-Moirai Valentine-
Hal yang terduga bisa muncul di tengah-tengah laut adalah kemunculan pulau baru. Sedangkan hal yang muncul tidak terduga di antara pria dan wanita adalah rasa suka dan rasa cemburu.
------------------------------------
Bell istirahat baru saja berbunyi. Sekelompok siswa langsung berlomba-lomba keluar kelas menuju kafetaria. Lorong panjang yang tadinya sunyi langsung berisik seketika dengan celotehan mereka.
"Gimana tadi? Apa lo dihukum?" Gilang membuka suara saat mereka beriringan di koridor menuju kelas. Bintang membuntuti di belakang dengan diam.
Erlang mengangkat bahunya sambil mendenggus pelan. Dia baru saja terbebas dari teriakan kepala asrama yang mengintrogasinya bak penjahat kelas kekap. Padahal dia hanya tidak berada dalam asrama saat jam yang ditentukan.
"Mustahil pria tua itu tidak menghukum seseorang yang ketangkap basah muncul di pagi-pagi buta."
Erlang tidak tau kesialan apa yang menimpanya sampai ia tidak bisa masuk menyusup ke asramanya. Rencana awalnya simple, setelah menhantar Maura ke asramanya, dia akan menghubungi Bintang atau Gilang untuk menolongnya membukakan pintu yang dikunci dari dalam.
Tapi malangnya ia lupa membawa ponsel dan berakhir meringkuk di depan luar sampai kepala asrama memorgokinya.
Erlang menghela napas berat, gara-gara itu juga ia harus mengikuti ujian susulan nantinya.
"Ya siapa tau kan. Lo anak emas, rasanya gak adil jika anak emas di hukum." Gilang setengah terkekeh, "Ah, apa itu benar? Tentang lo dan Maura yang menghabiskan malam bersama?" lanjutnya tiba-tiba.
Erlang sontak menghentikan langkahnya. Kini mereka berada tepat di depan perpustakaan. Suasananya berubah tengang.
"Apa maksudmu?"
"Siapa yang bilang mereka menghabiskan malam bersama?" Bukan Erlang yang membentaknya, tapi Bintang.
Gilang mengerutkan alisnya begitu pula dengan Erlang yang sudah membuka mulutnya untuk membentah pertanyaan Gilang. Kini mereka menatap Bintang yang melotot.
"Err.. itu benar kan?" Gilang melirik Erlang sambil menggaruk tengkuk bagian belakangnya yang tidak gatal.
"Iya dan tidak.." jawab Erlang santai.
"KAU!!" teriak Bintang, pria itu semakin melotot bahkan wajahnya memerah menahan amarah yang tidak diketahui sumbernya.
"WOWW!! Gua gak tau kalau sahabatku ini sudah dewasa." Gilang tertawa lepas dengan menepuk pundak Erlang dengan bangga. Sedangkan ampunya memutar matanya bosan.
Teman-temannya sedang salah paham.
"Stop!!" Erlangga mengangkat tangannya, "Ini gak seperti yang kalian pikirkan. Maksudnya, tidak terjadi apapun di antara kami tadi malam. Dia datang ingin mengambil sesuatu dan begitu pula denganku yang datang hanya untuk mencari buku milik Sella, Ok. Intinya kami terlambat keluar karena penjaga sekolah memorgoki kami, tidak lebih." Erlangga menjelaskan.
Bintang dan Gilang saling memandangi salama beberapa detik, kemudian mengangguk paham.
"Sekarang yang ingin gua tanyakan, kenapa lo pada bisa tau tentang kami?" tanya Erlang. "Dan Lo, Lang. kenapa kau membentakku hanya karna kabar hoaxs, hah?"
Rasa curiga dan keanehan langsung menghujami pemikiran pria tampan itu. Pasalnya sejak tadi Bintang hanya diam dan beberapa kali mendenggus saat mereka menorgogi Maura yang tengah berpelukan dengan pria lain.
'Apa dia cemburu?' pikir Erlang dalam hati.
"Ah, i-itu.."
"Bintang!"
Seorang wanita cantik berlari kearah mereka dengan wajah lelah dan keringat tipis yang bersarang di dahinya.
'Sella?' Pikir Erlang dalam hati. Wanita itu Sella, wanita cantik yang selalu mengisi otaknya.
"Bintang! Bisa minta tolong sebentar, please." Tanpa menunggu jawaban pria itu. Sella langsung menarik tangan bintang kearah berlawanan dan meninggalkan Erlang dan Gilang yang masih mematung di tempat.
"Wow, kejutan yang lainnya lagi." Gilang bergumam pelan sambil melirik Erlang yang sudah tegang di tempat. Dia jadi tegang sendiri saat terjepit dengan situasi dua arah yang aneh.
'Kenapa Sella memanggil Bintang? Kenapa bukan dia?' mungkin itulah yang tengah dipikirkan oleh seorang Erlangga.
Gilang menghela pelan, ia menepuk lembut pundak sahabatnya sampai ampunya menoleh.
"Sepertinya kita membutuhkan es, mau ke Kafeteria?" tanyanya.
****Moirai Valentine****
-Kafeteria, 11.45 Am. Cuaca cerah berawan.
Suasana bising dan ramai sudah mulai mendominasi saat Maura baru saja sampai. Iris sekelam malamnya langsung menemukan di mana pasukan kampretnya berada.
Seperti biasa, Luna dan teman-temannya mengambil meja panjang yang mampu menampung pasukannya di tengah-tengah Kafeteria. Bahkan suara mereka terdengar paling nyaring di antara anak-anak dari asrama lain yang juga sedang makan.
Maura menghela pelan sambil melangkah cepat menyusul mereka.
"Sudah datang?" seru Luna.
Maura mengangkat alisnya tanpa menjawab. Penampilannya sudah membaik karena sebelum kemari ia sudah terlebih dahulu bercermin menghilangkan bekas tangisannya tadi.
"Kami sudah memesan makanan kesukaanmu."
Mira meletakkan sebuah napan yang berisi lauk dan makanan kesukaannya.
"Thanks!" seru Maura.
"Dari mana aja lo? Kok lama?" tanya seseorang.
Maura menarik pelan kursinya sambil mendongkak dan menemukan si Gio. Sepupunya itu duduk bersebrangan langsung dengannya.
Maura mengangkat alisnya tinggi-tinggi, jangan salahkan dia jadi sensi ke Gio. Ini semua gara-gara pembincangannya dengan si Bara tadi.
"Kenapa lo di sini? Asrama lo tuh di sana!!" Maura menunjuk kearah segerombolan anak-anak dari asrama Pegaseus yang entah kenapa sedang menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa ia baca sama sekali.
Degh..
Maura langsung memutuskan tatapannya dengan cepat.
"Suka-suka gua dong.. orang belanja duit-duit gua, ya gak teman-teman?" Gio malah mencari dukungan dari teman sekelasnya Maura yang hampir semuanya cewe.
Ya, jelas mereka mengangguk setuju orang Gio ganteng juga, walaupun otaknya rada-rada aneh bin ajaib.
"Gak papa kok, Ra. Lagian kalo ada Gio, meja kita terlihat lebih berwarna."
Sudah terduga..
Selain ganteng sepupunya itu juga berasal dari asrama Pegaseus. Setidaknya satu tingkat dari asrama mereka. Masa depan mereka pasti terjamin karna bisa langsung memasuki kemantrian setelah mereka lulus nanti.
Gio mengangkat bangunya bangga kearah Maura.
"Gio yang mentraktir kita semua untuk hari ini. Sekalian katanya dia mau mengawati gerak-gerik lo, Ra." Luna berseru tiba-tiba langsung membuat Gio mendecak kesal seraya menatap tajam kearah pacar temannya itu.
"Lo ya Lun!! Mulutnya lebih ember dari tong bocor, asli!!" gerutu Gio.
Luna mengangkat bahunya acuh, kemudian dia langsung melanjutkan kegiatan makannya yang tertunda. Tidak peduli dengan Maura yang sudah menatap tajam penuh penghakiman kearah Gio.
"Kau mengawasiku?" sentak Maura setengah berteriak.
"Apa sih, gak gitu juga kali. Lo percaya aja sama si Luna." Gio berusaha menyengkal.
Maura memutar matanya bosan. Penyengkalan yang tidak ada artinya. Ia membuka mulutnya, berniat untuk mengumpati sudara sepupunya itu dengan kasar, hanya saja suara lain membuatnya mendongkrak seketika.
"Lo Maura bukan?"
Baik Maura maupun teman-temannya langsung menatap kearah sumber suara itu.
Alisnya terangkat pelan saat menatap sekelompok adik tingkat yang duduk tepat di sebelah meja mereka, menatapnya curiga. Tiga wanita dan dua laki-laki. Mereka dari asrama Libra, Maura mengenali salah satunya yang sering berpapasan di pintu masuk.
Maura mengangguk membenarkan. Dia bukan siswa populer tapi untuk sekedar mengetahui nama, rasanya tidak ada yang aneh. Terlebih lagi dengan fakta mereka satu asrama.
"Err… halo," gumam Maura canggung. Dia tidak terlalu bisa berinteraksi dengan orang lain selain teman-temannya.
"Iya kamu yang tadi malam berduan sama Erlangga Lorenzo di depan asrama Libra, benar kan?" seru yang satunya lagi.
Suara kencangnya membuat beberapa siswa lain mendongkrak ke arahnya dengan raut membingungkan, syok dan menghentikan kegiatan mereka. Ada yang menganga lebar, ada yang menghentikan kunyahannya, ada yang berkedip dan ada yang mematung di tempat dengan napan yang sudah terjatuh dari tangannya.
Sial..
Bersambung…