-Moirai Valentine-
--Yang paling menyakitkan pada masanya itu adalah saat lo suka sama cowo dan si cowo itu cuma menganggap lo hanya teman, gak lebih--
----Moirai Valentine----
Luna menepati janjinya untuk tidak menyebarkan perihal surat kampret dari Erlangga Lorenzo.
Sesuai yang di perkirakan sebelumnya, semua penghuni kelas bunga aka kelas F. Maura juga bingung kenapa kelasnya diberi nama aduhai seperti itu padahal makhluk di dalamnya jauh dari kata peminim alis jelmaan semua.
Mereka setuju untuk bungkam dengan bayaran dia harus menceritakan perihal pertemuan dadakan tadi malam bersama si pangeran Phoenix. Alhasil seluruh sisa pelajaran olahraga Maura habiskan untuk bercerita panjang kali lebar sampai tinggi sekalian.
Teman-temannya hanya mengerutkan alis dan sesekali berguma.
"Ooh.."
"Wah.."
"Terus!"
"Hm.."
Sampai bel istirahat berbunyi, dan yang sialnya ternyata hanya Maura yang belum mengganti pakaian olahraganya dengan seragam, kampret!!
Ini dia yang kurang peka atau mereka yang sengaja, serempak untuk mengibulinya.
Damn it!!
Maura menghela napasnya beberapa kali. Derap langkah kakinya bergema di sepanjang koredor, nyaris berlari menuju Kafeteria. Jangan ditanya lagi, perutnya sudah berkonser minta diisi. Gara-gara pasukan Anabell kw, dia jadi terlambat untuk makan siang.
"Maura.."
Panggilan seseorang dari belakang. Maura otomatis berbalik saat mendengar suara yang sangat dia kenali itu.
Keningnya mengerut menatap pria yang sedang mengenakan seragam rapi yang sedang berdiri tidak jauh darinya.
"Bara.." cicit Maura.
Itu Bara, kekasihnya Luna dan juga pria yang masih dia sukai, sedikit.
Percayalah untuk membuang orang yang pernah ada di dalam hati kita itu sama susahnya dengan meminta uang jajan lebih pada orangtua, bicara sedikit kalimat legendaris langsung turun.
"Jangan jajan saja yang kau pikirkan, nilai rapot semestar ini harus tidak ada yang remedial."
Alhasil, nyali yang awalnya sebesar gajah langsung menciut seperti semut, kampret!!
Maura menghela pelan napasnya. Bibirnya dipaksa ikut tersenyum seraya mengamati pria di depannya itu.
Bara Abimayu masih tidak berubah, wajahnya masih tetap bisa membuat getaran tersendiri untuk Maura.
Rambutnya masih acak-acakan dengan senyuman kecil yang tersunjing di bibirnya. Tubuhnya masih menjulang tinggi seperti yang pernah Maura ingat.
Bara mendekat, "Maura … Errr apa kita bisa bicara sebentar?" tanyanya.
"Tentang apa?"
"Tentang.. emm, Erlang dari asrama Phoenix."
Maura terdiam beberapa saat, dia mengangguk mensetujui sambil mengikuti Bara yang membawanya ke sudut koredor.
"Jadi, apa yang ingin kau ketahui?" tanya Maura langsung tanpa menunggu Bara menghela napas terlebih dahulu.
"Apa itu benar? Maksudnya tentang kencan itu?"
"kau tau dari mana?"
Ada beberapa hal yang membuat Maura bimbang. Mungkin hanya harapan tak realitas nya yang berharap terlalu banyak.
Mungkin saja Bara mengetahuinya dari Luna, karana bagaimanapun mereka berdua sedang menjalani hubungan asmara. Tidak ada rahasia di antara mereka, walaupun Maura sudah meminta seluruh temannya untuk tutup mulut.
Itu praduga pertama. Sedangkan praduga kedua adalah mungkin saja Bara diam-diam juga mengawasianya.
'Mungkinkah?'
Maura langsung mengelingkan kepalanya dengan cepat, itu hal mustahil yang akan terjadi.
"Tau dari Gio," jawab Bara santai.
Maura tersenyum kecut, tentu saja. Dia hampir melupakan jika sepupunya Gio adalah teman dekatnya Bara. Mereka bahakan satu tim dan satu asrama.
"Itu benar," jawab Maura.
"Kenapa bisa?"
"Apa maksudmu? Tentu saja bisa, aku wanita dan dia pria. Kami sama-sama single, dan akan berkencan jadi apa salahnya?" Maura menaikan suaranya setengah kesal.
Apa Bara pikir dia tidak berhak berkencan dengan pria lain? Sialan!!
Bara mengelingkan kepalanya, "Bukan! Bukan itu maksudnya, tapi apa Erlangga benar-benar serius melakukan itu, atau dia hanya sekedar main-main saja."
"Maura, dengar! Erlangga itu berasal dari asrama Phoenix, dan mereka itu cenderung memandang rendah kita. Aku hanya khawatir jika dia hanya menjadikan ini lelocon," lanjutnya.
"Itu bukan urusanmu, asal kau tau saja!!" bentak Maura.
"Itu urusanku juga!!" Bara balik membentak. Pria itu semakin mendekat dengan pandangan tidak terbaca. Ia meletakkan kedua tangannya di bahu Maura sambil menekannya pelan.
Degh...
Maura mematung seketika mendengarkan kalimat itu. Jantungnya kembali berdegup kencang, aliran darahnya memanas.
"A-apa maksudmu?"
'Jangan membuatku berharap lagi, sudah cukup menjadi orang bodoh selama ini.'
"Itu urusanku juga. Urusan Gio juga. Maura, kami sangat mengkhawatirkanmu, karna kita berteman. Kau dan Gio seperti sahabat dan saudaraku sendiri." Bara memberitahu dengan perlahan.
'Hanya teman..'
Maura mendesis kasar, ia menepis cengkraman Bara dan mundur beberapa langkah kebelakang.
"Tentu saja, kau temanku.. kau mengkhawatikanku karan aku temanmu, tidak lebih.."
Maura mencengkram ujung-ujung seragamnya, sambil menyalurkan rasa kesal. Matanya terasa perih luar biasa, air mata mengenang di pelupuknya saat ini.
Apa dia harus menagis saat ini? Haruskan dia menjadi bodoh lagi?
"Maura.."
"CUKUP!! JANGAN MENDEKAT!!" Maura mengeram, airmatanya perlahan turun, membasahi pipinya seketika.
"Ma-Maura.. kau menangis.." Bara meraih tangan Maura dan menariknya pelan.
Maura berusaha memberontak tapi ditahan keras oleh Bara. Pria itu menariknya dan memeluknya dengan lembut.
"Jangan menagis, aku tidan membentakmu. Kami hanya sedikit khawatir, Gio juga uring-uringan tadi malam sambil memikirkan masalahmu."
Maura tidak menjawab, ia lebih memilih membenamkan wajahnya ke pelukan Bara untuk terakhir kalinya. Isakannya semakin nyaring.
"Kamu tidak harus menuruti kami, jika memang kau merasa cocok dengan Erlangga, aku dan Gio tidak akan menghalanginya. Tapi Maura, tolong hati-hati."
Maura mengangguk pelan, kemudian melepaskan pelukannya dari Bara. Ia mengusap kasar airmatanya dan tersenyum tipis.
"Terimakasih … teman.."
Bara tersenyum kecil, dan mengangguk.
Jauh dari atas tangga yang menghubungkan lantai dasar dan lantai satu tiga pria tampan sedang mengamati mereka dengan pandangan berbeda, dan penuh selidik.
Mereka adalah Gilang yang kedua lengannya bertumpu di pinggiran pembatas tangga.
"Mereka tampak intim," ucapnya dengan mata menyipit penuh selidik.
"Biasa saja, mungkin dia kakanya," ucap pria yang satunya lagi. Dia Erlang yang sedang duduk di tangga paling tengah.
Sedangkan Bintang hanya berdiri seraya bersandar di dinding, sesekali ia meliriknya dan sisanya hanya mendengus pelan dan tidak peduli.
"Sama sekali tidak mirip, itu pasti mantan pacarnya. Ahh atau mungkin dia kekasihnya. Apa kau mengencani pacar orang, Lang?"
"Ck!! Pacar orang pala lo!! Aku tidak peduli ya, ini hanya taruhan. Setelah kencan kami selesai maka hubungan kami juga selesai tidak lebih, gitu aja rebet bangat Lo, Bintang aja diam dari tadi." Seru Erlang semakin kesal dengan kelakuan teman satunya ini.
"Lagian si Maura juga sudah setuju dengan kencan ini, secara logika kalo dia punya pacar seharusnya dia langsung nolak aja dari pada ribut sama pacarnya," lanjut Erlang.
"Iya juga ya.." celoteh Gilang.
Erlang mendecih, "Makanya itu otak dikasih makan jangan cuma di kasih foto cewe doang!!"
"kampret lo Lang!! gini-gini gua teman lo tau."
"Nyesal gua temenan sama Lo! Nurut lo gimana, Tang?" tanya Erlang seraya menoleh kearah Bintang.
"Sama, aku juga menyesal berteman dengan makhluk setengah jadi."
"Sialan kalian!!"
Bersambung…