal yang paling penting!" sembur Goro.

"Ya, ya. Ampun dah kau ini sama cerewetnya dengan kapten."

"Kapten? Gufron ada di sini?"

"Sayang sekali, dia tidak ada di sini. Ngomong-ngomong, apa ada sesuatu yang mencurigakan? Kau tahu …" kata Goro berbisik ke telinga Fanesya.

Dia mengangguk-angguk mengerti. Kemudian berpikir sejenak dari kata-katanya.

"Kurasa sih tidak. Tapi …"

"Tapi?"

"Ada seorang laki-laki berpakaian seragam putih sedang menuju kemari. Aku tidak tahu ciri-cirinya. Tapi jaraknya cukup jauh."

Goro dan Sakurachi saling memandang. Tidak salah lagi, pikir mereka serempak. Kedua mata Fanesya memiliki ability penglihatan bernama [Eagle Vision]. Kemampuan yang dimilik Fanesya berbeda dari orang-orang umumnya. Dia kesulitan menguasai ability-nya. Tetapi, Fanesya terus melatih kemampuan. Termasuk benda objek yang sulit dijangkau oleh manusia.

Hasilnya, seperti yang diutarakan Fanesya. Tidak ada nada kebohongan dalam dirinya.

"Kalau begitu, kuserahkan padamu, Fanesya."

"Huh?" kata Fanesya dan Sakurachi bengong dengan ucapan Goro.

Di dalam ruang penyidik, situasi tegang kembali antara polisi dan Florensia. Ekspresinya menampakkan suram. Kumis yang tebal, berbadan gemuk hingga mengamati gerak gerik Florensia. Selama enam jam, dia diinterogasi oleh polisi.

"Apakah anda mengenal pelakunya dalam TKP?" tanya polisi.

"Tidak. Saya tidak mengenal pelaku tersebut. Dia tiba-tiba menyerang saya saat berada di sekolah."

"Bisakah jelaskan ciri-ciri pria yang bertemu dengan anda?" tanyanya lagi.

Kalimat yang terus melontarkan berulang-ulang membuat Florensia merengut. Ekspresinya menjadi tidak nyaman. Di saat polisi belum selesai berbicara, pintu dibuka.

"Biar aku ambil alih."

"Kau!"

"Atasan memberiku perintah, untuk melepaskannya. Sekaligus gadis bernama Aisyah Marwadhani. Mereka berdua ada di naunganku," katanya santai.

Ekspresi polisi yang diganggu penyelidiknya, menghampiri laki-laki itu dengan tatapan jengkel. Kumis tebal memperparah keadaan. Laki-laki kurus membalasnya dengan tatapan serupa.

"Sebaiknya hentikan saja. Atau kau akan kulaporkan karena telah mengganggu investigasiku. Dan jabatanmu akan diturunkan. Sekarang, pilih yang mana?" ancamnya dengan tersenyum angkuh.

Setelah itu, laki-laki kurus berbalik arah menuju pintu keluar. Disusul Florensia yang menjulurkan lidah. Kemudian, pintu itu ditutup. Mengabaikan para polisi yang kebingungan dengan mudahnya saksi bisa lepas dalam waktu singkat.

"Kenapa lama sekali, Hugo?" keluh Florensia.

"Maaf aku habis mengurus dokumen sama menyelidiki mayat yang terpenggal. Ngomong-ngomong, lucu juga jika kau ditangkap oleh polisi. Akan jadi topik trending hangat nanti di internal gereja."

"Kuhajar kau nanti pas balik ke gereja" katanya menahan emosi. Kemudian, Florensia menarik napas dalam-dalam. "tadi kau menyebutkan nama Aisyah Marwadhani ada di naunganmu. Apa maksudmu?"

Hugo berhenti sejenak. Dia menjulurkan lidah pada jari telunjuk. Mencari kertas berisi identitas mengenai Aisyah. Akhirnya dia menemukannya.

"Aisyah Marwadhani. Umur tujuh belas tahun. Sekolah di SMA Kartika Jaya. Memiliki ayah dan ibu bernama Hartoyo Budi Santoso dan Ratih Sriningsih. Mereka bekerja sebagai pengusaha ternak ikan lele dan toko butik muslimah. Tidak ada yang aneh dengan kehidupan mereka."

Perkataan barusan membuat Florensia masih menaruh rasa curiga terhadapnya. Dia yakin, Aisyah sedang menyembunyikan sesuatu. Tetapi, gadis itu tidak memiliki bukti yang kuat kenapa dia bisa melawan Vega.

Florensia melihat Aisyah sedang berbincang dengan orang tua mereka. Terlihat Hartoyo dan Ratih saling berpelukan erat menangis tersedu-sedu. Fanesya mengikuti orang tuanya untuk berpelukan erat.

Hugo datang menghampiri mereka. Florensia melongo tidak percaya dengan tindakan sembrononya. Dia bergegas untuk menemui mereka.

"Maafkan saya atas ketidaknyamanan rekan kami. Sejujurnya, kalian pasti trauma ada peristiwa tidak menyenangkan di sekolah," kata Hugo bernada pelan disertai menaruh rasa simpati pada mereka.

"Terima kasih atas kata-katanya, pak—"

"Hugo Caponi. Panggil saya Pak Hugo."

Aisyah melirik Hugo dan Florensia. Bagi Hugo, dia menyadari akan ada badai besar menanti antara Aisyah dengan Florensia. Tatapan mereka tajam, tidak berkedip sama sekali.

Petir menggelegar dari langit. Menandakan cuaca mulai hujan deras. Namun bagi Hugo, langit yang berubah merupakan pertanda bahaya yang menanti. Fanesya mencolek lengan Hugo heran.

"Pak Hugo, ada apa dengan mereka? Sepertinya mereka saling menatap satu sama lain."

Aku pun juga tahu. Yang jadi masalahnya, kenapa Aisyah memiliki sihir yang sama dengan Grand Master Florensia, semburnya. Dia mencoba menengahi keduanya. Sayangnya, dibalas dengan tatapan galak dari Florensia maupun Aisyah. Orang tuanya berkeringat dingin saat melihat peristiwa ini.

"Mah, mulai lagi Aisyah."

"Sepertinya begitu, yah. Apa sebaiknya hentikan saja?" bisik Ratih pada suaminya.

"Akan kucoba," balasnya berbisik.

Hartoyo mencoba menenangkan sikap kedua pihak yang mulai memanas. Tiba-tiba, Florensia mengacungkan jari pada Aisyah.

"Aku menantangmu duel … Aisyah Marwadhani."

Semua orang tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Termasuk orang tuanya, Fanesya dan Hugo. Mereka berteriak kencang sampai seluruh ruangan terdengar. Begitu juga dengan Aisyah yang notabene tidak tahu apa-apa, menerima kenyataan di depan mata.