Chereads / Haters and Lovers of Rain / Chapter 5 - Chapter 4

Chapter 5 - Chapter 4

Gadis itu terus menatap ke arah luar kelas melalui jendela yang ada di sampingnya. Tak memedulikan rekaman suara berbahasa Inggris yang diputar oleh sang guru, yang menurutnya hanya terdengar seperti orang yang sedang berkumur. Tidak jelas!

"Cepatlah turun hujan," gumam Raina. Ia yang sedari tadi menatap langit mendung sudah tak sabar lagi menanti turunnya hujan.

"Oh!" seruan kecil segera keluar dari bibirnya diikuti dengan senyuman lebar ketika akhirnya melihat beberapa tetes air hujan mulai turun.

Kini, ia segera berbalik dan menatap jam dinding yang menggantung di dinding ruang kelasnya. Tinggal lima menit lagi, dan jam pelajaran Bahasa Inggris akan selesai.

Raina menghitung menit demi menit dalam hati. Tepat ketika sang guru Bahasa Inggris berjalan keluar dari kelas, Raina segera berdiri dari duduknya.

"Yes! Sekarang olahraga!" teriaknya senang.

Yah, jam pelajaran selanjutnya di kelas Raina adalah olahraga. Itu artinya, ia bisa bermain-main di bawah hujan sembari mengikuti pelajaran olahraga.

Para murid laki-laki segera keluar dari kelas setelah mengambil seragam baju olahraga masing-masing. Membiarkan para murid perempuan berganti baju di dalam kelas.

"Eh, tapi lagi hujan. Masa sih, kita harus hujan-hujanan?" keluh Syifa, salah seorang teman Raina.

"Tapi Raina pasti seneng banget, deh," ucap Ulfa, yang juga merupakan teman baik Raina.

Raina tersenyum. "Tapi kan hujannya cuma gerimis, jadi gak papa, dong," ujar Raina.

"Hm. Iya juga, sih," timpal Ulfa.

Priiiiiiitttttt!!!!

Suara sempritan yang nyaring sudah terdengar. Pertanda Pak Gunawan, guru Olahraga mereka sudah menanti di lapangan.

Semua murid perempuan pun segera bergegas. Tak mau membuang banyak waktu, karena walaupun hanya terlambat dua menit saja, Pak Gunawan pastinya akan memberikan sebuah hukuman.

Setelah seluruh teman-teman sekelas Raina berkumpul di lapangan, kegiatan olahraga pun dimulai. Tak memedulikan rintik hujan yang terus turun. Namun, di menit-menit terakhir jam olahraga, hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. Membuat semuanya berhamburan berlari menuju gedung sekolah untuk berteduh.

"Raina, cepetan ke sini! Masih ada jam pelajaran selanjutnya. Jangan hujan-hujanan dulu, deh!" teriak Syifa ketika melihat Raina melangkah dengan pelan dari lapangan.

"Iya, cepet neduh di sini!" timpal Ulfa.

Raina mendecakkan lidahnya, merasa sedikit kesal. Padahal ia mau lebih lama merasakan air hujan yang mengenai tubuhnya. Tapi kedua temannya itu sudah heboh meneriakinya. "Iya, iya. Tunggu aku."

"Akh!"

"Astaga, Raina!"

Raina yang sedikit terburu-buru tidak melihat sebuah batu yang ada di hadapannya. Kakinya pun terantuk batu itu, hingga ia terjatuh.

Ringisan segera keluar dari bibir Raina. Lutut kanannya tergores dan mengeluarkan darah.

"Kamu bisa berdiri?" Ulfa segera menghampiri dan membantu Raina.

Sementara Syifa menggeleng-geleng. "Aduh, makanya, hati-hati dong!"

"Ayo, kita antar kamu ke UKS," kata Ulfa sambil mencoba untuk memapah Raina.

"Eh, enggak usah. Aku bisa pergi sendiri, kok," tolak Raina.

"Serius?"

Raina mengangguk. Dengan sedikit pincang, ia melangkah menuju ke UKS. Sesampainya di depan UKS, Raina segera membuka pintu dengan tak sabaran.

"Aduh, perih banget!" ucap Raina sambil terus meringis kecil.

"Kapasnya ada di mana, sih?" Raina menoleh kesana-kemari, mencari kapas yang bisa membersihkan lukanya.

Raina tersenyum kecil ketika mendapati kotak P3K di atas sebuah lemari. Ia pun segera mengangkat sebuah kursi dan diletakkan di depan lemari itu sebagai tumpuannya.

"Ah, kotak obatnya tinggi banget! Aku gak nyampe. Ish," gerutu Raina ketika ia tetap saja tak bisa mencapai kotak P3K meskipun sudah menggunakan bantuan kursi.

Setelah bersusah payah selama beberapa menit, akhirnya Raina dapat meraih kotak P3K itu. Ia pun segera mengobati lukanya. Selesai mengobati lukanya, Raina menyimpan kotak P3K itu di atas sebuah meja. Raina yang sudah ingin keluar dari UKS menghentikan langkahnya.

"Sekarang pasti udah masuk jam pelajaran Matematika. Hah. Males banget, deh. Gak papa kali ya, kalau aku tiduran bentar di sini," gumam Raina. Ia menimbang-nimbang pemikirannya itu. Setelah merasa yakin, ia pun segera merebahkan dirinya di tempat tidur yang ada di sana.

'Bolos sekali bukan masalah besar, 'kan?' pikir Raina.

Baru beberapa menit Raina memejamkan matanya, Ulfa dan Syifa malah datang menghampirinya.

"Ya ampun, Raina! Kok kamu malah rebahan di sini, sih?" omel Syifa.

"Cepet bangun, kita ada ulangan Matematika hari ini," ujar Ulfa sambil menarik tangan Raina.

"Eh? Ulangan? Kok mendadak, sih?!"

"Gak tahu juga. Tadi kita berdua disuruh manggil kamu buat ikut ulangan. Ayo, cepet!"

Ketiga gadis itu pun segera keluar dari UKS. Meninggalkan seorang penghuni UKS yang sedari tadi terus berdiam diri.

🌦 🌧 ⛈️

"Akh, lagi-lagi hujan!"

"Duh, padahal udah laper banget, mau pulang makan sekarang. Eh, malah ujan segala."

"Becek lagi, deh."

"Ah, dingin nih."

"Semoga area rumah gue gak kena banjir. Bakal repot kalau banjir."

Beberapa gerutuan terdengar jelas di telinga Rian. Ini sudah jam pulang, dan hujan masih belum reda juga sedari tadi.

"Raina. Jangan lagi, deh!"

Kepala Rian otomatis terputar mendengar seruan itu. Ia mengingat nama gadis yang ada di UKS tadi adalah Raina, dan ia cukup penasaran seperti apa gadis itu.

"Gak papa, kali. Aku udah biasa."

Dahi Rian tiba-tiba berkerut ketika melihat sahabatnya, Arga menghampiri gadis itu.

"Jangan bilang, kamu mau pulang ujan-ujanan lagi," ujar Arga saat ia berada si dekat Raina.

Raina memasang wajah kesal. "Emang kenapa, sih? Hujannya udah gak deras juga."

Arga menjitak kening Raina. "Jangan buat Bunda kamu khawatir lagi, deh. Mending kamu pulang bareng Kakak. Mobil jemputan Kakak bentar lagi nyampe."

Raina mengusap keningnya yang sakit. "Iya, iya. Dasar bawel!" gerutu Raina.

"Serah kamu deh, kamu mau bilang apa," balas Arga.

Arga lalu menoleh dan mendapati Rian yang tengah menatapnya. Ia lalu menghampiri sahabatnya itu.

"Yan, kalau lo mau, gue bisa suruh supir gue buat nganter lo juga nanti," tawar Arga.

"Enggah, enggak usah. Gue gak mau ngerepotin," tolak Rian cepat.

"Tapi kan lagi ujan."

"Gak papa, kok," kukuh Rian. "Ngomong-ngomong, lo tadi ngobrol sama siapa?" tanya Rian kemudian sambil menatap Raina sekilas.

"Oh, cewek yang itu?" tanya balik Arga sambil menunjuk Raina. Rian mengangguk ringan.

"Dia anak dari adik Mami gue, alias anak tante gue. Tepatnya, dia sepupu gue. Dia itu udah gue anggep sebagai adek gue sendiri. Oh, dan juga, dia itu setahun di bawah kita, jadi dia adalah adek kelas kita," ucap Arga cepat dan cukup berbelit-belit.

"Tapi, kenapa lo nanya?"

Rian menggeleng. "Gak papa. Cuma nanya doang, kok."

Sebuah mobil sedan hitam melaju memasuki area sekolah.

"Eh, mobil jemputan gue udah dateng. Gue duluan ya, Bro!" ucap Arga sambil menepuk bahu Rian dan melangkah menuju Raina.

"Raina, ayo pulang!"

Arga dan Raina pun berlari menuju mobil itu dan segera melaju pulang.

🌦 🌧 ⛈️

Sudah beberapa jam semenjak Arga dan Raina pulang. Sementara Rian masih setia berada di sekolah. Menanti hujan benar-benar reda. Rian mendongak menatap langit. Sudah cukup gelap, dan dia adalah satu-satunya murid yang masih berada di situ.

Seorang pria paruh baya menghampiri Rian. "Nak Rian, bapak udah mau tutup pintu gerbangnya, nih," ucap pria itu-- yang tak lain adalah Pak Bambang, satpam di sekolah Rian .

"Ah, gitu ya, Pak." Rian menatap lurus ke depan. Memperhatikan rintik hujan yang masih turun, walaupun sudah tidak lebat.

"Ya udah deh, saya pulang sekarang, Pak," putus Rian pada akhirnya. Ia pun segera berlari menerjang hujan.

'Gak papa, 'kan? Iya, pasti gak papa. Lo bisa, Rian!'

Rian mensugesti dirinya sendiri. Terus berusaha untuk tetap berpikir positif. Tapi tampaknya, itu hal yang sia-sia saja.

"Caca! Kan udah Kakak bilang, tunggu Kakak!"

"Kakak lama banget sih! Tangkep Caca kalau bisa! Haha!"

Rian menutup matanya. Ini yang ia takutkan. Kenangan buruk dari masa lalunya yang akan muncul setiap kali hujan turun.

"Kakak! Kakak! Kak Rian!"

Rian mempercepat larinya. Dadanya terasa sesak. Napasnya tersengal hebat. Tiba di rumahnya, Rian segera masuk dan menutup pintu rapat-rapat.

Tubuh Rian melorot ke bawah, dengan punggung yang menempel di pintu.

Hosh ... Hosh ... Hosh ...

Rian berusaha keras mengatur pernapasannya dengan normal. Ia lalu menatap foto keluarganya yang ada di atas meja.

"Maaf," gumam Rian lemah.

🌦 🌧 ⛈️

To be continued