Chereads / Ketika Dia Selingkuh / Chapter 24 - Karena Tuhan 2

Chapter 24 - Karena Tuhan 2

"Ehh ... iyah." Andini tergagap ketika Jonathan memanggil namanya, dan merasa malu ia tengah melamun. Namun akhirnya dengan cepat ia tersenyum ketika Jonathan menatapnya dengan satu alis terangkat lalu mereka tersenyum bersama. Dhea memperhatikan gerak gerik Andini sedari tadi, Andini terlihat grogi.

"Saya ikut prihatin atas masalah yang menimpa Mba Andini." Jonathan masih tersenyum menatapnya.

"Terima kasih." Hanya itu yang keluar dari bibir Andini, telinganya terasa panas karena kedua sahabatnya, Michele dan Dhea menatapnya tak berkedip dan mereka tanpa berkata memberi ekspresi wajah penuh tanda tanya. Andini mulai terlihat tak tenang, kedua tangannya dilipat di atas pangkuan. Dhea menahan senyum, sangat mengenal sahabat sekaligus atasannya itu, selalu seperti itu.

"Saya juga belum bisa menerima tuduhan mereka atas tindakan papa, karena saya yakin papa saya nggak bersalah. Papa nggak pernah mau bercerita tentang masalahnya kepada saya, hingga sewaktu Cici menelpon saya, kebetulan papa mendengar dan menyuruh saya membawa kalian ke sini." Jonathan terdiam, menunduk lalu mendongak.

"Ketika saya sadar papa saya dalam bahaya, saya memutuskan untuk menyembunyikan bukan lantaran untuk melarikan diri dan mengorbankan kalian tapi lebih pada keamanan papa saya. Saya yakin ada banyak orang di sana ingin papa saya segera dilenyapkan karena beliau satu-satunya orang yang tahu segala akar permasalahan meski media selalu memojokkan papa saya dan berimbas pada perusahaan keluarga besar kami. Mendengar berita ini saya langsung menyetujui balik ke Indonesia, saat itu mama memberitahu perihal masalah yang tengah menimpa papa. Dan sakitnya papa pun bukan karena masalah tersebut namun sudah lama papa menderita penyakit itu." Jonathan menunduk lagi.

Andini, Dhea saling bertatapan, diam terpaku. Michele memegang lengan Jonathan merasakan apa yang tengah dialami laki-laki di sampingnya itu. Tak terasa waktu berubah cepat, seingat Michele, Jonathan adalah pribadi yang cuek dan dulu ia mendengar kabar bahwa Jonathan tak ingin kembali ke Indonesia meneruskan usaha keluarganya namun akhirnya dia kini mengambil keputusan yang tepat. Hampir sepuluh tahun Michele tak melihatnya, dulu ketika mereka masih sama-sama sekolah di bangku SMA sering bertemu dalam acara pertemuan keluarga besar pengusaha Tionghoa di Jakarta. Jonathan yang dulu sangat berbeda dengan yang sekarang, hubungan keluarga mereka sangat baik.

Ruangan itu sangat besar, dindingnya bercat putih. Tempat tidur besar dan lemari berwarna senada dengan tempat tidur berada di pojok dekat dengan jendela besar setinggi plafon hingga lantai. Bau aromatherapy menyengat hidung. Ada tiang infus dan mesin detak jantung sebelahnya berdiri tabung oksigen, lebih mirip ruang inap rumah sakit. Lengkap semua peralatan medis berada di ruangan. Andini, Dhea dan Michele berdiri tak jauh dari tempat tidur, Jonathan berjalan menuju arah pintu balkon. Apa sebenarnya penyakit yang diderita Handoko, bathin Andini.

Jonathan tak menjelaskan penyakit yang diderita papanya kepada mereka. Andini pun tak mau lebih banyak bertanya mengenai hal itu. Sudah berada di ruangan ini bertemu dengan Handoko itu sudah lebih dari cukup baginya untuk saat ini. Akhirnya ia hanya banyak diam dan sesekali menimpali pembicaraan Jonathan ketika berada di ruang keluarga tadi.

Suara kursi roda mengalihkan pandangan Andini ke arah asal suara. Jonathan tengah mendorong kursi roda, duduk seorang lelaki sebaya dengan ayah Andini. Wajahnya terlihat pucat, mengenakan sweater coklat, kedua kakinya ditutupi kain selimut bergaris horizontal, lehernya melingkar syal kotak-kotak hitam putih, laki-laki itu berusaha tersenyum di balik wajahnya yang sayu. Andini terhenyak melihatnya, beberapa bulan yang lalu ketika ia bertemu dengan laki-laki itu di sebuah acara penghargaan perbankan, ia masih terlihat segar bahkan smart, namun sekarang.

Khawatir tatapannya membuat Handoko tak nyaman Andini dengan cepat menyunggingkan senyuman. Tak lama kemudian seorang wanita cantik mengenakan pakaian warna hitam selutut tanpa lengan, potongan rambut pendek bob hitam mengkilat masuk membawa botol infus dan obat-obatan, istri Handoko. Ia masih terlihat cantik, mirip sekali senyumnya dengan putranya Jonathan. Lalu Andini berpikir, Jonathan mirip ibunya.

"Andini Prameswari." Sapa Handoko ketika sudah berada tepat di hadapannya.

Andini dengan cepat mengulurkan tangan, "Pak Han ..." Andini tertegun sejenak, benarkan yang kini di hadapannya itu seorang Handoko yang selama ini ia lihat di beberapa media.

"Maaf, sudah merepotkan kamu, Andin." Wajah itu seketika berubah, Jonathan reflex memegang bahu papanya. Handoko tertunduk beberapa saat tangannya masih memegang tangan Andini.

"Papa ..." panggilan sang istri menyadarkannya.

"Papa baik-baik saja?" Istri Handoko berjongkok di sisi kanan Handoko memegang lengannya. Handoko mendongak, lalu tersenyum mengangguk kepada sang istri, ada kelegaan yang mereka rasakan. Kemudian Handoko tersenyum kepada Andini, melepaskan tangan Andini. Handoko melirik kearah samping kanan Andini.

"Michele … ah sudah lama sekali aku tak melihat mu." Michele melangkah ke depan, mencium tangan laki-laki itu.

"Gimana kabarnya Om?" Michele menunduk mengamati wajah sayu itu, ia teringat ayahnya sendiri.

"Baik" Handoko menepuk bahu Michele. Mereka sudah seperti anak dan orang tua. Michele sudah sangat dekat dengan pria di hadapannya itu. Meski Handoko terkenal berdarah dingin namun Michele merasa laki-laki berusia enam puluh tahun itu seperti papanya sendiri, ia pribadi yang hangat selama ia mengenalnya.

"Baik-baiklah dengan papa kamu, Michele." Lanjutnya. Michele mengangguk, ada perasaan lain dalam diri Michele melihat laki-laki di hadapannya itu, ia teringat ayahnya. Dan tiba-tiba Michele sangat ingin menemui ayahnya. Michele menahan nafas, berusaha untuk tidak meneteskan air mata di hadapan semua orang, lalu ia tersenyum.

"Duduklah kalian semua." Handoko menepuk lengan Jonathan, Jonathan mengangguk mendorong kursi roda itu ke sisi kanan ruangan. Sofa berwarna coklat dari bahan beludru duduk manis di ruangan itu. Michele, Andini dan Dhea mengikuti langkah Jonathan. Tak lama berselang, ibunya Jonathan telah membawa amplop coklat berjalan ke arah mereka.

Andini tak melepaskan pandangannya sekalipun dari Handoko, jantungnya berdebar kencang. Dirinya sangat yakin, amplop yang kini tengah diserahkan istri Handoko kepada suaminya itu, bukti-bukti atas kasus yang selama ini dialaminya.

Handoko menerima amplop itu, mendesah. Sang istri duduk di sofa sebelah kiri Handoko, sementara Jonathan berdiri di belakang kursi roda dengan kedua tangan masih memegang pegangan tangan kursi roda. Tiba-tiba ruangan itu menjadi sunyi, semua mata tertuju pada satu arah, amplop berwarna coklat itu. Dhea tak bergerak menatap, Michele pun demikian, ia merapatkan jari-jari tangannya sesekali melirik Andini yang terlihat tegang di sebelah kirinya.

"Andini." Handoko mendesah, perlahan ia membuka amplop coklat itu, melepaskan gulungan talinya. Terdiam sesaat, lalu ia dengan gerakan melamban membuka amplop itu. Menunduk beberapa saat, kerutan di wajahnya tiba-tiba berubah. Jonathan memegang pundak sang ayah pun demikian dengan istrinya memegang lengan kiri Handoko. Handoko mengangguk-angguk, ia mengembalikan lagi isi amplop coklat itu ke dalam.

"Semuanya ada di sini, Andini." Handoko mendongak, menatap Andini. Menepuk-nepuk amplop coklat di pangkuannya itu, "Ini aku serahkan padamu jangan sampai jatuh kepada orang yang salah." Lanjutnya mendesah, napasnya turun naik, setiap kali ia berbicara nafasnya terasa berat, dan ia terlihat tersengal-sengal.

Andini hanya mengangguk, ia bahkan tak bisa berkata. Jantungnya masih berdetak kencang, Andini mulai berpikir apa yang harus ia lakukan ketika ia membuka isi amplop itu dan semua kebenaran ada di dalam sana. Andini berdiri berjalan mendekat ke arah Handoko, diraihnya amplop coklat itu dengan gemetar. Handoko berulang kali mengangguk, ketika Andini sudah menerima amplop itu dan kembali ke tempatnya semula. Dhea dan Michele menarik nafas lega, meski belum tahu apa yang harus mereka lakukan setidaknya titik terang sudah di depan mata, batin Dhea melirik Andini duduk terpaku.

"Saya tidak bisa menjelaskan panjang lebar dengan kalian, kondisi saya tidak memungkinkan." Handoko terdiam, menarik nafas, tangan kanannya memegang dada bagian kiri, perlahan mengeluarkan napas.

"Papa." Istrinya terlihat khawatir.

"Aku baik sayang." Handoko menatap sang istri, meremas tangannya.

Andini terharu melihat adegan di hadapannya itu, betapa istrinya sangat bahagia memiliki suami seperti Handoko, selama ini ia mengenal Handoko sebagai sosok yang dingin dan terkesan tak peduli. Ia seorang pengusaha yang tegas, berprinsip dan selalu memiliki keyakinan sendiri, semua orang menganggapnya menyebalkan. Kini, Andini bisa melihatnya dengan jelas betapa kehidupan Handoko jauh dari apa yang selama ini ia pikirkan. Istri yang cantik, setia dan putra yang baik, pintar serta sangat menyayanginya. Andini lalu berpikir ia akan berjanji akan menemukan pelaku sebenarnya di balik semua ini dan membersihkan nama baik dirinya sendiri serta keluarga besar Handoko.

"Andini."

"Iyah." Andini tergagap, tiba-tiba Handoko memanggil namanya, ia tersenyum tertangkap basah tengah melamun, Jonathan meringis melihat Andini. Senyuman itu, ah pikir Andini sungguh Handoko beruntung memiliki putra setampan Jonathan.

"Bersabarlah, saya yakin kamu bisa menyelesaikan semuanya. Ingat jangan pernah percaya dengan siapapun." Handoko menasehati, Andini mengangguk pasti menggenggam amplop coklat itu erat-erat.

"Semua yang kamu butuhkan ada di dalam amplop itu, saya dan Jonathan sudah membuat semua petunjuk yang harus kamu lakukan. Semoga berhasil Andini. Pastikan tidak ada satupun orang yang tahu tentang pertemuan kita. Kalian berdua.." Handoko menunjuk ke arah Michele dan Dhea."

"Saya percaya dengan kalian sebagai sahabat Andini." Handoko menatap mereka berdua dengan tatapan tajam. Michele dan Dhea bersamaan mengangguk.

Seperti itulah Handoko sikap tegas dan cara bicaranya selalu membuat orang-orang disekitarnya terkesima, dan itu ada pada putranya yang kini berdiri di belakangnya. Andini melirik sesaat kearah Jonathan namun dengan cepat kembali menatap Handoko khawatir Jonathan menangkap dirinya tengah menatapnya.

"Saya mau istirahat. Jo kamu antar mereka yah." Handoko tersenyum, Jonathan mengangguk.

"Terima kasih Pak Han." Kata Andini.

"Sudah, sudah kamu tidak perlu berterima kasih kepada saya. Saya hanya pelantara Tuhan untuk bantu kamu." Handoko mengibaskan tangan kanannya, Andini tersenyum ciri khas dari seorang Handoko, selalu seperti itu. Andini mengangguk, berdiri di ikuti Michele mendekati kearah Handoko. Michele menunduk mencium tangan laki-laki tua itu, Andini tak bisa mendengar pembicaraan mereka, wajah Michele berubah menahan genangan air mata di pelupuk matanya. Lalu ia berdiri, menarik napas dan menatap langit-langit ketika Handoko memerintahkan istrinya untuk membawanya ke tempat tidur.

Andini mendekati Michele meraih lengan kanannya, mereka tersenyum bersamaan, Dhea tak mau ketinggalan berdiri berjajar bersama menatap laki-laki tua itu berbaring di tempat tidur dibantu oleh istrinya tercinta.

"Papa harus banyak istirahat dan tak bisa terlalu lama duduk." Jelas Jonathan, ketiga spontan menatap Jonathan.

"Terima kasih Jo atas semuanya." Kata Andini.

Jonathan hanya tersenyum, mengangguk.

"Selamat datang di Jakarta ya Jo, maaf telat aku baru tahu kamu sudah kembali ke sini." Michele bangkit mendekati Jonathan.

"Tak apa-apa Cici, aku senang Cici sekarang udah jadi pengusaha sukses."

"Belum Jo, masih merintis."

"Hey, Cici punya beberapa toko di Jakarta itu keren. Aku? Belum apa-apa." Jonathan mengerling, Michele tersenyum. Mereka berjalan menuju pintu keluar. Andini dan Dhea mengekor, berjalan tanpa bersuara. Banyak hal yang kini ada di benak Andini, tentang amplop coklat yang kini berada di tangannya, pelaku utama dari semua kasus yang menimpanya. Andini yakin, ia akan menemukan semuanya, terutama dalang di balik kasus yang telah mencoreng nama baiknya.