Gelap seperti menjadi perhiasan wajib yang ku kenakan bertahtakan manik senja
Yang ku bawa hanya sebuah ilusi tanpa makna.
Sebuah hati kini dipenuhi kerinduan akan penyatuan cinta yang terhalang tembok tinggi.
Hendak ku tinggalkan semua saat ini
Pergi jauh dari mu
Dan tanpa ku sadari dirimu membawa pergi separuh diriku.
***
Sore ini hujan kembali turun. Entah mengapa sepertinya sang hujan kini sedang mengejek ku yang kini hancur berkeping-keping? Semua yang ku lihat hanyalah kelabu. Tanpa makna dan hanya tergurat gelap di dalamnya.
Winner mengantarkanku dengan mobilnya. Tak ada di antara kami yang berbicara. Hanya sang hening yang menemani. Tak pernah ku sadari jika kehilangan Aldo rasanya akan seperti ini. Ya.. aku telah kehilangan Aldo dan semuanya adalah kesalahan ku. Ini salah ku. Itu kenyataan yang tak bisa ku bantah.
Saat ini aku hanya ingin berteman dengan sepi. Membiarkan si sepi menemani. Ku pikir kali ini aku hanya membutuhkan waktu untuk membawa seluruh bayang Aldo berlalu dan pergi dari hidupku walau itu terasa amat sangat tidak mungkin. Ingin rasanya aku menangis keras namun tak mungkin aku mempermalukan diriku sekali lagi di depan Winner. Aku harus kuat dan setelah ini aku berjanji untuk tak akan pernah menangisi Aldo lagi karena bagi ku Aldo adalah luka termanis.
"Kamu kalau mau nangis, gak apa-apa." Kata Winner di jalan namun kali ini aku tak berniat untuk mengeluarkan sepatah katapun.
Winner hanya bisa membisu. Aku tak tahu lagi bagaimana menggambarkan apa yang ku rasakan saat ini. Winner tidak berbicara seolah mengerti kalau aku tak butuh apapun selain memeluk sang hening. Winner mengantarkan aku sampai rumah dan aku bahkan tak mengucapkan terima kasih padanya. Aku sudah sangat lelah dan benar-benar ingin menangis keras untuk meluapkan semua yang ada di dada ini.
Di kamar aku menangis keras setelah mengunci pintu kamar. Aku hanya bisa berharap setelah ini aku tidak perlu bertemu ataupun berurusan dengan Aldo maupun keluarganya lagi
Dan pagi ini, ku temukan bahwa mata ku telah bengkak. Airmata ku sudah terkuras habis bagai bak yang dikuras. Sudah tidak ada air mata yang tersisa ditambah lagi pikiranku teralihkan saat mama ingin membicarakan hal penting dengan ku. Kali ini dapat ku rasakan jika Mama terlihat begitu gelisah. Beberapa kali Mama meremas jemarinya.
"Papa mu kemarin nelpon katanya mau ketemu sama kamu." Kata Mama tegang.
Aku terkejut bukan main karena ini kabar pertama yang ku dengar dari Papa sejak kedua orang tua ku memutuskan untuk berpisah. Mama menggenggam tangannya yang gemetar. Masalah Papa bukanlah hal yang sederhana bagi kami. Aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan saat Mama menahan tangisnya namun airmata itu akhirnya jatuh juga di hadapan ku. Aku tak kuat dan langsung merangkul Mama. Mama memandang ku kembali sambil menghapus air matanya yang terlanjur turun.
"Ruby, Papa kamu sudah tahu kalau kita masih tinggal disini. Kita harus pergi dari sini, sayang." Dapat ku rasakan rasa takut yang dirasakan oleh Mama. Suara Mama yang biasanya terdengar lembut itu kini bergetar.
Aku tidak terlalu tahu apa yang membuat kedua orang tua ku bercerai, Aku hanya tahu kalau Papa tidak pernah berusaha untuk menemui kami setelah Mama menitipkan aku di rumah Opa. Kini hanya aku dan Mama yang tersisa. Aku dapat merasakan ada sesuatu yang Mama sembunyikan namun aku memilih untuk tidak mengoreknya lebih lanjut karena aku tahu rahasia itu pasti sesuatu yang menyakitkan bagi Mama. Jika sudah waktunya pasti aku akan mengerti semuanya. Aku tidak ingin memaksa Mama untuk mengatakannya pada ku.
"Tapi Ruby gak perlu takut, Om Tio akan membantu kita."
"Siapa Om Tio?" Aku heran dan juga bingung karena selama ini Mama tak pernah menyebut nama seorang priapun namun sekarang tiba-tiba nama itu muncul.
"Om Tio itu teman Mama."
"Mama jangan bilang kalau dia pacar Mama."
Mama memandangi ku. Tatapannya sendu. Untuk pertama kalinya aku melihat Mama begitu putus asa. Aku merasa kalau Mama menyukai Om Tio lebih dari apa yang dapat dikatakannya.
"Bukan. Dia teman lama Mama."
"Om Tio suka sama Mama?" Tanya ku lagi.
"Mama gak tahu, Ruby. Saat ini yang Mama tahu kalau kita harus pindah dari sini sebelum Papa mu menemukan kita."
"Tapi mengapa, Ma?"
"Karena Mama gak mau ketemu sama Papa kamu. Percaya Mama suatu saat kamu akan mengerti tapi sekarang mama mohon kamu mengerti Mama."
"Ruby, gak mau Mama kerja di klub lagi atau pekerjaan yang berhubungan dengan itu lagi. Ruby, mau kita mulai semuanya dari awal lagi."
Mama menarik tubuh ku dalam dekapannya yang hangat. Aku cukup terkejut dengan tindakan Mama namun aku harus mengakui kalau aku senang berada dalam dekapan Mama. Dekapannya adalah tempat yang paling aman di dunia ini. Tak ada yang dapat membandingkannya. Aku dapat melakukan apapun hanya sekedar dapat berada dalam dekapan Mama seperti ini. Aku tidak ingat kapan terakhir kalinya Mama memeluk ku. Semua prasangka dan rasa sakit seolah hilang dalam beberapa menit. Tanpa kata-kata hanya menikmati keheningan bersama Mama. Merasakan detak jantungnya, menyandarkan kepala pada bahunya, seirama dengan desahan nafasnya yang bercampur isak tangis. Merasakan kepedihan dan keputusasaan di dalamnya.
"Apapun. Apapun sayang... kita akan ada di tempat baru. Kita lupakan semuanya. Kita mulai semua dari awal."
***
Kami tidak memerlukan waktu yang lama untuk pindah karena memang kami tidak memiliki banyak barang. Untuk terakhir kali aku memandang ke arah rumah Aldo yang berada di seberang rumah ku. Mengingat waktu di mana aku merindukannya namun ini memang harus jalan yang terbaik untuk semua dan sudah waktunya bagi ku dan Aldo untuk memulai semua kembali dari awal. Aku tidak akan melihat Aldo lagi. Tidak ada lagi candanya. Hidup tanpa senyumnya yang dulu yang selalu mampu menghangatkan hati ku yang dingin.
Dari jendela kamar ku yang dapat terlihat hanyalah pemandangan sebuah rumah sepi tanpa pemilik. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana dan aku juga tidak pernah mencari tahu bagaimana keadaan Aldo karena bersama dengan orang tuanya pastinya Aldo akan baik-baik saja.
"Ruby."
Suara mama mengembalikan ku pada kenyataan. Kamar ku telah kosong yang ada hanya kenangan yang akan ku tinggalkan di sini. Kamar di mana aku menghabiskan waktu untuk istirahat dan mengkhayalkan hal-hal manis bersama Aldo.
"Ruby, ayo kita pergi." Kata Mama hangat.
"Iya, Ma."
Mama menggandeng tangan ku ke mobil yang telah terparkir di depan rumah. Di sana Om Tio telah menunggu kami sejak lima belas menit yang lalu. Ku perhatikan jika Om Tio tampak sangat memperhatikan Mama. Caranya melihat Mama terasa tidak asing. Mama juga terlihat sangat menikmati kehadiran Om Tio di dekatnya namun di saat yang sama, Mama juga menjaga jarak dari pria itu. Mungkin Mama takut.
Hujan rintik-rintik halus menemani ku saat meninggalkan rumah lama ku. Aku duduk di belakang sendiri dan memandang jalanan yang mulai dibasahi oleh dewi hujan. Sebuah mobil yang ku tahu kalau itu milik Winner melintas dan berbelok hendak menuju ke arah rumah ku. Aku hanya memandang Winner yang terlihat serius menyetir dari tempat duduk ku di bangku belakang.
Aku tidak tahu mengapa ia menuju ke rumah ku tapi yang terbaik adalah membiarkan semuanya berakhir. Semuanya cukup di sini. Mungkin jika suatu saat nanti aku akan bertemu dengan Winner dan mengingat hal-hal konyol yang selalu kami lakukan serta pertengkaran gak penting yang selalu menghiasi hari-hari ku selama bersekolah di sini. Kini aku menyadari jika selama ini Winner yang selalu menolong ku dengan caranya yang unik.
Aku hanya bisa berterima kasih pada Winner di dalam hati dan membiarkannya berlalu begitu saja.