-Moirai Valentine-
Pengertian perang dingin menutut Gilang Jupiter adalah keadaan genting yang melanda suatu suku atau negara dalam hal ini dua temannya yang saling menatap satu sama lain.
Tidak ada gambaran lain yang lebih menegangkan dari flim di bioskop.
---------------------------------
Sepeninggalnya Maura, keheningan masih masih berlanjut. Bintang masih dalam posisinya. Mengepal erat dengan raut tidak bisa terbaca.
Erlang berdiri dari posisinya semula, menepuk pelan seragamnya yang sedikit berdebu.
Belum sempat ia bicara, Bintang langsung meraih kerah bajunya. Menariknya dengan kasar. "Apa yang kau lakukan Erlangga!!" teriak Bintang.
"Apa masalahmu!!" Erlang balik melawan.
Dia tidak atau alasan Bintang langsung menyerangnya. Padahal seharusnya dialah yang kesal mengingat peristiwa tadi malam.
"Wowo.. santai Bro, santai." Gilang menarik Bintang, meminimalkan adegan yang tidak diharapakan di antara kedua sahabatnya.
Dengan sudah payah ia memisahkan Bintang dan Erlang, "Tenang, ok. semua bisa kita bicarakan dengan baik-baik. Ingin ini perpustakaan dan satu lagi, kalian itu bersahabat."
Gilang memang masih ragu jika penjaga di depan mendengar perterngkaran dan teriakan mereka. Mengingat tempat ini luar biasa luasnya.
Gilang hanya mengambil cara aman, sebentar lagi mereka akan lulus. Kan tidak lucu mereka mendapatkan masalah di saat-saat penentuan kelulusan.
Erlang mendecih kasar, ia melepasakan cengkraman Bintang, "Tidak ada sahabat yang menikung temannya sendiri. Munafik Lo, Tang!!"
"Siapa yang menikung siapa!!"
"Pake nanya lagi!! Lo kan tau sahabatmu ini menyukai Sella, lalu kenapa kau merebutnya , hah!! Bertunangan? Ck! Yang benar saja!! Lo bahkan lebih buruk dari kedelai!"
"Erlang, jaga bicaramu. Kau sudah keterlaluan." Gilang berseru. "Ini hanya salah paham, Bro. kita bisa membicarakannya baik-baik, bukan dengan kekerasan." lanjutnya.
"Ck! Lo mendukung penghianat ini, hah? Padahal Lo juga ada di tempat kejadian." Erlang menunjuk Gilang dengan kasar, "Mata Lo sudah buta, eh sampai tidak bisa menunjukkan yang mana selingkuh yang mana hanya salah paham."
"Err.. bukan itu maksudku, Lang."
Gilang merasa serba salah. Ia melirik Bintang yang masih mempertahankan raut kesalnya.
Pertanyaannya yang sebenarnya apa yang menyebabkan Bintang marah besar? Tidak mungkin hanya tuduhan Erlang kan?
"Fine.." Erlang mundur beberapa langkah, ia meletakkan tangannya bersedekap. Alisnya terangkat, "Sekarang jelaskan sejelas-jelasnya."
"Katakan dulu apa yang baru saja kau lakukan dengan Maura." Seru Bintang.
Entah kenapa pembahasan tentang yang satu membuat Gilang berpikir sejenak. Jangan bilang Bintang marah karna kegiatan mereka tadi yang sepertinya habis melakukan sesuatu dalam tanda kutip.
Degh..
"Apa masalahmu. Apapun yang kami lakukan tidak ada urusannya denganmu, Bintang Pradipta." Erlang bergumam setenagh tertahan.
Bintang mendenggus, "Jelas ada hubungannya. Ini tentang taruhan kita, Erlangga."
"Kami berkencan, walaupun hanya sekedar taruhan tapi Maura tidak mengetahuinya bukan. Dengan kata lain kami tetap berkencan, tidak perlu aku jelaskan tentang hal-hal yang akan kami lakukan. Mau aku mencumbunya ataupun menidurinya itu bukan urusanmu."
Emosinya bangkit saat memandangi wajah Bintang. Seperti banyangan Sella yang sedang tertawa lembut dengan Bintang tadi malam menjadi penyebab utama meledak kekesalannya.
Bugghh…
Sebuah pukulan langsung menghantam Erlangga, "Brengsek kau Erlang!!" teriak Bintang.
Erlangga terhuyun kebelakang, pria itu mencecih kasar saat merasakan bibirnya sedikit perih. Belum sempat dia menguasaai keadaan, Bintang kembali menghantamnya, kali ini sedikit pelan dari yang pertama.
"Astaga!!" Gilang terdiam di tempat yang sama, kebingungan melandanya. Siapa yang akan dia bantu, Erlang atau Bintang?
Damn it!! Dua-duanya sahabatnya, kampret!!
"Woi, hentikan kalian berdua!!" tidak ada yang mengubris perkataan Gilang.
Bintang sudah berada di depan Erlang dengan pandnagan kasar dan kesal. Kemarahan terlihat jelas di wajahnya.
"Sudah kukatakan kau hanya boleh membuatnya jatuh cinta dan langsung kau campakkan. Aku tidak pernah memberimu izin untuk menyentuhnya, sialan!!" Bintang menarik seragam Erlang dengan kasar.
"Itu bukan urusanmu, Maura adalah teman kencanku saat ini, kau sama sekali tidak memiliki hak, penghianat!! Kau pikir aku tidak tau kau bertunangan dengan Sella, hah!!" Erlang mendorong Bintang yang sedang mematung dengan kasar.
Degh..
"Bertunagan? Kau bertunangan dengan Sella, Bintang?" Gilang terlihat sama kagetnya dengan pria itu. "Please, katakan ini hanya salah paham kan, Bintang, Erlang."
Erlang bangkit di susul Bintang yang sudah menurunkan level kemarahannya.
Pria itu menaarik napas panjang, menatap Erlang beberapa saat sebelum meledakkan bom dasyat yang membuat mereka syok.
"Yah, kami akan bertunangan."
"Shitt!!"
Erlangga tidak mendengarkan apapun lagi. Pria itu mendorong kasar bahu Bintang, meninggalkannya dengan Gilang yang masih melotot.
"Katakan ini hanya lelocon, Bintang." Gilang mendekati Bintang saat Erlang sudah menghilang di balik rak-rak besar yang menjulang.
--------Moirai Valentine----------
Maura berlari menyusuri Koredor yang terlihat semakin panjang dibandingkan biasanya. Derap langkah sepatunya menggema di sepanjang lantai keramik yang mengkilat.
'Sial.. sial!! Ahhh..'
Sudah tidak terhitung lagi Maura mengumpati dirinya sendiri. iris gelabnya mengamati keadaan sekitar.
Tidak ada siapapun yang melintas. Siswa-siswa lain sepertinya sedang menghabiskan makan siang mereka di Kafeteria.
Maura menarik napas panjang, menahannya beberapa saat kemudian menghembuskannya dengan perlahan. Aliran darahnya sudah stabil, hanya dekupan jantungnya yang terlihat masih tidak berubah.
Damn it!!
Apa yang baru saja mereka lakukan? Tadi itu sudah nyaris.
Maura mengelingkan kepalnya, rasa panas kembali menyusup saat ingatan tentang kejadian tadi terulang di dalam memorinya. Maura yakin jika wajahnya saat itu bahkan lebih merah dari kepiting rebus.
Maura menggingit bibirnya langkahnya terhenti di dekat aula besar, segerombolan anak-anak pria sedang menatapnya.
Netra mereka saling bertabrakan, dilihat dari serangannya mereka berasal dari asrama phoenix. Pantas saja, di jam istirahat mereka masih berkumpul di depan aula besar.
"Woo.. siapa ini, si seksi Maura, bukan?" seru seseorang di anataranya. Yang lainnya langsung tertawa.
Siulan-siulan nakal membuat Maura menunduk malu sekaligus kesal. Ia menyembunyikan wajahnya dengan rambut yang terurai, lalu berlari dengan cepat.
Langkah kakinya membawa Maura menikung ke arah koridor menuju toilet. Saat ini dia membutuhkan waktu sendirian, setidaknya sampai rasa malunya menghilang.
Pintu terbanting menutup di belakang Maura. Gadis itu langsung berhadapan dengan deretan wastafel dan cermin besarnya.
Maura memperhatikan penampilannya, matanya melotot sempurna. Pantas saja anak-anak asrama phoenix menggodanya tadi.
Penampilannya saat ini sangat kacau, persis seperti wanita nakal. Dua kancing yang terbuka, rambut tergerai dengan peluh yang bercucuran di sekitar pelipis dan lehernya.
'Apa karna Ac di perpustakaan tadi mati?'
Seragamnya menambah daftar lain yang membuatnya semakin panas. Sebagian basah oleh keringat, dan membuat kainnya melekat, transfaran di beberapa bagian.
"Daman it!!" Maura berteriak frustasi.
Kali ini dia tidak memiliki muka lagi untuk sekedar berhadapan dengan Erlang dan juga semua anak-anak asrama phoenix.
"Please, jangan sampai ketemu sama mereka lagi, ahhh…." teriaknya kesal.
Bersambung…