Sinar matahari menembus asap di dapur yang kecil, Raka masih terbaring di tempat tidur. Wanita itu mengamatinya dari ambang pintu, mengamati tubuh kekar dan wajah menggairahkan terbias sinar mentari. Ia mengamati ke sekeliling kamar, meskipun cat, perabot dan kertas dindingnya baru, apartemen ini masih terlihat lusuh dan berbau tak sedap, asap rokok.
Raka menggeliat, perlahan membuka kedua matanya terkena sinar matahari. Raka mengucek kedua matanya, samar-samar melihat bayangan berdiri di ambang pintu kamarnya. Raka membelalak, ia dengan cepat bangkit dari tempat tidur. Hanya mengenakan celana pendek putih bergaris horizontal biru tanpa pakaian atas.
Dadanya yang bidang, bergaris tujuh terlihat sangat jelas. Panik, antara sadar dan masih setengah mengantuk Raka mengucek lagi kedua matanya tapi kali ini akhirnya ia dapat melihat dengan jelas wajah di hadapannya. Tersenyum dengan senyuman menggoda, mengerlingkan mata kepadanya.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Raka kepadanya.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" wanita itu mengulang kalimat Raka setengah mengejek.
"Kamu nggak sadar sama apa yang telah kamu lakukan semalam, hei ... ayolah." Wanita itu berjalan mendekati Raka. Raka melangkah mundur, tapi sayangnya kakinya mentok dengan tempat tidur dan dia tak bisa lagi bergerak.
"Apa yang kamu inginkan, bukankah kita sudah sepakat mengakhirinya." Raka meraih kaos miliknya yang tergeletak di sisi kanan tempat tidur dan memakainya dengan cepat. Wanita itu sudah berdiri tepat di hadapannya, berjarak lima centi. Wanita itu memegang wajah Raka, tersenyum manis, Raka menahan nafas.
"Apa kamu tidur nyenyak?" bisik wanita itu.
Raka tak menjawab mulutnya terbuka lebar, mengeluarkan bau asap rokok menyengat.
"Hei ... apa yang kamu lakukan?" Raka mengibas tangan wanita itu.
"Hei, apa yang kamu lakukan. Raka, jangan munafik. Aku lelah, setelah malam yang kita lalui bersama. Kamu nggak ingat, sama sekali. Oohhh ... menyedihkan sekali diriku." Wanita itu bergeser ke sisi kanan Raka. Jari-jari tangannya menyentuh leher Raka. Secepat itu pula Raka menepisnya.
"Kamu tahu, semuanya akan berakhir Raka. Hari ini ... aku sudah muak dengan semuanya. Dan kamu ... kamu harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan hidup wanita malang itu." Ia menunjuk ke bingkai foto yang terpasang di dinding sisi kanan kamar tidur Raka, foto pertunangan Raka.
"Apa yang kamu lakukan? Bukankah semua sudah berakhir." Raka mencengkram erat tangan kanan wanita itu.
"Aku nggak akan membiarkan wanitamu bahagia dan kamu bahagia bersamanya. Oohhh … tidak Raka. Bagaimana dengan diriku? Kuhabiskan waktuku untukmu dan semua yang kamu ingin telah aku berikan, tapi kamu ... kamu ingin hidup bersama wanita itu." Ia berjalan menghampiri bingkai foto dan mengambilnya, sebelum ia berusaha membantingnya ke lantai Raka telah lebih dahulu mengambilnya dan mendorong wanita itu, hingga ia terhuyung hampir saja tertabrak lemari pakaian dan terjatuh.
Wanita itu menangis, tak pernah terbayangkan Raka, laki-laki yang selama ini bersamanya setelah sekian waktu menjadi sangat berubah dan itu setelah Raka kembali bertemu dengan Andini. Raka menghampirinya, memegang kedua lengan wanita itu dan membantunya berdiri.
"Maafkan aku! Bukankah semuanya sudah berakhir. Aku tidak ingin selamanya seperti ini." Raka mengusap air mata wanita itu. Selama beberapa saat Raka merasa dirinya sangat bersalah kepada Andini dan wanita yang kini dihadapannya itu.
Dia tidak bermaksud menyakiti keduanya, hanya saja semua berjalan diluar dugaannya. Raka memang telah jauh berhubungan dengan wanita itu tapi ia pun tak bisa memungkiri hatinya bahwa ia sangat ingin hidup bersama Andini.
"Apa kamu menyukainya?" tanya wanita itu, mendongak.
Raka mengangguk, pelan.
"Kamu menyukaiku juga?"
Raka mengangguk. Tersenyum, ia tak bisa berbuat apa-apa kali ini. Wanita ini, yang kini berada di hadapannya walau begitu sangat berjasa dalam kehidupan Raka. Mungkin ia tak akan seperti ini jika tak bersamanya dan keluarga Raka, yah keluarganya terutama ibunya terlalu banyak mendapat bantuan darinya.
Bertemu kembali dengan Andini, membuat Raka tersadar ia telah membuang sesuatu yang berharga dalam hidupnya dan hanya Andini yang dapat membuat hatinya begitu terasa damai bahkan hanya dengan bersama Andini, Raka merasa hidupnya lebih bahagia dari apapun.
"Kamu sendiri yang menyetujui pertunangan itu dan kamu sendiri yang memutuskan untuk pergi meninggalkan aku. Kamu ingat?" Mereka masih berdiri, dalam posisi sangat dekat. hembusan napas wanita itu bisa dirasakan Raka. Raka menariknya, mendekapnya dengan erat. Ada penyesalan disana.
"Seandainya saja ia tak bertemu denganmu lagi, aku yang berdiri di sana." Wanita itu menunjuk kembali ke bingkai foto. Raka meringis.
"Bukan Andini yang merebut aku darimu, tapi kamu yang memisahkan kami. Benarkan?"
"Aku sangat mencintaimu Raka, kamu tahu itu. Berapa banyak yang telah aku berikan padamu. Semuanya sampai kamu seperti ini."
"Yeaaah ... tapi..tetap saja kamu tak bisa membeli hati seseorang, kamu tahu itu."
"Apa kamu sangat mencintainya?"
"Hmmm … aku membutuhkannya."
"Itu berarti kamu tak mencintainya."
"Aku membutuhkannya lebih dari mencintainya."
Wanita itu mendorong Raka dengan keras, ada kekesalan dalam sorot matanya.
Raka menghampirinya dan menarik lengannya, kembali memeluknya.
"Maafkan aku!" bisik Raka, ia tak mampu berbuat apa-apa terhadapnya karena betapa wanita dalam dekapannya itulah yang telah membuat dirinya seperti saat ini.
Andini, meski Raka sangat mencintainya, rasanya aneh setiap kali Raka bersama Andini meski ada perasaan tenang namun Raka tak pernah bisa mengutarakan tentang masalah kehidupannya dengan Andini. Hidupnya yang runyam, keluarganya yang bermasalah dan ibunya yang selalu mengatur hidupnya bahkan hingga saat ini.
Wanita di dekapannya itulah yang selalu menjadi tong sampah bagi Raka, dan ia dengan senang membantu, memberikan apapun yang diinginkan Raka.
Suara dengungan air mendidih dari dapur menyadarkan Raka, ia melepaskan pelukannya dan cepat menuju dapur. Menuang air panas ke dalam gelas yang telah terisi kopi hitam, aromanya menyeruak. Disusul wanita itu berdiri di sisi Raka, tangannya mendekap tubuh Raka dengan erat.
****
Pada pukul tujuh pagi, Andini bercermin sekali lagi untuk memastikan bahwa ia tidak tampak berantakan dan terlihat rapi sebelum keluar dari apartemennya. Cermin tergantung di dinding di balik pintu.
Andini membuka pintu apartemen, ia hampir menginjak koran yang tergeletak di lantai depan apartemennya. Siapa yang menaruhnya, Andini menoleh ke kanan ke kiri, tak ada siapa pun. Ia tak pernah benar-benar memesan koran harian di apartemennya karena ia selalu membacanya di kantor.
Andini membungkuk, mengambilnya, tas longchamp mengikuti gerakan tubuhnya. Dan seketika itu pula Andini terbelalak sesaat ketika memperhatikan judul yang tertulis di koran itu menggunakan huruf kapital berukuran besar. Kakinya melangkah ke belakang, hampir menabrak pintu apartemen, satu tangan kanannya memegang handle pintu menahan tubuhnya.
Tuhan.. apa yang terjadi.
Suara dering telepon dari dalam tas membuat Andini kembali berdiri dengan posisi tegap, seorang penghuni lainnya melewati Andini, menyapa dengan senyuman, Andini membalas tersenyum. Meraih ponselnya ....
Nama Pak Nano tertera di layar ponsel, Andini menekan gambar telepon berwarna merah.
"Yah.. Oke." Jawab Andini, kemudian menarik nafas dan menghembuskannya. Berjalan dengan gontai, penasaran membaca lagi koran itu.
Andini tak seimbang, terlihat gontai menuju lift. Tangannya menahan pintu lift hampir tertutup. Ada dua penghuni apartemen di dalamnya. Andini tak memperhatikan mereka, ia menepi. Tubuhnya menempel pada dinding lift, terasa dingin. Tangan Andini menggenggam pegangan yang ada di lift setelah dengan cepat ia memasukkan koran itu ke dalam tas miliknya. Kini ia hanya diam tak bergeming, dan wajah manisnya berubah tak merona seperti biasa.
Terasa lambat bagi Andini lift menurun pagi ini, ia melirik pergelangan tangannya. Pukul tujuh lewat sepuluh menit, mendesah. Hening hanya suara ting-tong dari dalam lift setiap tiba di lantai berikut dan berikutnya.
Tinggalah Andini seorang, lift terbuka tepat di lantai basement. Andini keluar dengan langkah kaki gontai, kini pikirannya tak karuan. Ia mengeluarkan kembali koran itu kini di amatinya dengan seksama. Andini memejamkan mata.
Kejam sekali… gumamnya.
Pak Nano, sudah menunggu di dalam mobil tak jauh dari lift. Hanya beberapa langkah Andini sudah duduk dengan gelisah di dalam mobil dan tak sekata patah pun keluar dari mulutnya. Pak Nano mengkerutkan dahi, tak biasanya atasannya itu terdiam dan tak menyapanya. Namun Pak Nano tak ingin mengganggunya, ia memutar kunci mobil dan perlahan membawa Andini. Tepat di depan pintu gerbang apartemen.
"Pak Nano, kita ke tempat lain ya."
"Nggak ke kantor Bu?" tanya Pak Nano menatap dari kaca spion tengah. Andini menggeleng.
"Ke Marina Bay aja." Jawab Andini.
Pak Nano mengangguk, ia belok ke kanan. Marina Bay itu berarti hari ini atasanya itu pasti akan bertemu dengan nasabah atau rekan kerjanya, tapi tak biasa pikir Pak Nano.
Andini selalu datang ke kantor terlebih dahulu sebelum ia pergi kemanapun, kali ini berbeda. Andini terlihat tegang, ingin sekali ia menghubungi seseorang tapi ia menahannya. Andini menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Apa yang akan terjadi.
Tuhan ... apa yang mereka inginkan.
Andini merasa seluruh tubuhnya dingin, ketakutan, terlintas dalam benak Andini. Ayah, ibu, kakak-kakak Andini dan keluarga besarnya. Ia menyandarkan kepalanya ke kaca yang berwarna gelap.
Tentu saja Andini sangat ketakutan dan khawatir saat ini, ada sesuatu yang tidak normal dalam masalah ini. Ia terus memijit keningnya, sesekali melirik koran yang tergeletak di samping kirinya itu. Ia ingin sekali sebenarnya membaca isi dari artikel yang tertulis di sana namun ia mengurungkan niatnya. Betapa kini ia tak bisa menahan mual dari dalam perutnya dan satu-satunya orang yang kini ada dibenaknya, yang bisa membuatnya tenang.
Ingin sekali ia menekan ponselnya, mendengarkan suara ibunya setidaknya membuat ketegangan dan kegelisahan dalam hatinya berkurang. Tapi lagi-lagi Andini menahan dan berpikir lebih keras lagi. Semuanya tak terduga, bukankah seminggu yang lalu dewan direksi masih belum bisa memutuskan dan mereka tengah menyelidiki beberapa saksi mata serta nasabah yang mengaku memberikan sejumlah dana ke rekening Andini. Dan Andini bersumpah dalam hatinya bahwa ia tak pernah melakukan itu sepeserpun tak pernah ia menerimanya.
Kini Andini memutar kembali memori tentang beberapa kasus nasabah yang dengan terang-terangan memberikan sejumlah uang kepadanya agar kredit yang mereka ajukan bisa cair dengan segera. Andini, dengan kerasnya dan murka melempar uang pemberian mereka.
Andini memejamkan mata, suara dering telepon dalam tasnya enggan ia angkat. Benarkah kini yang tengah ia lakukan, menghindar dari mereka dan pergi bersembunyi. Andini tetap saja manusia biasa, dan tak mungkin semua bahkan seluruh nusantara telah membacanya.
Kejam ... lirihnya.
Ia merasa tak pernah memiliki masalah dengan siapapun, bukti pengiriman sejumlah uang ke dalam rekening pribadi Andini tanpa sepengetahuanya itu menjadi bukti yang kuat untuk dirinya. Dan bagaimanapun ia tak bisa menghindar dari masalah ini.
Meski dalam artikel itu masih diduga dan tidak menyebut namanya dengan jelas, wanita cantik berprestasi sudah jelas memberikan petunjuk ke semua orang bahwa itu adalah dirinya. Satu-satunya kepala cabang seorang wanita di Bank Exa hanyalah dirinya.
Ayah ... Ibu ... maafkan aku!
Apa yang harus aku lakukan?
Bersambung ...