Pukul 21.00 wib, Andini masih duduk di dalam ruang kerjanya. Tak bicara apapun, menatap kosong meja kantor dan sesekali memejamkan mata. Sepi, tinggal ia dan ditemani Dhea. Mereka duduk terpisah. Dhea berkali-kali mengintip dari luar ruangan. Lampu lantai satu sudah dimatikan, semua karyawan sudah meninggalkan kantor.
Hanya seorang satpam masih berdiri di luar gedung. Dhea tak bisa menunggu, sudah hampir enam jam semenjak Andini kembali dari Kantor pusat, ia tak sama sekali berkata apa-apa. Dhea membolak-balik Koran di tangannya dan mulai jenuh.
Chocolate panas sudah mendingin tak tersentuh sama sekali. Dhea membelikannya untuk Andini, biasanya Andini akan sangat senang dengan minuman itu tapi kini ia tak menyentuhnya. Dhea terlihat kesal, ia berdiri membanting Koran dan masuk ruangan.
"Mbak, ayo kita pulang. Istirahat di rumah lebih baik." Dhea masuk tanpa mengetuk pintu, Andini mengangguk.
Dhea mengambil tas laptop milik Andini yang tergeletak di samping meja, di cangklong ke pundaknya.
"Mbak.."
"Iya Dhea. Oke kita pulang." Andini mendesah, terlihat tak bergairah.
"Ini dibawa?" Dhea menunjuk minuman coklat diatas meja yang sudah dingin.
"Buang aja ya. Aku nggak selera."
"Mbak, Mbak ini kenapa seh. Kan semuanya masih belum pasti. Aku nggak percaya Mba. Semuanya pasti salah." Dhea memegang tangan Andini. Dingin..
Andini menutup wajahnya, dan kemudian terisak.
"Mbak Andin." Dhea menaruh kembali tas laptop di atas kursi dan serta merta memeluk Andini.
"Mbak pasti bisa. Mbak itu wanita kuat, kan Mbak yang mengajari aku untuk selalu tegar dan berkepala dingin menghadapi masalah kerjaan. Mana Mbak Andini aku." Andini makin terisak, tubuhnya terguncang.
Andini memeluk tubuh Dhea, erat, menangis. Teringat kejadian sore tadi setelah ia rapat tepatnya di introgasi oleh Dewan Direksi. Andini berusaha menepis kecurigaan yang belum pasti dalam benaknya. Tak seperti biasanya, sore tadi ia menyuruh Pak Nano sopirnya untuk menunggu di parkiran saja bukan seperti biasa di depan halaman gedung.
Andini keluar dari lift di lantai dasar parkir. Sosok lelaki yang sangat ia kenal tengah berada disana dalam mobil Mazda warna putih duduk di belakang setir dan tengah mencium kening seorang wanita, mesra, yah dengan mesra. Andini tak bergeming, lemas dan hampir saja tertabrak mobil lain jika saja Pak Nano tak memanggilnya.
Sosok itu sangat Andini kenal, tapi tak mungkin. Andini berusaha keras meyakinkan dirinya bahwa sosok itu bukanlah Raka, seseorang yang selama ini berada di hatinya. Bukan, aku yakin bukan. Bukankah banyak laki-laki di Jakarta memiliki postur tubuh yang sama. Aku mungkin salah, dia bukan Raka. Andini meyakinkan diri.
***
Sebulan, setelah pertunangannya dengan Raka. Andini harus dihadapkan dengan sebuah kejadian yang tak pernah dibayangkan sebelumnya dalam hidup Andini. Kasus yang kini tengah menimpa dirinya membuatnya dirinya tak lagi bisa fokus untuk mengurusi semua persiapan pernikahannya.
Namun Andini tetap saja berusaha untuk setenang mungkin menghadapi masalahnya. Bahkan kedua orang tuanya dan keluarganya tak pernah mengetahui masalah yang kini tengah dihadapi.
Raka, beberapa kali Andini menghubunginya dalam sepekan ini, namun selalu saja dibalas oleh Raka bahwa dirinya tengah sibuk dan memohon kepada Andini, untuk sementara mengurus semua persiapan pernikahan mereka.
Andini menatap kartu undangan yang kini berserakan di atas meja kerjanya di kamar apartemennya. Kartu undangan berwarna pink itu telah siap disebarkan, design simple dengan goresan tinta berwarna perak tak ada gambar apapun disana, Andini tipe wanita simple. Kartu undangan itu pun atas inisiatif dirinya dan Raka lebih mengikuti selera Andini.
Andini mendesah, menghempaskan tubuhnya di atas ranjang beralas kain dengan warna coklat muda bermotif garis-garis panjang warna putih. Dia mengangkat kartu undangan itu ke atas, di tatapnya dengan lekat " The Wedding, Andini Prameswari and Raka Wibisono"
Aroma vanili menyeruak dari pengharum di kamar tidurnya itu. Andini menghirupnya, memejamkan kedua matanya, sesaat. Mengenang akan perjalanan kisahnya dengan Raka. Seakan semuanya baru saja terjadi kemarin. Dan beberapa waktu kedepan dia dan Raka akan menjadi suami istri. Namun, kini perasaannya mengambang.
Dipandanginya kembali kartu undangan itu, kini posisi Andini menghadap ke kanan, tangan kirinya masih memegang kartu undangan itu, menghela nafas kemudian meletakkannya di sisi kanan tubuhnya. Andini meraih bantal, ditenggelamkannya wajahnya dalam bantal. Teringat sesuatu Andini langsung bangkit dari rebahnya, berjalan mendekati kalender di atas meja tempatnya bekerja.
Andini menunjuk angka demi angka yang berderet pada kalender. Ia mendesah lagi, sudah hampir dua puluh hari setelah rapat tertutup dengan dewan direksi, Andini masih saja khawatir memikirkan masalah itu. Tak akan seperti ini, kali ini Andini terlihat sangat khawatir. Permasalahan itu membuatnya tak bisa tidur dengan tenang.
Andini melangkah keluar dari kamar tidur, berbelok ke kanan. Ia menghampiri meja makan, meraih gelas dan menuang air putih dari teko, ditenggaknya. Ia tertegun tatkala tanpa sengaja kedua bola matanya melihat sesuatu yang aneh pada sebuah cermin yang tertempel di sisi dinding pas di hadapannya dekat dengan pintu keluar apartemennya. Yah sudah sangat lama sekali Andini tak pernah memperhatikan dirinya pada cermin itu.
Biasanya, hampir setiap hari ia selalu berdiri didepan cermin seukuran dirinya itu, memastikan dirinya terlihat rapi setiap kali ia hendak pergi meninggalkan apartemennya. Cermin itu sengaja ia pasang di sisi dinding sebelah kanan pintu keluar, agar ia bisa memastikan dirinya tampil rapi sebelum keluar.
Andini mendekati bayangan dirinya sendiri, ia menyentuh wajahnya dan masih tertegun. Tepat di bawah kedua bola matanya terdapat lingkaran hitam legam. Andini terbelalak, tak menyadari bahwa dirinya kini terlihat sangat menakutkan. Mungkinkah ini akibat beberapa malam terakhir penyakit tak bisa tidurnya kambuh lagi.
Yah, Andini menghabiskan malam-malamnya beberapa minggu terakhir di depan layar komputer, menyelesaikan semua pekerjaan kantor dan persiapan pernikahannya.
Tuuuuuttt …
Tuuuuutttt …
Tuuuuttt ...
Suara dering ponselnya mengagetkan Andini, ia berjalan masuk kembali ke kamar tidurnya. Sesaat kedua bola matanya berputar mencari asal suara, Andini lupa dimana taruh ponselnya. Ia berdiri di depan meja kerjanya, suara itu berhenti.
Tuuutttt …
Tuuuuttt …
Tuuuttt ...
Andini bergegas masuk kedalam kamar mandi, ia tersenyum sendiri ketika melihat ponselnya berada tepat di atas toilet, tadi pagi ia WhatsApp-an dengan Dhea. Dengan cepat Andini menekan tanda telepon berwarna merah, nama Mba Sara tertera di layar ponselnya.
"Assalamualaikum ,.. Mbak Sara Apa kabar?" jawab Andini.
"Waalaikumsalam ... Andini, kamu baik-baik saja?" suara Sara dari seberang telepon.
"Alhamdulillah Mbak."
Andini masih duduk di atas toilet.
"Aku di rumah Ibu, An." Sapaan kesayangan keluarganya.
"Iya Mbak, ibu sama ayah gimana Mbak? Maaf ya Mbak, aku nggak bisa pulang Insya Allah minggu depan."
"Enggak apa-apa An, ibu sama ayah baik-baik saja. Ini ibu mau bicara."
Andini menunggu ...
"Hallo, An. Apa kabar anakku?"
Andini terdiam, suara itu terdengar lembut di telinga Andini, ada sesuatu yang ia rasakan, kerinduan ya kerinduan akan pelukan sang ibu yang ia rindukan.
"Andini ... An ..." suara ibunya menyadarkan Andini.
"Iya Bu, An baik-baik saja bu. Ibu sehatkan?" Andini berusaha setenang mungkin dan menahan nafas, tak ingin ibunya mendengar desahan nafasnya.
"Alhamdulillah sayang. Bagaimana dengan pekerjaanmu?"
"Baik bu, semuanya baik."
"Jangan terlalu lelah ya An, jaga kesehatan. Jangan lupa makan tepat waktu, jangan sampai nanti kamu sakit pas acara pernikahan kamu karena terlalu lelah."
Ibunya selalu saja mengingatkan Andini ini, itu. Yah, ibu Andini merasa kalau Andini masih saja seorang putri yang harus sering di ingatkan. Dulu, ketika ibu selalu berbuat seperti itu pada dirinya Andini sangat tak menyukainya. Tapi kali ini, Andini sangat merindukan kalimat itu. Ia ingin sekali memeluk ibunya. Cairan bening menetes dari kedua kelopak mata Andini. Ia menyekanya dan kemudian menjawab teleponnya kembali.
"Ibu, jangan khawatir An baik-baik saja. Ibu jaga kesehatan ya. Kan semua persiapan pernikahannya udah di pegang sama EO."
"Syukurlah nak, beberapa hari ibu tak nyenyak tidur kepikiran kamu."
Deg!
Andini menekan dadanya. Inikah yang namanya telepati antara anak dan ibu. Memang benar ibu selalu peka tentang apapun yang terjadi pada anaknya. Andini berusaha untuk tetap tak memberitahu masalah yang kini tengah ia hadapi. Masalah pekerjaan yang selama ini menghabiskan tenaga dan pikirannya. Andini tak ingin semua keluarganya mengetahui, ia khawatir tentang kesehatan sang ayah. Toh masalahnya masih dalam penyelidikan belum terbukti.
"Jangan khawatir ibu, Andini baik-baik saja. Ibu doa kan Andini ya." Nada suara Andini terdengar keras, agar ibunya tak curiga bahwa kini ia tengah menahan, menahan sesak dan ingin sekali ia tumpahkan.
"Ibu ..." suara Andini melemah.
"Andini ... kenapa Nak?"
Andini terdiam sesaat ...
"An kangen sama ibu." Jawab Andini cepat, menyeka air matanya. Ia menengadahkan kepalanya menatap langit-langit toilet berusaha agar air mata itu tak tumpah dan berhasil.
"Ibu juga kangen sama An."
Suara parau sang ibu terdengar jelas di gendang telinga Andini.
"Nenek … ayo cepetan."
Terdengar teriakan suara si kecil Rangga.
"Iya ... iya bentar ya …"
"Nggak mau nenek, ayoooo"
Andini tersenyum mendengar suara keponakan semata wayangnya itu dari balik ponselnya.
"An, sudah dulu ya. Kami mau pergi, Rangga ngajak jalan-jalan nih."
"Iya Bu, salam buat semua ya."
"Assalamualaikum ..."
"Waalaikumsalam ..." jawab Andini.
Klik!
Pembicaraan selesai, Andini masih belum beranjak dari duduknya di atas toilet. Mendekap ponselnya dan kemudian tak bisa lagi menahan butiran air matanya.
Aku merindukanmu, Raka.
Bersambung ...