-Moirai Valentine-
Diamnya Emak itu lebih menakutkan ketimbang di hukum guru pas ketahuan mencontek jawaban teman sebangku. Ditambah lagi jika diamnya itu di sebabkan oleh hal memalukan.
Putri yang tercibuk pacaran di depan emak sendiri, padahal semuanya hoax.
------------------------------------
Muara tidak tau suasana apa yang kini sedang melanda sekelilingnya. Di tengah keramaian minimarket yang membahana, dia merasa kesepian.
Ibunya lebih memilih mendiaminya dengan kata lain. Wanita lemah lembut itu memilih bicara panjang lebar pada pria tampan yang di seret untuk mengikuti mereka.
Erlangga Lorenzo.
Maura tidak habis pikir kenapa kata-katanya selalu di potong dengan mulus oleh ibunya. Bahkan sebelum suaranya keluar. Salahnya apa di sini?
Maura menghela napas panjang, menatap waspada pada ibunya yang saat ini sedang menggenggam tangan Erlang dengan erat, meremasnya pelan seolah sedang menjaganya dari serangan luar.
Anak laki-laki sepertinya lebih menarik perhatian ketimbang putrinya sendiri berdiri di belakang, yang saat ini lebih mirip pembantu yang mendorong troli ke arah kasir.
Pertanyaan sebenarnya siapa yang anak ibunya?
Kampret!!
"Jadi Erlang dari asrama phoenix? Orang kaya dong." Seru ibunya antusias, bahkan tidak memperdulikan keadaan Erlang yang cenderung merasa kaku di sampingnya.
"Ma!!" protes Maura.
"Pintar juga ya? Kata orang anak-anak dari asrama phonix hampir semuanya pintar," lanjut ibunya tanpa memperdulikan protesan Maura.
"Err.. gitu tante." Ucap Erlang canggung. Pria itu sesekali melirik Maura.
"Bagus dong, semoga bisa nular ke cucu Tante nantinya."
"Ma!!" teriak Maura.
Sial.. sial..
Ibunya benar-benar termakan gosibannya si Gio yang sangat jauh dari kata kebenaran. Jika terus di biarkan seperti ini dia yang akan kena malu, damn it!
"Erlang, Lo mau cari kopi kan? Cari sana di dekat rak sereal, mumpung lagi diskon." Seru Maura asal, berusaha mengusir Erlang dengan cara paling halus.
Gadis itu melotot ke arah Erlang yang sedang menatapnya bingung. Jika pria kampret itu sepintar yang dia banggakan harusnya dia paham kode-kode ngeles ala anak-anak yang sedang kejepit.
"Aku gak-"
"Ini seriusan diskon lo!!" Maura semakin mengeraskan suaranya. Ia mendorong kecil tubuh besar Erlang agar ampunya paham.
"Erlang suka kopi?" tanya ibunya.
"Gak, tant-"
"Suka!! Suka bangat malah!! Tuh di tangannya ada kaleng kopi bukan." Potong Maura cepat.
Ibunya menatap kearah tangan Erlang, kemudian mengangguk paham. "Gimana kalau Tente yang ambilkan?"
Belum sempat Maura mencegah, ibunya sudah menghilang meninggalkannya seraya menyerahkan beberapa lembar uang ratusan. Melongo tidak tau harus mengekspresikan tingkah absurt ibunya yang kelewat aneh.
Yang harusnya pergi itu si Erlang, biar ibunya tidak bicara yang aneh-aneh lagi tentang mereka.
Maura mengusap wajahnya kasar, sepertinya statusnya ketukar dengan ibunya.
"Selanjutnya.." Suara penjaga kasir langsung membuyarkannya tiba- tiba.
"Biar ku bantu."
Erlang mengambil alih troli itu dari Maura, mendorongnya pelan ke arah kasir. Meletakakn barang-barangnya tanpa canggung ke atas meja kasir, walaupun ada beberapa bungkus pembalut yang di beli tadi.
"Pengantin baru?"
Maura mendongkrak ke depan. Iris gelabnya menangkap sosok wanita dewasa yang sedang menghitung belanjaannya.
"Masih muda, gak nikah karna insiden bukan?" lanjutnya.
Maura mengelingkan kepalanya dengan cepat, "Bukan suami saya," gumamnya cepat.
Dapat bisikan dari mana wanita di depannya sampai mengira dia dan Erlang pasangan pengantin baru.
"Bukan ya, dikira suaminya tadi."
Situ yang sok tau!!
Ingin rasanya Maura berteriak kesal, hanya saja karna wanita itu seumuran dengan ibunya, ia mengurungkan niatnya. Bukan apa-apa, cuma takut kualat.
Kutukannya sudah terlalu banyak ia sandang.. jangan di tambah-tambah lagi.
Maura menghela napas berat sambil meliring Erlang yang sedari tadi mengamati bungkusan permen di depannya. Alisnya terangkat bingung, kemudian mengdenggus tidak peduli.
"Satu lagi, Maura." Ibunya datang tepat saat sang kasir hampir membungkus belanjaannya.
Setelah semuanya selesai, Erlang berinisiatif membantu membawakan kantong belanjaannya. Maura memutar matanya bosan. Sepertinya Ibunya lebih menginginkan anak laki-laki dari pada anak perempuan.
Nasib, kampret!
"Mau mampir kerumah dulu, Erlang? Kebetulan rumah kami tidak jauh dari sini." Seru Ibunya.
Maura langsung menatap nanar, bergantian kearah Erlang dan Ibunya.
'Jangan!!' serunya dalam hati.
Sudah cukup si Gio mengambil jatah makannya, jangan sampai pria di sampingnya juga ikut berkontribusi mengambil jatahnya.
--------Moirai Valentine----------
Sesampainya di rumah seperti yang di perkirakan oleh Maura. Ibunya langsung menyanjung-nyanjung Erlang seperti anaknya sendiri.
Belum lagi saat pria tampan itu dengan lihainya menyerang dapur. Laki-laki itu bergerak lincah, bahkan lebih piawai dari Papanya dalam mengurus dapur.
Apron pink kesukaan Ibunya dan terpaksa di gunakan oleh Papanya saat bertarung di sana, kini di kenakan oleh Erlang tanpa rasa canggung sedikit pun.
Maura mendenggus kesal, karna dia hanya bisa mengamati di meja makan dalam diam.
Rasa kesal bercampur kagum terlintas di benaknya saat pria itu mengambil spatula dari rak kitchen set. Lengan pucatnya tersingkap, menampakkan otot-otot yang kekar saat ia menarikkan pisau di atas talenan bak koki professional.
"Erlang benar-benar sempurna, dia bibit unggul."
Maura menoleh kesamping, dimana ibunya tersenyum sambil menopang dagunya.
Bagi Ibunya pria yang bisa memasak itu adalah pria baik yang sempurna untuk di jadikan pendamping, setidaknya begitulah Papanya.
"Ma, jangan memikirkan macam-macam. Papa sudah cukup sempurna untuk keluarga kita."
Maura tidak akan bernapas lagi jika Ibunya ingin menjadikan Erlang sebagai suami keduanya.
Bunuh saja dia sekalin dari pada punya Papa tiri yang seumuran dengannya.
"Siapa yang mau menggantikan Papamu, kamu jangan aneh-aneh lah. Maksud Mama, Erlang itu sempurna untuk calon menantu Mama kelak."
"Ma.."
Ibunya terkekeh pelan, ia bangkit dari kursinya mendekati Erlang yang terlihat fokos memasak.
"Erlang sudah terbiasa memasak di rumah ya? Kelihatan kok dari gerak-geriknya. Beda jauh dari anak gadis tante yang lebih suka delivery ketimbang memasak sendiri."
Bohong…
Justru mamanya yang sering delivery.
"Err.. sebenarnya gak kok Tante, malah ini pertama kali Erlang memasak, soalnya di rumah ada koki khusus."
"Ahh, masa?"
Erlang tersenyum tipis. Ia mengambil sedikit kuah dari panci yang mendidih kemudian menyuruh ibunya untuk mencicipinya.
"Gimana Tan?"
Maura langsung bangkit dari tempatnya dan ikut menyusul ibunya yang terlihat mematung setelah mencicipi masakan Erlang.
Pemikiran absurd langsung terlintas di dalam benaknya, satu kaya yang dia yakini. Eksperesi Ibunya hampir mirip dengan Ekspresi ia saat mencicipi masakan wanita yang melahirkannya itu beberapa tahun yang lalu.
Eksperesi keracunan makanan..
Maura langsung panik, "Ma!! Jangan mati dong!!" seru maura sambil menggoyangkan bagu ibunya lembut.
Mendengar pernyataan Maura, Erlang langsung panik dan menghentikan kegiatannya.
"Tante.." teriaknya.
"Ma, kalau Mama mati yang jadi istrinya Papa siapa dong, maura gak mau punya mama tiri, serius.."
Pluk!!
Tepukan kasar langsung menerjang pundaknya sampai Maura mendesis pelan. Netra ibunya melotot kearahnya.
"Sembarangan kamu, siapa yang mati. Ini mama Cuma syok, ternyata masakan Erlang lebih enak dari masakan papamu."
Maura tersenyum kecut, sepertinya kekhawatirannya adalah hal yang sia-sia.
"Erlang, kamu mau kan jadi suaminya Maura? Mau ya, kawinin sekarang juga gak papa, ikhlas kok Tente."
"MAMA!!!"
Bersambung…