Chereads / Haters and Lovers of Rain / Chapter 2 - Chapter 1

Chapter 2 - Chapter 1

Tubuhnya terombang-ambing di dalam air yang dingin itu. Berusaha untuk tetap bertahan, demi nyawa lain yang begitu berharga baginya.

Derasnya hujan membuat penglihatannya tak jelas. Berkali-kali ia mengusap wajahnya dari derai air hujan yang membasahi. Sementara sebelah tangannya terus mendayung ke arah depan.

Susah payah ia berusaha maju di dalam air yang dalam itu. Kaki lemahnya terus ia ayunkan. Berusaha untuk mencapai gadis kecil yang sudah begitu pucat dan tak berdaya.

Nahas. Ketika ia hampir menggapai tangan kecil itu, hujan yang bertambah deras menghantarkan luapan arus sungai yang semakin besar dan kencang. Menerjang tubuhnya dan juga gadis kecil itu, membuat tubuh kecil tak berdaya itu semakin terseret jauh darinya.

"Tidak! Caca!"

Rian terbangun dari tidurnya dengan peluh yang membasahi sekujur tubuhnya. Napasnya memburu kencang.

"Hah, mimpi itu lagi," gumamnya sambil mengusap wajahnya kasar.

Rian meraih segelas air yang ada di nakas dekat tempat tidurnya dan meneguknya hingga habis. Ia lalu menolehkan kepalanya ke arah jendela. Rintik hujan terlihat jelas dari arah luar. Terlihat begitu deras, dengan sesekali suara gemuruh dari langit.

Rian berjalan gontai menuju jendelanya. Menutup jendelanya rapat-rapat, lalu menarik gorden. Membuat suasana kamarnya gelap gulita.

Ia lalu kembali menuju tempat tidurnya dan berbaring sambil menyelimuti seluruh tubuhnya dengan selimut tebal.

"Hujan sialan."

🌦 🌧 ⛈️

"Adrian Alfarizki."

"Adrian?"

"..."

Seorang guru muda mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang kelas.

"Rian tidak datang?" tanyanya ke murid-murid.

"Dia sakit, Bu!"

"Rian sakit, Bu!"

Guru muda itu memandang dua orang muridnya yang menjawab bersamaan itu. Seorang murid laki-laki, dan satu orang lagi murid perempuan.

"Rian sakit apa?" tanya guru muda itu lagi.

"Dia demam tinggi, Bu!" Kali ini, murid laki-laki itu menjawab dengan lantang.

Guru muda itu mengangguk-angguk pelan. "Ah, begitu."

"Arga bohong, Bu! Rian gak sakit!"

Seruan itu membuat Arga, murid yang menjawab pertanyaan guru tadi, menoleh dan menatap tajam ke sumber suara.

"Maksud kamu apa, Leo?" tanya guru muda itu.

"Rian gak dateng ke sekolah bukan karena sakit, tapi karena pagi ini hujan deras. Sejak kelas sepuluh pun, dia emang jarang ke sekolah kalau udah masuk musim penghujan," jelas Leo.

"Dasar, singa sialan," desis Arga kesal sambil melirik Leo yang tengah tersenyum miring.

Guru muda itu berpikir sejenak lalu menghela napas singkat. "Buka buku kalian halaman 20 dan kerjakan tugas yang ada di sana. Ibu harus mengurus sesuatu dulu di ruang guru."

Sesaat setelah sang guru keluar dari kelas, Arga segera berdiri dari duduknya.

"Apa-apaan sih, lo?!" teriaknya pada Leo.

Leo memandang Arga dengan datar. "Apa, sih? Gue cuma ngejelasin kebenaran yang ada. Lo tuh yang apa-apaan. Udah jelas-jelas Rian enggak sakit, tapi lo malah bilang sakit."

"Niat lo ngaduin Rian kayak gitu biar dia dapet hukuman dari sekolah, kan? Udah sejak kelas sepuluh, lo gregetan banget mau liat Rian diskors atau dikeluarin dari sekolah." Arga mendengus lalu tersenyum miring. "Tapi sayang banget. Keinginan lo itu gak bisa terwujud karena Rian itu anak emas kesayangan sekolah. Rian penyumbang juara dan piala terbanyak buat sekolah. Jadi gak mungkin sekolah mau ngeluarin dia."

Leo terdiam. Ia menatap Arga dengan tajam, menahan amarah yang kian mendidih.

Arga memandang Leo dengan tatapan remehnya. "Gue tahu kalau lo itu iri banget sama Rian. Tapi Bro, gue ingetin lo sekali lagi. Tingkat kecerdasan lo sama Rian tuh beda jauh banget. Meskipun Rian gak dateng ke sekolah berbulan-bulan pun, lo tetep gak bakalan bisa ngalahin dia."

"Sialan lo!" Leo yang sudah dikuasai amarah melangkah maju dan mencengkeram kerah seragam Arga.

"Berhenti! Jangan berantem! Jangan buat masalah di kelas! Kalau enggak, gue bakal langsung aduin kalian ke Bu Kepsek!" seruan tegas itu membuat kepalan tinju Leo yang ia arahkan pada wajah Arga terhenti di udara.

Ancaman pengaduan ke Kepala Sekolah memang sangat ampuh. Meskipun Kepala Sekolah mereka seorang wanita, tapi semua warga sekolah begitu takut padanya. Ibu Kepsek yang marah benar-benar menyeramkan!

Leo melepas cengkeramannya dan melangkah keluar kelas.

"Leo! Lo mau ke mana?!" teriak gadis yang sempat menjawab pertanyaan guru muda tadi bersama Arga, sekaligus orang yang juga menghentikan perkelahian Leo dan Arga.

"Ke toilet. Izinin gue ke guru kalau gue belum balik ya, Ketua Kelas," ucap Leo tanpa berbalik.

Aurellia Elvina, gadis yang merupakan Ketua Kelas IPA 1 itu menghelas napasnya kasar.

🌦 🌧 ⛈️

Setelah menghabiskan berjam-jam waktu untuk belajar, jam pulang pun tiba. Tapi meskipun begitu, masih banyak murid yang berada di sekolah. Itu karena hujan yang belum juga reda.

"Hujan saat jam pulang bener-bener nyebelin," gerutu kesal mulai keluar dari seorang murid perempuan sambil melihat tetesan air hujan yang terus menetes dari langit.

"Hah, bener," timpal teman yang berdiri di sampingnya.

Sementara itu, seorang gadis dengan rambut yang dikuncir keluar dari kelasnya sambil berlari-lari kecil. Bibir tipisnya sesekali mengeluarkan senandung kecil sambil tersenyum.

"Temen-temen, aku duluan, ya!" seru gadis itu pada teman-temannya yang masih berdiri di koridor sekolah.

"Tapi hujannya masih deras!"

"Gak papa kok! Bye!" gadis itu tak menghiraukan temannya lagi. Setelah melambaikan tangannya, ia segera berlari menerjang hujan.

"Hei! Nanti sakit, lho!"

"Udah, biarin aja. Raina gak bakal sakit cuma karena kehujanan. Dia kan udah berteman baik sama hujan."

🌦 🌧 ⛈️

Raina Zanna Nayara. Gadis itu dengan riangnya berjalan menapaki setapak jalan dengan genangan air hujan yang dangkal. Tak ada niatan untuk berteduh dari rintik hujan yang terus membasahi tubuhnya. Justru, ia sangat menikmatinya.

Raina berhenti sejenak. Ia menengadah, lalu menaikkan sebelah telapak tangannya ke udara. Senyum tak pernah luntur dari wajahnya. Ia senang. Sangat senang. Hujan adalah momen yang memang sangat ia nantikan.

Raina kemudian kembali berjalan pulang. Tiba di halaman rumahnya, Raina mendapati sang Bunda dan Ayah telah menanti di teras rumah.

"Udah Bunda duga, kamu pasti bakalan pulang sambil hujan-hujanan," gerutu Bunda sambil membawa Raina ke depannya dan mengeringkan rambut putrinya itu dengan handuk kering yang memang telah ia siapkan sedari tadi.

"Hehehe." Raina hanya tersenyum sambil memasang wajah polosnya. Sang Ayah yang melihat itu tersenyum simpul.

"Bunda, aku bisa sendiri, kok," ucap Raina sambil meminta handuk kecil itu.

"Ya udah, ini." Sang Bunda menyerahkan handuk itu ke tangan Raina.

"Kamu sebaiknya cepet masuk, terus mandi. Abis itu kita makan bareng."

"Siap, Bunda!" Raina memberi gerakan hormat layaknya sedang Upacara Bendera lalu segera berlari masuk ke dalam rumahnya. Meninggalkan Ayah dan Bundanya yang geleng-geleng melihat tingkah putri tunggalnya itu.

🌦 🌧 ⛈️

To be continued