-Moirai Valentine-
Jadi orang penengah itu gak gampang, lebih bayak apesnya ketimbang beruntungnya.
Teman kejepit yang lagi apes-apesnya diajakin jadi detiktif kelas teri.
--------------------------------
Gilang tidak tau apa yang ada di dalam otak seorang Bintang Pradipta. Setelah seminggu full tidak bicara dengannya, tadi pagi bocah tengik itu datang ke rumahnya.
Tak tanggung-tanggung, pria itu bahkan meminta bantuannya untuk mengawasi jalan kencan dadakan si Erlang dan Maura.
Menurut teori yang tidak tau datangnya dari mana, Bintang sangat yakin jika mereka tidak diawasi langsung maka akan terjadi hal-hal yang tidak di inginkan dalam tanda kutip.
Sahabatnya itu bahkan tidak memahami perasannya yang sudah ada niatan untuk tidur sepanjang siang ini, mengingat hari ini adalah weekend.
Alhasil, di sinilah dia. Jadi detiktif kw yang mengendap endap mengamati sepasang muda-mudi yang sedang berdebat di dalam, dengan seorang bayi di gendongannya.
"Lo gak beneran suka sama Maura bukan?" entah kenapa saat itu pikiran tentang Bintang yang cemburu langsung terlintas di benaknya.
"Gak lah!! Aku cuma kasihan sama dia, bahaya kalo dia beneran menganggap Erlang serius."
Mungkin menurut Bintang, Erlang terlalu jahat karan memainkan perasaan Maura. Tapi menurut Gilang yang lebih jahat itu adalah Bintanng sendiri, toh orang dia yang mengusulkannya kan?
"Ngomong-ngomong tentang Erlang sama Maura. Lo gak beneran tunangan kan sama Sella?"
Bintang menggeling, "Gak itu Cuma akal-akalan Gua doang biar Erlang kesal." Pria itu terkekeh pelan. Ia melirik ekspresi Gilang yang mematung.
"Gi, becanda doang Gua itu." seru Bintang.
Kampret!!
Gilang mendenggus kesal, "Candaan Lo gak asik, asli!"
Gila aja, gara-gara candaan versi Bintang, ia ketar ketir lari ke sana kemari demi memadamkan api perang dingin yang berlangsung seminggu ini.
'Bintang gak ada akhlak memang!!'
Gilang mengusap wajahnya kasar. Perdebatan demi perdebatan kembali mewarnai aksi menguping mereka sedari tadi sampai suara seseorang mengintropeksi mereka.
"Err … anu, maaf itu bayi saya aman-aman saja kan sama mereka?" tanya satu-satunya perempuan yang sedari tadi hanya diam mendengarkan dua rekan dadakannya.
"Anu, pinjam bentar lagi, Mba. Nanti dibalikkin kok, aman." Gilang memberikan penjelasan dengan ramah.
'Siapa yang punya ide siapa yang turun tangan, Bintang sialan!!
---------Moirai Valentine------
Erlangga menatap arlojinya, ini sudah cukup lama mereka menunggu si orangtua bayi itu keluar dari toilet, tapi kenyataannya tidak ada apapun sejauh ini.
Pria itu sesekali mengamati Maura yang asik bersanda gurau dengan bayi di gendongannya.
Ia mengerutkan alisnya, ingin tersenyum juga tapi dia tahan. Padahal wajah bayi kecil itu sangat cantik. Rambut merah kecoklatan dengan bibir tipis dan juga kelopak mata yang sipit.
Kulitnya sangat putih, hampir menyurupai kulit pucatnya. Jelas berbeda dengan Maura, yang sedikit gelab.
"Maura!"
Gadis itu mendongkrak, "Kenapa?" tanyanya.
"Ini sudah lebih dari sejam, dan si ibu bayi itu tidak ada tanda-tanda dia akan muncul."
Maura melirik jam di ponselnya, ia mengangguk membenarkan. Melirik ke arah toilet, rasanya mustahil ibu itu belum selesai.
Maura menghela pelan. "Aku cari dulu ya, titip bayi ini bentar."
Maura bangkit dan mendekati Erlang agar ampunya mengambil bayi di gendongan Maura.
Erlang bereaksi berlebihan, "Aku gak bisa dan gak pernah ngurus bayi." serunya cepat.
Erlang menolak dengan keras, seumur hidupnya dia tidak pernah bersentuhan dengan yang namanya bayi.
Ibunya anak tunggul begitu pula dengan Ayahnya. Jelas ia tidak meliliki saudara dekat yang berwujud bayi baik itu dulu dan sekarang.
"Gendong bentar Lang, sementara aku cariin Mamanya."
"Gak bisa, Ra! Lo mau bunuh gua apa, gak!" Erlang menggeleng keras. Membayangkan menyentuh bayi saja tidak pernah ada dalam pikirannya.
Maura mendesis kesal, bibirnya memayun. "Bentar doang, Erlangga Lorenzo. Gak sampai sepuluh menit juga!"
"Kenapa gak Lo bawa aja, sekalin kalo ketemu Mamanya ya tinggal berikan beres."
"Lo tega liat aku bawa-bawa tas sama bayi kesana kemari? Atau gini aja Lo ikut aku ke toilet sekalian bawa tasnya."
"Gak!! Secara tidak sengaja Lo sama aja nyuruh aku masuk toilet cewe, gak akan pernah!"
Maura sudah putus asa. Menerima bayi itu memang salahnya, tapi kan setidaknya teman kencannya itu menolongnya, tidak banyak ya sedikit juga tidak apa-apa.
Seperti mengantikannya menggendong bayi misalnya.
Melihat ekspresi Erlang yang pucatnya dua kali lipat dari keadaan warna kulit aslinya membuat Maura menghela berat.
"Lang, gendong aja kok ya, dia juga gak rewel. Bentar aja, sekalian latian. Siapa tau suatu sat lo punya bayi, dan istri lo sibuk." bujuk Maura setengah berbisik.
Erlang masih mengeling, "Gak mau. Kalo pun aku punya bayi, itu masih dua puluh tahun lagi, gak sekarang." ketusnya.
Maura sudah keabisan akal sekaligus jengkel. Bahkah Gio sepupu tukang palaknya itu tidak keberatan dititipi adik kecil yang cerewetnya minta apun.
"Terserah!! Jujur aja ya aku kasian sama nasib wanita yang akan jadi istri Lo nanti." Maura menarik tangan Erlang dengan paksa. Meletakkan bayi itu pada Erlang.
"Jaga bentar!!"
"Yah!! Maura!!" teriak Erlang tidak setuju.
Setelah mengatakan itu Maura bergagas ke toilet, ia tidak memperdulikan Erlangga yang menganga tidak elit.
Mau tidak mau ia terpaksa membawa bayi yang tiba-tiba menangis karena teriakan Maura.
Damn it!!
-------Moirai Valentine--------
Suara hak sepatu berkelotak di sepanjang koredor sempit menuju toilet. Pengunjung tidak sebanyak tadi siang, hampir tidak ada satu orangpun yang berpapasan dengannya ke arah toilet.
Maura membuka pintunya dengan perlahan. Iris hitamnya menangkap satu bilik yang masih tertutup.
Maura mendekatinya, mengetuknya sebentar. "Permisi, Nyonya ... ini saya yang tadi di titipi bayi anda."
Tidak ada jawaban. Bahkan tidak ada tanda-tanda jika seseorang tengah menempati bilik tersebut.
"Err … Nyonya?" seru Maura, mulai panik.
Maura membuka pintunya dengan perlahan. Matanya langsung melotot saat tidak menemukan siapapun di balik bilik itu.
Degh..
Maura berlari, mengecek satu persatu bilik lainnya, berharap menemukan sosok ibu si bayi. Paling tidak si ibu pingsan, tapi faktanya memang tidak ada tanda-tanda seseorang di toilet itu selain dirinya.
'Apa ini?'
Maura berlari ke luar toilet, ia bertanya ke resepsiones dan juga penjaga kasir. Tapi tidak ada yang menjawab sesuai dengan harapannya.
Akhirnya Maura berjalan lesu dengan wajah pucat mendatangi Erlang. Ia menatap punggung pria itu yang tengah menggendong sang bayi dengan tenang. Padahal tadi jelas menolak mati-matian.
"Erlang.."
Pria itu menoleh, wajah pucatnya masih sama seperti yang tadi, bahkan bertambah pucat.
"Ibunya ketemu?"
Maura mengeling, ia berjalan mendekat. "Gak ada Lang, gak ada siapapun di toilet."
Degh..
Maura menceritakan semua yang dia alami tadi pada Erlang.
"Lo yakin dia manusia bukan?" tanya Erlang. Ia melirik bayi di dalam gendongannya dengan tatapan horor.
"Lo masih takut?"
Erlang mengeling, bukan itu masalahnya. Pria itu menghela napasa berat, menatap Maura dengan tatapan putus asa, "Err … Maura, kayanya aku punya masalah besar."
Maura mengerutkan alisnya bingung. Ia mengikuti arah pandang Erlang, tepat di bawah. Matanya melotot, ingin tertawa dan meringis seketika.
"Bayinya ngompol." Maura berseru sementara Erlang mengumpat kasar.
Bersambung…