Di hari yang gelap ini cahaya bulan menyinari dunia yang aneh ini. Hmm ..., terdapat tiga remaja yang berdiri di depan gerbang sekolah menengah atas. SMA ini bernama Mentari. Remaja yang berdiri di tengah ini mengenakan topi SMA yang sudah umum di negara bernama Nusantara ini. Perkenalkan dia adalah Lusia Martin. Ngomong-ngomong dia adalah laki-laki. Rambut dia sangat pendek hingga orang-orang mungkin mengira dia botak karena kepala dia ditutupi oleh topi. Dia mengenakan seragam SMA beratasan putih dan bawahan abu. Namanya juga Nusantara. Kulit dia berwarna sawo matang. Matanya kecil seperti orang yang kesal. Dia membawa tas berwarna hitam dan garis-garis putih di pinggirnya. Wajah dia seperti kriminal kalau boleh jujur.
Di sebelah kanannya adalah remaja laki-laki juga yang bernama Weka. Dia tidak memiliki nama belakang. Dia tidak membawa tas. Tunggu ..., seriuskan dia tidak membawa tas ke sekolah? Biarlah. Rambut dia memanjang kebelakang, tetapi hanya sepanjang kerah bajunya. Kulit dia juga sama sawo matang. Dia mengenakan jaket berwarna ungu tau dengan hoodienya berwarna merah muda. Dia ..., memiliki selera berbusana yang unik kurasa. Wajah dia seperti orang yang polos kalau boleh jujur.
Di sebelah kiri Lusia ada seorang remaja yang tentunya laki-laki juga. Mengapa? Kalian kecewa karena tidak ada perempuan? Tenang saja ini baru perkenalan. Balik lagi ke masalah utama. Anak ini bernama Yursa Rinda ..., atau Rinda Yursa? Nama dia sungguh membingungkan karena dia selalu berganti-ganti identitas. Bentar aku ingat-ingat lagi. Hmm ..., ah iya. Nama asli dia Maden Manasye. Itu nama aslinya kan? Aku jadi ragu sendiri. Ah lupakan, anggap nama dia sekarang adalah Yursa Rinda. Rambut dia pendek belah dua, tetapi tidak sependek Lusia. Mata dia lumayan lebar. Jujur saja muka dia seperti orang bodoh. Dia mengenakan kalung berwarna perak. Aku yakin kalung itu akan hilang. Percaya saja padaku. Dia mengenakan tas kecil. Dia niat sekolah tidak sih?
Yursa melihat nama SMA ini yang terpampang di atas sekolah. "Apa kalian berdua murid pindahan?"
Lusia juga melihat nama SMA ini. "Ya."
Weka juga melihat nama SMA ini. "Ya."
"Alasannya?" tanya Yursa lagi kepada mereka.
"Memukul teman hingga berdarah. Maksudku musuh, tidak mungkin aku memukul teman hingga berdarah," jawab Lusia dengan wajah datar yang membuat mata mereka melotot kaget ke arah dia.
"Ehem, kalau aku sih hanya karena ingin pindah. Kalau kau sendiri?" tanya Weka mencodongkan badannya ke depan dan melihat Yursa.
"Korupsi uang sekolah," balas Yursa dengan wajah datar yang membuat Weka semakin terkejut.
Jujur saja tidak ada orang normal selain Weka, kah? Aku yakin Weka juga berpikiran seperti ini. Entah mengapa mereka masih berdiri di depan sekolah ini padahal pintu gerbang sudah di buka dengan sangat lebar.
"Mengapa tidak masuk?" tanya Weka.
"Coba kalian lihat ke atas," kata Yursa sambil menunjuk langit.
"Sudah," balas Weka sambil melihat langit.
"Warnanya apa?" tanya Yursa lagi.
"Biru gelap," jawab Weka.
"Berarti?" tanya Yursa sambil meninggikan nada bicaranya.
"Masih subuh," jawab Weka, sementara Lusia melihat dia dengan tatapan yang merendahkan.
"Terus ..., MENGAPA KITA SEMUA MENUNGGU DI SEKOLAH INI?" tanya Yursa dengan teriak.
"MANA AKU TAHU. LAGIAN INI SEKOLAH GERBANGNYA DIBUKA. LEBAR LAGI!!!" teriak Weka sambil merentangkan tangannya dengan tujuan menghina gerbang ini.
Sementara Lusia hanya melihat mereka dengan tatapan merendahkan yang menganggap mereka makhluk bodoh.
"JANGAN MENATAP KAMI DENGAN TATAPAN ITU. KAU JUGA TIDAK ADA BEDANYA!!!" teriak Yursa kepada Lusia.
Mereka akhirnya mencari tempat duduk di dalam dan di luar halaman sekolah. Lebih tepatnya parkiran sekolah. Mereka tidak menemukan satupun tempat duduk. Karena ini masih subuh, jadi mereka memutuskan untuk duduk di depan gerbang sekolah. Mereka hanya diam dan tidak berbicara satu patah katapun. Mereka hanya menghela nafas. Mata mereka mulai tertutup dan terbuka yang menunjukan betapa bosan dan lelahnya mereka menunggu matahari terbit. Mereka tidak sanggup menahan lagi dan akhirnya mereka tertidur.
Perlahan langit mulai cerah. Murid-murid yang bersekolah di tempat ini mulai berlalu-lalang dengan melihat mereka bertiga yang ketiduran di depan gerbang sekolah dengan tatapan kasihan. Bahkan satpam tempat tersebut saja melihat mereka dengan kasihan hingga satpam tersebut menaruh tiga minuman dingin di sampinng mereka masing-masing. Oh ya, nama satpam ini adalah Rosab.
Setelah beberapa jam mereka tertidur, akhirnya ada seseorang yang membangunkan mereka. Penampilan orang itu culun dengan potongan rambutnya yang seperti mangkok dan kacamata yang bulat dan tipis. Bajunya semua dikancing hingga bagian kerahnya. Dia berjalan ke arah mereka bertiga.
"Woy, bangun," kata dia sambil menampar mereka bertiga secara bergantian.
Mereka akhirnya bangun.
"Dimana aku?" tanya Wekas.
"Aku siapa? Kamu siapa?" sambil menunjuk Lusia. "Lah, kok ada mangkok?" tanya dia sambil menunjuk orang yang membangunkan dia.
"Mangkok? Ah lupakan, lagian kalian sedang apa tidur di depan gerbang gini?" tanya si rambut mangkok dengan wajah sedikit kesal.
"Bentar ..., ah kita terlalu cepat datang ke sekolah, jadi kami memutuskan untuk tidur," kata Yursa dengan matanya yang menatap Lusia dan Wekas.
"Hadeuh, yaudah masuk sana. Bentar lagi bel berbunyi."
Yursa berdiri, melihat Lusia dan Wekas, kemudian membungkukkan badannya, dan menampar mereka. "Bangun wey."
Wekas langsung mengejar Yursa, sementara Lusia hanya berdiri dengan santai.
"Ah kalian murid pindahan ya?" tanya si rambut mangkok sambil menyentuh pundak Lusia.
"Benar," jawab Lusia.
"Ikuti aku, aku punya daftar kelasnya di kelasku."
"Terima kasih."
"Oh ya, perkenalkan namaku Natur," perkenalan dia sambil memimpin jalan untuk Lusia.
"Namaku Lusia."
"Mereka berdua siapa?"
"Entah. Kami hanya tidur bareng tadi."
"Entah mengapa perkataanmu sangat ambigu," kata dia sambil menaikkan kacamaata bulatnya.
Mereka berdua akhirnya masuk ke lingkungan sekolah. Maksudku Lusia dan Natur. Lobi sekolah yang sangat luas dengan lantai marmer yang licin, lapangan sekolah yang sangat luas, tangga-tangga yang sangat banyak, dan tentunya yang paling disukai oleh para karyawan, guru, dan murid yaitu sebuah lift. Kapan lagi sekolah ada liftnya. Ketika mereka berdua sedang mengobrol sambil menuju kelas Natur. Mereka berdua niatnya menggunakan lift. Ketika mereka sedang menunggu lift turun, tiba-tiba terdengar ledakan di sebrang atas bagian kiri sekolah ini.
Natur melihat ke arah ledakan dengan muka datar. "Itu sudah biasa terjadi," kemudian dia berhenti sejenak dan melihat kembali ke arah ledakan tadi. "ITU KELASKU, ASTAGA!!!" tanpa berkata apapun dia langsung lari menuju tangga yang ada di sebelah kanan lift.
Lusia hanya melihat dia lari ke kelasnya melalui tangga. Kemudian Lusia melihat ke pintu lift yang ada di depan dia yang sudah mulai terbuka. Dia hanya melihat lift tersebut terus berganti melihat ke arah tangga tadi. "Lift? Lebih cepat kan?" kemudian dia masuk ke lift tersebut menuju ke kelas Natur yang ada di lantai tiga. Dia tahu karena dia meilhat lokasi ledakan tadi.
Sementara itu.
"Jadi, kalian berdua adalah murid pindahan? Hah?" tanya sekaligus tegur seorang guru dengan baju serba hitam dan rambutnya yang diikat kebelakang.
"I-iya," kata mereka berdua secara berbarengan dengan nada ketakutan.
"Sini ikut bapak!" kata guru tersebut sambil menyeret mereka berdua entah kemana.
Di lantai tiga yang jauh dari kelas Natur terdapat seorang perempuan dengan bando berwarna hijau di kepalanya sambil menyandarkan kedua lengannya ke sebuah besi depan teras yang menghadap lapangan.
"Mari kita lihat, siapa yang paling gila."