Chereads / Haters and Lovers of Rain / Chapter 8 - Chapter 7

Chapter 8 - Chapter 7

"Lo udah dapet murid baru, gak?" tanya Arga setelah Rian kembali dari ruang guru. Keduanya kini tengah nongkrong di warung favorit para murid laki-laki.

"Belum dapet," jawab Rian sekenanya.

"Gitu, ya? Gue sebenarnya punya satu calon murid buat lo. Lo mau, gak?" tawar Arga.

"Gue kan udah bilang, lo gak usah susah-susah bantuin gue. Biar gue yang nyari murid sendiri," tolak Rian cepat.

"Gue nyarinya gak susah, kok."

"Oh, ya?" tanya Rian tak percaya.

"Iya. Gue dapet calon murid baru ini dengan sangat mudah. Malah, Maminya sendiri yang minta dicariin tutor buat anaknya. Gue jamin, lo gak bakal nyesel nerima dia jadi murid lo. Anaknya emang agak susah buat diajarin, tapi bayarannya sesuai dengan kerja keras lo nantinya. Dan lo gak perlu pusing soal transportasi buat ke rumah murid lo itu. Bakalan ada yang nganter jemput lo nantinya." Arga berpromosi panjang lebar dengan penuh semangat, sedangkan Rian hanya melongo menatap sahabatnya itu.

"Hah? Seriusan lo? Ya kali, tutor bakal diantar jemput," ujar Rian, merasa aneh dengan informasi yang diberikan Arga.

"Gue serius, bro. Pokoknya lo bakalan terjamin kalau jadi tutor anak itu. Tugas lo cuma fokus buat ngajar anak itu sampai bisa ngebuat nilai anak itu naik," ujar Arga, terus berusaha meyakinkan Rian.

"Emang calon murid yang lo bilang itu anaknya siapa, sih? Kayaknya istimewa banget."

Arga tersenyum, lalu menjawab, "Anaknya Ibu Qonita Isman sama Bapak Wildan Zakir."

Mendengar nama itu, otak Rian mulai berpikir. 'Ibu Qonita Isman dan Bapak Wildan Zakir?' Nama itu terasa familier baginya. Beberapa detik kemudian ia tersadar akan sesuatu. "Lah? Itu kan nama Mami sama Papi lo, kampret!" teriak Rian sambil meninju bahu Arga cukup keras.

"Ya emang, hahahahaha," ujar Arga sambil terbahak.

Rian menatap Arga yang tengah tertawa itu dengan penuh kekesalan. Ni orang, dasar! umpat Rian dalam hati.

"Eh, tapi gue seriusan, bro. Mami gue emang lagi cari tutor buat adek gue," kata Arga cepat ketika melihat Rian yang terlihat kesal.

Rian menaikkan sebelah alisnya. "Buat adek lo? Gak salah, tuh? Bukannya lo sendiri yang dulu pernah bilang, kalau adek lo itu paling anti sama belajar?"

"Nah, maka dari itu! Karena adek gue itu males banget sama yang namanya belajar, Mami gue jadi khawatir. Secara, adek gue tahun ini udah kelas 9. Mami takut, adek gue itu gak bisa masuk ke SMA yang dia mau dengan nilainya itu. Akhirnya, Mami gue mutusin buat nyari tutor buat adek gue itu. Dan gue dipercayain sama Mami untuk ngebantu dia cari tutor," jelas Arga.

"Tapi, emangnya Mami lo bakal setuju gue yang jadi tutor adek lo?" sangsi Rian.

"Gue yakin, Mami gue bakal setuju-setuju aja. Gue udah sering cerita ke Mami gue tentang lo yang sering banget bantu gue belajar. So, gak ada alesan yang ngebuat Mami gue nolak lo."

"Hm...."

"Ayo dong, bro. Terima aja. Kalau lo jadi tutor adek gue, lo bakal dapet pemasukan tambahan yang jumlahnya cukup banyak. Gue bisa anter jemput lo. Selain itu, lo juga bakal ngebantu gue ngebuat adek gue gak terlalu bodoh. Kita sama-sama saling bantu. Impaskan?"

"Oke deh. Gue mau," putus Rian pada akhirnya.

"Nah, gitu dong!" seru Arga senang.

"Kapan gue bisa mulai ngajar adek lo?" tanya Rian.

"Sepulang sekolah nanti lo bisa langsung mulai," jawab Arga cepat.

"Hah? Buru-buru amat."

"Kan ada pepatah, lebih cepat lebih baik. Gimana sih, bro?"

"Iya deh, iya." Buru-buru, Rian mengiyakan ucapan Arga. Tak ingin memperpanjang pembicaraan lagi.

⛈️🌧🌦

Sepulang sekolah, Arga dan Rian segera menuju ke parkiran.

"Eh, bentar Ga. Gue dapet telepon masuk," kata Rian sambil menghentikan langkahnya dan segera merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel.

Arga pun menghentikan langkahnya juga dan berdiam diri ketika Rian mulai mengangkat panggilan telepon yang ia dapat.

"Eh? Sekarang?"

"Iya, iya. Rian pulang sekarang."

Buru-buru, Rian memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana dan menatap Arga. "Sorry bro, gue gak bisa ngajar adek lo hari ini. Gue ada tamu penting yang udah nunggu di rumah."

"Ya udah deh, gak papa. Lo bisa mulai ngajar kapan pun lo ada waktu."

"Oke kalau gitu. Gue balik duluan, ya!" seru Rian lalu segera berlari keluar dari area sekolah.

Rian berlari sekuat tenaga dengan senyuman yang terlukis di wajah tampannya. Seseorang yang ia rindukan datang. Tentu saja ia harus segera pulang dan menemuinya.

Saat langkah Rian mulai mendekati rumahnya, ia dapat melihat seseorang yang sedang berdiri menunggu.

"Tante Ira!" panggil Rian nyaring, sambil mempercepat larinya.

Wanita yang dipanggil Tante Ira oleh Rian menoleh dan tersenyum. "Akhirnya dateng juga, kamu."

Mahira Hasna Fairuz, atau yang biasa Rian panggil sebagai Tante Ira itu adalah adik dari Papanya. Salah satu orang yang sangat Rian sayangi.

Rian yang baru saja sampai ikut tersenyum sambil berusaha mengontrol napasnya yang terengah-engah.

"Tante kenapa gak ngabarin dulu kalau mau ke sini, sih? Rian hampir aja ke rumah temen tadi," kata Rian sembari membuka pintu rumahnya.

"Biar jadi kejutan buat kamu. Bantuin Tante angkat ini semua ke dalem," ujar Tante Ira sambil mengangkat beberapa barang, sementara beberapa barang lainnya disisakan untuk Rian.

"Tante bawa apa aja, sih? Banyak banget," gumam Rian sambil mengangkat barang-barang yang ditinggalkan oleh Tantenya tadi.

"Itu semua buat kamu."

"Selama ini kamu makan dengan baik, 'kan?" tanyanya kemudian.

"Iya, aku makan dengan baik, kok," jawab Rian cepat.

Tante Ira berjalan menuju dapur lalu membuka kulkas. Sesaat kemudian ia segera berbalik menatap Rian. "Makan dengan baik apanya. Kulkas kamu isinya cuma beberapa butir telur."

Rian menggaruk tengkuknya. "Ah, i-itu... aku... aku..." Rian terbata, otaknya berputar cepat mencari-cari jawaban yang tepat untuk Tantenya itu. "Aku lupa ke pasar, Tante!" seru Rian beberapa detik kemudian.

Tante Ira melipat kedua tangannya di depan dada dan menatap Rian tak percaya.

"Serius Tante, Rian lupa. Akhir-akhir ini, Arga sering dateng ke rumah. Dia bahkan sempat nginep. Setiap Arga dateng, dia pasti bawa makanan yang banyak banget. Gara-gara itu, Rian bahkan gak inget kalau isi kulkas ternyata tinggal sedikit," jelas Rian, berharap Tantenya itu percaya padanya.

"Terus, apa-apaan semua bungkus mie instan itu?" tanya Tante Ira sambil menunjuk tempat sampah yang letaknya tak jauh dari kulkas.

"Ah! Aku makan mie instan cuma sesekali, kok. Pas bosan aja. Yang doyan makan itu sebenarnya Arga, Tante." Rian masih mencoba berkelit.

"Gitu, ya? Ya udah, deh. Tante percaya sama kamu," putus Tante Ira pada akhirnya, membuat Rian bernapas lega.

"Tante udah buatin kamu banyak makanan. Kalau kamu mau makan, tinggal kamu panasin aja," ujar Tante Ira kemudian memasukkan beberapa kotak berisi makanan yang telah ia buat dan menyusunnya di dalam kulkas.

Rian hanya mengangguk-angguk sambil memerhatikan Tantenya yang fokus memasukkan dan menyusun isi kulkas.

"Oh, iya. Kok Om Ridwan bisa ngebiarin Tante datang ke sini? Biasanya kan dia gak mau ngelepas Tante jauh-jauh dari dia," tanya Rian tiba-tiba.

Rian tentu saja merasa cukup heran. Suami Tantenya itu adalah pria yang sangat posesif, yang tidak akan membiarkan waktu dan perhatian istri cantiknya teralihkan ke orang lain. Tapi sedari tadi, Rian bahkan tak menemukan batang hidung Om Ridwan dimanapun.

"Oh, Om kamu? Dia lagi keluar kota sekarang, jadi Tante bisa bebas sebentar," jawab Tante Ira sambil tetap fokus menata barang-barang yang ia bawa tadi.

"Lho, tumben banget. Biasanya, Tante selalu dibawa kemana pun Om Ridwan pergi."

"Sebenarnya, Tante bohong dikit sama Om kamu. Tante pura-pura sakit. Awalnya, dia gak mau ninggalin Tante, tapi karena pekerjaannya mendesak banget, jadi dia akhirnya nyuruh Tante buat istirahat aja di rumah," jelas Tante Ira, menjawab keheranan dari keponakan tampannya itu.

Rian tertawa pelan. Tak menyangka, Tantenya akan berbuat hal seperti itu. "Ya ampun, Tante. Kalau ketahuan gimana?"

Tante Ira berpikir sejenak. "Hm... Kalau ketahuan... Ya gak bakal kenapa-napa. Paling dia kesel cuma beberapa menit," ucap Tante Ira dengan santai.

"Salah sendiri, jadi suami terlalu posesif," gerutunya kemudian.

Rian kembali tertawa pelan. Suami tantenya itu memang agak keterlaluan, sih. Posesof luar biasa, bucin tingkat akut.

"Kamu laper, gak?" taya Tante Ira, mengalihkan pembicaraan.

"Laper, dong," jawab Rian cepat, membuat Tante Ira tersenyum.

"Kita makan bareng deh, kalau gitu," ucapnya lalu menata beberapa makanan di atas meja.

Kedua mata Rian berbinar senang melihat makanan lezat buatan Tantenya itu. Sudah lama ia tak menikmati makanan rumahan buatan Tantenya itu. Tak ingin membuang banyak waktu, keduanya mulai menikmati makanan mereka.

Diam-diam, Tante Ira menatap Rian yang makan dengan lahap. Pipi keponakannya itu terlihat lebih tirus dibanding terakhir kali ia melihatnya.

"Akhir-akhir ini kamu gak mimpi buruk, kan?" tanya Tante Ira, cukup hati-hati.

Rian menghentikan tangannya yang tadi ingin menyuap sesendok nasi ke dalam mulutnya. Ia lalu balik menatap Tantenya. Ia terdiam sesaat, lalu tersenyum tipis.

"Enggak, kok. Rian tidur dengan nyenyak. Gak ada mimpi buruk," jawab Rian, tak mau satu-satunya keluarga yang sangat memedulikannya itu khawatir.

"Serius?"

Rian mengangguk sambil tersenyum. "Iya, serius. Tante gak perlu khawatir."

Meski Rian mengatakan padanya untuk tidak khawatir, tetap saja ia khawatir. Ia sangat tahu bagaimana kondisi keponakannya itu setiap musim penghujan tiba. Musim yang begitu menyiksanya.

"Gimana kalau kamu tinggal di rumah Tante? Cuma selama musim penghujan aja. Tante bisa bujuk Om kamu supaya dia setuju," tawar Tante Ira.

Rian menggeleng. "Gak perlu, Tante. Aku baik-baik aja di sini. Kalau aku pindah ke rumah Tante, bisa-bisa aku terus-terusan dipelototin sama Om Ridwan," canda Rian di akhir katanya.

"Lagi pula, ini juga bukan musim penghujan pertama aku," tambah Rian.

"Tapi tetep aja, Tante khawatir. Kamu tahu? Tiap hujan turun di malam hati, Tante gak bisa tidur karena kepikiran sama kamu. Tante masih ingat apa yang terjadi sama kamu dulu--"

"Aku udah lebih kuat kok, Tante. Udah gak kayak dulu lagi," Rian segera memotong perkataan sarat kekhawatiran Tantenya itu dengan suara tenang.

Tante Ira menghela napas. Ia cukup ragu dengan ucapan Rian, tapi ia akhirnya memilih untuk percaya.

"Omong-omong, uang kamu gimana?"

"Uang aku? Masih banyak, kok," jawab Rian santai.

"Jangan sungkan buat minta sama Tante kalau kamu kekurangan uang. Tante akan kirimin berapa pun yang kamu minta."

"Aku enggak kekurangan, kok. Aku kan kerja."

"Tante tuh mau kamu fokus ke sekolah kamu aja. Gak usah kerja. Kalau butuh uang, minta aja sama Tante."

"Tante, udah berapa kali aku bilang. Aku mau hidup mandiri. Selama aku bisa, aku akan ngelakuinnya. Ngajar itu bukan pekerjaan yang berat, dan aku menikmati pekerjaan aku itu. Lagipula, aku juga bisa ngatur waktu aku dengan baik antara kerja dan belajar, kok," jelas Rian mantap.

Tante Ira kembali menghela napas dan menatap Rian pasrah. Memang, ini bukan kali pertama ia mengajak Rian untuk tinggal bersamanya atau pun menawarkan untuk membiayai semua kebutuhan Rian. Berapa kalipun ia menawarkan hal itu, Rian akan selalu menolak.

"Oke, deh. Tapi kalau terjadi sesuatu, bilang ke Tante. Jangan dipendam sendiri, ya?"

Rian menaikkan ibu jarinya. "Sip."

"Ya udah deh, lanjutin aja makan kamu."

Rian mengangguk dan kembali melahap makanannya dengan pelan. Tak selahap tadi.

Rian memang selalu mengatakan kalau ia baik-baik saja pada Tantenya itu. Tapi sebenarnya, itu hanyalah sekedar kata yang keluar dari mulutnya agar kekhawatiran Tantenya berkurang.

Sesungguhnya, Rian sendiri ragu pada dirinya sendiri. Benarkah ia akan baik-baik saja? Bisakah ia melalui musim penghujan tahun ini dengan baik? Kebenciannya pada hujan, akankah berkurang atau malah akan bertambah?

⛈️🌧🌦

To be continued