Chereads / They All Said / Chapter 4 - Lebih Baik Aku Mundur

Chapter 4 - Lebih Baik Aku Mundur

Perkenalkan namau Dien Dahlia. Aku adalah anak dari kelas XI-5 dengan peringkat yang biasa-biasa saja. Kudengar-dengar besok ada turnamen antar kelas. Turnamen ini selalu diadakan setiap kita naik kelas, tetapi setiap jadwal angkatan berbeda. Minggu kemarin adalah turnamen kelas X, minggu sekarang kelas XI, dan minggu depan kelas XII. Kelas XI yang paling kuat berdasarkan daftar nama yang sudah aku lihat sebelumnya, menurutku sih kelas XI-2. Jika ingin diurutkan maka urutannya akan seperti ini. XI-2 karena di kelas itu kebanyakan anak-anak yang ..., istilahnya apa ya? Keajaiban? Mungkin itu istilahnya. Di kelas XI-2 mereka punya Irun yang memiliki verborum air. Losar yang memiliki verborum gambar, dan Ian yang memiliki verborum portal. Ketiga anak ini pernah memenangkan turnamen tingkat nasional. jadi tidak heran mereka disebut keajaiban.

Di bawah XI-2 ada kelas XI-4 yang menurutku mereka imbang dengan XI-2. XI-4 memiliki Kuri yang memiliiki verborum telekinesis. Zardi yang memiliki verborum 'gerbang'. Kalian akan mengerti ketika melihat langsung kekuatan dia. Terakhir ada Wage yang memiliki verborum rapsodi. Dia selalu membawa biola kemana-mana jadi tidak heran verborumnya itu.

Di bawah XI-2 ada kelasku, XI-5. Tentu saja aku tidak termasuk di sini. Kurasa di kelas ini tidak ada yang namanya keajaiban, tetapi mereka-mereka yang bisa diperhitungkan kemampuannya. Mei kurasa yang paling berbakat di sini. Dia memiliki verborum ..., aku juga tidak tahu. Banyak sekali muka-muka baru di sini. Aku jelaskan saja kekuatan Mei. dia memiliki kekuatan seperti angin, tetapi tidak. Dia mengibaskan tangannya dan objek tersebut langsung "poof" hilang. Kurasa hanya Mei yang kutahu. Verborumku dibanding punya dia bagaikan langit dan bumi, sangat jauh. Verborumku adalah ..., mari kuperlihatkan dari frasaku. "Tumbuh dan lahirlah." Sudah jelas? Belum? Kalian tebak sendiri.

Disamping itu ada beberapa kelas yang tidak kuketahui kekuatannya, tetapi aku yakin kelas-kelas tersebut tidak setara dengan XI-2, XI-4, dan XI-5. Kelas XI-1 dan XI-3 menurut sudah tidak tertolong karena isinya adalah murid-murid kacau, XI-6 menurutku mereka berpotensi karena guru mereka adalah Pak Dwi. Dia adalah ..., lupakan. Kelas XI-7 menurutku berpotensi karena diisi oleh orang-orang yang pernah juara nasional, tetapi pada alasan tertentu mereka kemampuan mereka menurun. Kukira semua murid-murid diacak ketika naik kelas, tetapi mengapa kelas XI-7 isinya mereka semua?

"Ingat kalian harus menang. Buktikan kemampuan kalian. SEMANGAT!!!" kata guruku yang bernama Bu Reola.

"Ya, semangat," kataku sambil berbisik dengan nada menyindir.

Aku mengangkat tangan. "Bolehkan saya mengundurkan diri?"

"Tidak. Dengan alasan apapun, kalian harus tetap ikut!"

"Meskipun kena kanker?" tanyaku.

"Tentu saja."

"Sadis."

Sepertinya tidak berguna aku mengeluarkan alasan apapun, jadi aku tidak melanjutkannya. Dasar guru ambis. Sesuai dengan penampilannya sih, badan yang tinggi, kaki dan tangan yang kekar, dan rambut yang diikat sehingga terlihat seperti botak. Dia juga pemenang turnamen khusus verborum tipe beladiri tingkat internasional.

Jika aku melihat semua guru kelas XI, aku tidak bisa memberitahu siapa yang paling kuat di antara mereka. Di kelas XI-1 ada Pak Raden yang terkenal dengan verborum bambunya yang merepotkan lawan. Oh ya, bambunya beracum. Di kelas XI-2 ada Bu Elan yang memiliki verborum mimpi. Di kelas XI-3 aku tidak bisa memberitahu karena guru di kelas itu adalah guru pengganti sekaligus baru. Di kelas XI-4 ada Bu Lelan yang memilik verborum ikan. Terdengar konyol dan lucu, tetapi itulah kenyataannya. Kelas XI-5 tidak usah dibahas, kita lanjut ke kelas XI-6 yang diajar oleh Pak Dwi. Aku tidak mau membahas dia. Terakhir adalah kelas XI-7 yang diajar oleh Bu dan Pak Vianta. Mereka dua orang dalam satu tubuh. Verborum mereka adalah besi dan panas.

'KRING!!!'

"Bel sudah berbunyi, silahkan pulang."

"Yes," kataku sambil mengenakan tasku dan berlari ke luar kelas.

Bu Reola memegang pundakku ketika aku ingin keluar. "Jangan kabur ya!"

"Siap bu."