-Moirai Valentine-
Bagi seseorang yang tidak pernah berjumpa dengan jodoh kaya Maura, kencan pertama ini adalah pengalam satu-satunya yang patut dia banggakan, terlebih untuk anak cucunya kelak.
Tapi beda judul jika kencannya kali ini mirip dengan iklim alam yang tengah mengalami pemanasan global, pagi cerah, siang panas dan sorenya hujan.
Tidak konsensten!
--------------------------------
Setelah keluar dari gedung bioskop, keduanya kompak jika tujuan selanjutnya dalah kedai es krim. Matahari semakin terik, padahal seminggu lebih ini hujan selalu turun.
Maura menarik napas panjang, iris gelabnya mengamati pohon besar yang kokoh bediri di halaman kedai ini melalui kaca pembatas yang sedikit tebal.
Gadis itu jadi memikirkan bagaimana reaksi Mamanya yang kehilangan anak gadisnya, aka kabur. Walaupun hanya sebentar tetap saja namanya kabur.
Entah kenapa Maura merasa bersalah..
"Ini Es krim milikmu."
Suara Erlang yang tiba-tiba langsung membuyarkan lamunan Maura. Gadis itu mendongkrak, menatap semangkok es krim rasa Vanila dan strawberry pesanannya.
"Thanks." Maura langsung memakannya. "Enak," gumannya.
"Tentu saja, harganya mahal."
Maura mendenggus kesal, "Lo mau pamer, eh?"
Erlang terkekeh, "Mana ada."
Pria itu menertawakan dirinya sendiri saat mengingat cerita Maura tentang kejadian mereka terjebak di dalam kelas kosong malam hari, tentang ketakutannya pada sejenis makhluk tak kesat mata, dan tentu saja tentang dirinya yang pamer, menurut Maura.
Padahal seingat Erlang saat itu dia sedang melakukan negoisasi.
"Lo sama hantu aja pamer apalagi sama manusia." seru Maura mengingatkan.
Erlang tertawa, "Saat itu aku kira Lo itu hantu, makanya kaget. Selain itu penampilanmu juga mirip Mba kunti." Ia menujuk ke rambut Maura. Walaupun saat ini sudah di kepang dengan rapi.
Erlang tidak pernah memperhatikannya dari dekat, dan ternyata rambut Maura tidak sepenuhnya hitam. Ada sedikit helaian merah yang ikut terselip di beberapa bagian, ditambah lagi dengan cahaya matahari yang memantul.
"Apa yang-"
"Tapi tetap cantik," lanjut Erlang memotong ucapan Maura.
Muara yang tadinya ingin membentah langsung diam, lidahnya kelo tiba-tiba.
Sial!!
Maura menjerit dalam hati, jantungnya kembali berdegup tidak wajar, wajahnya menunduk menyembunyikan perasaan panas yang mendera wajahnya.
"Coba lihat, wajahmu merona? Kau tersipu eh?" goda Erlang.
Erlang pasti sengaja mengatakan itu.
Damn it!!
Maura bangkit dari tempat duduknya, bibirnya tertutup rapat menahan kesal sekaligus rasa malu yang menerjangnya secara bersamaan.
"Mau kemana?"
"Toilet!!" teriak Maura, kemudian berlari kearah samping kiri.
"Dia mau kemana? Toilet kan sebelah kanan?" gumam Erlang.
Tak berapa lama kemudian, Maura kembali melewatinya dengan tangan yang menutup sebagian mukanya. Gadis itu pasti sedang malu luar biasa karena salah tempat.
Erlangga mengedipkan matanya, mengamati Maura yang salah tingkah. Padahal baru di puji sedikit. Bibirnya terangkat keatas, tersenyum kemudian tertawa pelan.
"Dia unik," ucapnya tidak sadar.
--------Moirai Valentine--------
Erlang sedang mengamati ponselnya, menungu siapapun yang mau membuka obrolan di grub chatt mereka. Tapi kenyataannya hampir setengah hari ini tidak ada satupun chatt masuk, baik itu dari Bintang ataupun dari Gilang.
Alisnya langsung mengerut bingung, "Apa mereka sedang sibuk?" gumamnya.
Erlang sangat mengenal teman-temannya. Bintang walaupun masih perang dingin dengannya, pria itu masih sudi membuka obrolan di dalam grub kadang-kadang, walaupun hanya mereplay chatt dari Gilang.
Begitu juga sebaliknya. Dia juga kadang begitu. Alhasil Gilang gelebakan sendiri saat berada di antara dia dan Bintang yang berseteru.
Tapi khusus hari ini, rasanya wajar dia tidak memulai obrolan mengingat dia sibuk berkencan dengan Maura.
Beda dengan dua temannya itu. Weekend seperti ini biasanya mereka kebosanan di rumah, jika tidak ketemuan paling tidak ribut di grub. Itu sudah menjadi agenda tiap minggu.
"Apa ada tugas dari sekolah?"
Erlang mengingat-ingat lagi, dan tidak ada tugas sepanjang minggu ini. Pria itu mengelingkan wajahnya dengan cepat, rasanya juga mustahil jika meraka mengerjakan soal.
Kalau Gilang masih mending, Lah Bintang? Pria itu lebih memilih tidur dari pada repot mengerjakan tugas.
Entah keajaiban apa yang membuat dia berada di posisi dua setelah dirinya.
"Erlang.."
Erlang mengalihkan pandangannya. Maura berdiri di samping dengan membawa seorang bayi. Gadis itu tampak kesusahan karena menggendong sekaligus membawa tas di tangan kananya.
Tunggu..
Bayi?
Erlang melotot, "Lo nyulik bayi?" tuduh Erlang.
"Sembarangan!" Maura mendenggus, ia menyerahkan tas yang berisi perlengkapan bayi ke Erlang, "Tolong bantu bawa ya … berat ini."
Erlang masih penasaran, ia membantu membawa tas itu dan meletakkannya di kursi kosong di samping. Iris kelabunya mengamati sosok bayi cantik yang ada di gendongan Maura.
"Bayi siapa?"
Maura menganghabiskan es krimnya, "Bayi orang lah."
"Err … maksudku, ini kenapa bayi orang nyangkut di sini." Erlangga tidak bisa mengatakan istilah yang tepat untuk sosok bayi menyebalkan yang secara tidak sengaja mengganggu kencannya.
"Mamanya tadi di toilet, minta tolong katanya dia mau buang air besar dulu." Maura menjelaskan.
"Terus Lo mau bantu dia? Kalo orang itu penipu gimana? Dia nuduh lo nyulik anaknya."
Erlang bukan orang baik, dia juga sadar itu, dan menurut perkataan Gilang dan Bintang jauh sebelum mereka memulai teruhan mereka. Ia mengetahui jika Maura itu wanita polos yang kelewat baik.
Tapi menurut Erlang, gadis itu bukan terlalu baik, tapi polos hampir mirip bodoh, kampret!
"Mending balikin lagi nih bayi." saran Erlang.
Maura menghela napas berat, "Nanti Mamanya juga muncul, kita tunggu aja."
Akhirnya Erlang mengalah dan ikut menunggu. Sampai dia tidak menyadari jika jauh di luar kedai ada tiga kepala yang mengamati mereka sedari tadi.
Mereka mengenakan pakaian biasa dengan hoodie yang menutupi kepala, padahal cuacanya sangat panas.
"Kan gua bilang, gak balakan terjadi apa-apa. Lo aja yang terlalu parno!" seru pria yang menganakan hoodie biru malam pada temannya.
Sedari tadi dia cukup kepanasan mengikuti saran teman kempretnya. Keringat yang bercucuran sudah melebihi batas wajar, dan sialnya mereka hanya diam di luar tanpa ada niatan sekalipun masuk, padahal di dalam lebih adem.
"Tunggu bentar, aku yakin kalo gak ada tuh bayi. Dia pasti sudah macam-macam sama Maura." Serunya tidak kalah menyakinkan.
Bahkan pandangannya tidak pernah lepas menatap kedai es krim sejak mereka memasuki tempat itu.
"Ok, pertanyaan ku, kenapa harus bayi? Lo gak ada ide lain apa. Lo kan pinter? Dasar Bintang kampret!"
Pria yang di panggil Bintang menoleh, "Memangnya Lo ada ide lain apa? Jangan sok pintar Lo Gilang! ingat posisimu masih di bawah gua."
Gerr…
Kalau bukan sahabatnya, sudah sejak tadi dia mengubur Bintang hidup-hidup. Ide kampretnya untuk mengawasi diam-diam adalah yang terbruk.
"Ada atau tidaknya tuh bayi, Erlang gak mungkin macam-macam. Lo ingat kan dia Cuma cinta sama Sella. Gitu aja gak paham."
"Berisik Lo G! diam aja."
"Err … anu, maaf itu bayi saja aman-aman saja kan sama mereka?" tanya satu-satunya perempuan yang sedari tadi hanya diam mendengarkan dua rekan dadakannya.
"Anu, pinjam bentar lagi, Mba. Nanti dibalikkan kok, aman." Gilang memberikan penjelasan dengan ramah.
'Siapa yang punya ide siapa yang turun tangan, Bintang sialan!!
Bersambung…