Mahira Hasna Fairuz dan suaminya, beserta dengan seorang dokter berlari masuk ke penginapan kecil dimana keponakannya, Adrian Alfarizki berada. Dokter yang tak lain adalah kenalan Tante Rian itu segera masuk ke kamar untuk memeriksa Rian, sementara Tante Rian berdiri di depan Bu Freya.
"Kenapa Rian bisa datang ke tempat ini?" tanya Tante Rian cepat.
"Ituโ Sekolah mengadakan kegiatan penelitian untuk murid IPA kelas sepuluh dan sebelas," jawab Bu Freya.
Haaah.
Tante Rian menghela napas dan memijat keningnya. "Kenapa harus tempat ini, sih?" gumamnya.
"Memangnya ada apa?" tanya Bu Freya.
"Tempat ini adalah tempat yang paling dihindari Rian, karena tempat ini meninggalkan kenangan yang buruk baginya, bahkan menimbulkan trauma. Terlebih, jika hujan turun," jelas Tante Rian.
"Astaga, maaf. Saya benar-benar tidak tahu," sesal Bu Freya.
Tante Rian menggeleng, lalu berkata dengan pelan, "Ini bukan salah Anda."
Arga yang mendengar penjelasan Tante Rian tadi membeku selama beberapa saat. Ia lalu tersentak, dan segera menatap Tante Rian dengan mata yang membulat. "Tunggu, Tante. Jangan bilang, di sini, adik dan Papa Rianโ"
"Benar," kata Tante Rian cepat, memotong ucapan Arga.
"Kalau begitu, di sungai itu ... adik Rianโ"
Arga menghentikan ucapannya ketika Tante Rian mengangguk tanpa mengatakan apapun.
"Hah. Astaga," desah Arga sambil menyentuh keningnya. Kepalanya terasa pusing.
"Apa maksudnya?" tanya Raina yang tak tak tahu apapun.
Arga menoleh menatap sepupunya itu. "Jadi, Papa dan adik Rian itu udah meninggal. Dan di sungai yang tadi itu, itu adalah tempat adiknya meninggal karena hanyut saat hujan deras," jelas Arga.
Kedua mata Raina berkedip cepat. Ia terkejut mendengar itu.
"Maaf, Tante. Saya sudah merasa Rian agak aneh sejak sampai di sini, tapi saya tidak bertanya lebih lanjut dan akhirnya hal seperti ini terjadi," sesal Arga sambil menatap Tante Rian dengan tatapan penuh rasa bersalah.
Tante Rian menggeleng. "Tidak. Kau tak perlu minta maaf. Yang terjadi ini bukan salahmu."
"Tapi tetap saja, saya seharusnya lebih peka lagi sebagai sahabatnya."
"Tak apa. Setidaknya, kau membawa Rian pergi dari tempat itu dengan cepat," ujar Tante Rian, berusaha menghilangkan rasa bersalah sahabat keponakannya itu.
Sementara itu, Raina sendiri menatap ke arah kamar dimana Rian berada. Raina kembali mengingat bagaimana Rian sebelum ia pingsan. Ia masih ingat, bagaimana tatapan Rian saat itu. Tatapannya menyiratkan kesedihan dan penyesalan yang sangat mendalam.
Ceklek!
Pintu kamar terbuka, dan dokter yang baru saja memeriksa Rian keluar.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Tante Rian dengan penuh kekhawatiran.
Dokter itu menghela napas sesaat sebelum menjawab. "Tampaknya dia sangat terguncang saat ini karena kembali mendatangi tempat yang meninggalkan trauma mendalam padanya. Kenangan buruknya itu benar-benar mempengaruhinya. Tampaknya, akan butuh waktu beberapa jam untuk ia sadar."
"Beberapa jam?"
"Benar. Berdoa saja, ia bisa sadar dengan cepat. Jika ia sudah sadar, sebaiknya kau segera membawanya ke rumah sakit untuk mendapat pemeriksaan lebih lanjut lagi," saran sang Dokter.
Tante Rian mengangguk. "Baiklah. Terima kasih banyak."
Dokter itu tersenyum. "Kalau begitu, aku pergi dulu."
Selepas kepergian Dokter itu, Tante Rian segera masuk menghampiri Rian. Ia menggenggam tangan Rian yang masih terasa sangat dingin. Dalam hatinya, ia tak henti-hentinya berdoa agar keponakannya itu bisa segera sadar.
๐จ๐ฉ๐ฆ
Butuh waktu tiga jam hingga Rian akhirnya sadar. Ia tersadar dengan keadaan banjir keringat dingin. Sesuai saran Dokter, Tante Rian segera membawa Rian ke rumah sakit, meskipun pada awalnya Rian menolak. Ia akhirnya setuju setelah didesak beberapa kali.
"Kau yakin tidak mau tetap tinggal? Bagaimana jika pulang saja? Wali Kelasmu pasti akan memberi izin," ujar Tante Rian ketika mobil suaminya tiba di depan penginapan yang ditempati oleh teman-teman Rian.
Rian menggeleng. "Enggak, Tante. Aku gak mau pulang dulu. Tugasku belum selesai. Lagipula, aku udah baik-baik aja, kok. Gak perlu khawatir," balas Rian sambil tersenyum.
Tante Rian menatap Rian beberapa saat lalu akhirnya menghela napas. Ia tahu, ia tak bisa menahan Rian. Pendirian keponakannya itu kuat. "Oke deh, kalau gitu. Tapi, kalau ada apa-apa, hubungin Tante. Oke?"
"Oke, Tante!"
"Ya udah, kamu masuk deh. Istirahat lagi sana."
Rian mengangguk dan melangkah masuk ke penginapan. Setelah Mahira memastikan keponakannya itu masuk, ia dan suaminya pun pergi.
๐ฉ๐จ๐ฆ
"Yo!"
Sebuah sapaan singkat dan pukulan ringan di bahunya membuat Arga menoleh dan mendapati Rian yang tersenyum.
"Eh, Yan! Kok lo masih di sini, sih? Bukannya lo harusnya pulang?" tanya Arga sedikit kaget.
"Pulang kemana?" tanya balik Rian, sambil duduk di samping Arga.
"Ya ke rumah lo, lah," jawab Arga.
"Tapi kan tugas gue belum selesai."
"Ya elah, bro. Lo masih aja mikirin tugas. Gue yakin, Bu Freya pasti bakal ngasih lo keringanan. Gue juga bakal bantuin tugas lo. Jadi, mending lo pulang sekarang, deh, daripada terjadi sesuatu yang enggak-enggak lagi sama lo," ujar Arga panjang lebar.
"Tenang aja. Gue udah baik-baik aja, kok. Lagipula, Tante sama Om gue udah gue suruh pergi tadi," santai Rian.
"Apanya yang baik-baik aja. Lo keliatan masih pucat, tuh! Tadi aja lo keliatan kayak hampir mati, tahu!" omel Arga.
"Untung aja ada Raina. Kalau gak ada dia, gue gak bakal nemuin lo dengan cepet," lanjut Arga.
"Raina?" bingung Rian.
"Iyaa, Raina. Sepupu gue."
"Emang dia kenapa?" tanya Rian lagi.
"Lah, lo gak inget? Raina yang pertama nemuin lo. Lo bahkan pingsan di pelukan dia!" seru Arga.
"Hah?!" kaget Rian. Sesaat, otaknya berputar keras mengingat kejadian-kejadian sebelum ia pingsan. Ia kemudian menepuk jidatnya.
"Astaga. Gue inget sekarang. Waktu itu, gue mikir kalau dia itu adek gue."
"Aaah ... Jadi gitu ternyata."
"Lo tahu Raina ada dimana sekarang?" tanya Rian.
"Gak tahu juga, sih. Tapi paling dia lagi bareng temen-temennya. Emang kenapa?"
"Gue mau minta maaf dan bilang makasih sama dia," jawab Rian sambil berdiri dari duduknya.
"Gue cari dia dulu, ya!"
"Hei! Lo seharusnya istirahat dulu, bro! Woi! Rian! Hei!" teriak Arga, tapi terlambat. Rian sudah melesat pergi. Meninggalkan dirinya yang akhirnya hanya bisa menghela napas pasrah.
๐ฉ๐จ๐ฆ
Rian melangkah sambil menoleh kesana kemari. Berharap bisa segera menemukan Raina. Beberapa saat kemudian, ujung bibirnya tertarik ke atas ketika akhirnya mendapati gadis itu.
"Raina!" teriaknya, sambil berlari kecil menghampiri Raina.
"Oh? Kak Rian?"
Raina yang tadinya tengah duduk di atas rumput bersama kedua sahabatnya segera berdiri ketika melihat Rian yang menghampirinya.
"Kenapa, Kak?" tanya Raina.
"Bisa kita bicara berdua dulu? Sebentar aja, kok," ajak Rian.
Raina mengangguk lalu menoleh ke kedua sahabatnya. "Aku pergi bentar, ya," katanya, lalu berjalan beriringan bersama Rian ke tempat yang lebih nyaman.
Sebuah bangku kayu yang cukup panjang menjadi tempat mereka berdua untuk duduk. Ada sedikit kecanggungan di antara keduanya pada awalnya. Namun Rian segera angkat bicara.
"Makasih, ya. Dan juga ... Maaf."
Raina menoleh memandang Rian. "Kenapa Kakak minta maaf?"
"Ituโ karena udah meluk sembarangan," jawab Rian agak terbata.
Raina tersenyum kecil. "Gak papa kok, Kak. Aku tahu, pikiran Kakak waktu itu pasti kalut banget."
Rian ikut tersenyum mendengar perkataan Raina. "Hm, bener. Bahkan, rasanya hampir gila waktu itu. Makasih banget, ya."
"Tapi, yang ngebawa Kakak pergi dari tempat itu Kak Arga. Aku gak terlalu ngebantu," kata Raina.
Rian menggeleng. "Apa yang kamu lakuin saat itu bener-bener pertolongan yang besar buat aku. Di saat orang lain memilih untuk gak peduli dan bahkan pergi karena ketakutan, kamu malah mau ngehampirin dan nenangin aku. Seandainya gak ada kamu, kupikir aku benar-benar akan menjadi gila saat itu. Pokoknya, aku bener-bener berterima kasih sama kamu. Kamu penyelamatku," kata Rian sambil tersenyum dan menatap Raina lembut.
Raina tersenyum tipis lalu menunduk malu. Pipinya terasa menghangat. Entah mengapa, ia merasa agak malu dan berdebar.
๐ฉ๐จ๐ฆ
To be continued