Chereads / Moirai Valentine / Chapter 22 - Obsesi Kawin

Chapter 22 - Obsesi Kawin

-Moirai Valentine-

Sweet accident, satu kata dua senjata. Setelah ini ia harus pasang pengaman anti maling dan anti tukang gosib di rumahnya termasuk si Gio peneyebar Fitnah.

--------------------------------

Ledakan emosinya tidak bisa dia tahan-tahan lagi. Menelusup, mengalir dan mendidih di sepanjang pembuluh darahnya sampai ke otak. Membakar ubun-ubunnya hingga ia ingin berteriak sekencang-kencangnya.

Muara menarik napas panjang, menghembuskannya, menariknya lagi kemudian menghembuskannya dengan perlahan.

Tidak pernah terbanyangkan, bahkan di dalam mimpi terburuknya sendiri.

Wajahnya memerah, memahan malu sekaligus kesal. Ibunya tidak berhenti membujuk Erlang untuk mengawininya segera.

Apa ibunya pikir dia kucing apa.

"Ma!!"

"Anak gadis diam, ini Mama lagi berdiskusi dengan Erlang."

Ibunya kembali menatap Erlang sambil membicarakan kelebihan-kelebihanya, persis bak barang yang mau di lelang.

Harusnya Maura tau, membiarkan Ibunya terlalu banyak menghabiskan waktu dengan Gio adalah sebuah kesalahan patal yang mana sepupunya itu dapat menularkan penyakit anehnya.

Entah kenapa ibunya jadi terobsesi dengan Erlang.

Kekesalannya bertambah saat Erlang hanya diam mendengarkan celotehan ibunya sambil sesekali terkekeh. Pria itu sangat menikmatinya.

Sialan!! Harusnya dia tau itu.

"Ma, Erlang sama Maura itu cuma temenan, gak lebih. Kami bukan pasangan yang bisa Mama kawinkan sesuka hati. Satu lagi Maura bukan kucing, Ma." Maura buka suara setelah mengumpulkan keberaniannya.

"Yang bilang kamu kucing siapa? Kamu manusia, ya mama juga tau. Makanya ini mama lagi berdiskusi sama Erlang. Kalo kamu kucing sudah dari tadi Mama kunci berduaan di dalam kamar."

Gerr..

Maura mengusap kasar wajahnya yang memerah sempurnya. Damn it!! Punya mama kok limited edition banget sih.

-------Moirai Valentine-------

Hiruk-piruk yang tadinya mewarnai atmosfer ruang makan dan ruang tamu rumahnya langsung berubah saat Maura menyeret Erlang keluar dari rumahnya.

Atau lebih tepat pengusiran secara halus.

"Gak mau sedikit lebih lama lagi, Erlang? Tante sudah menyiapkan selimut dan bantal lo, buat kamu menginap."

Lagi-lagi ibunya berbuat ulah. Maura menghela pelan, "Ma, Erlang itu punya orang tua. Mama sama Papanya pasti nyariin. Selain itu di rumah kita tidak ada kamar ngangur, semuanya penuh."

Maura mendorong tubuh besar Erlang melewati pintu depan, tidak mengubris semua rayuan ibunya yang menyuruh Erlang untuk tinggal lebih lama lagi.

Semua di luar dari prediksi Maura. Awalnya gadis itu mengira Erlang akan pulang setelah menikmati makan siang bersama, tapi ternyata pria itu tinggal lebih lama lagi hanya untuk mengobrol dengan ibunya, bahkan sampai malam.

Menambah beban kekesalannya saja.

Maura menarik napas panjang, mereka sudah berada di jalan. Ia ditugaskan untuk mengantar Erlang paling tidak sampai ke persimpangan.

"Err.. Erlang.." Maura buka suara.

"Hm.."

"Untuk yang tadi jangan di masukkan ke dalam hati ya, Mama aku cuma becanda kok."

Tidak perlu bertele-tele lagi. Keinginannya untuk berinstirahat cukup kuat dibandingkan rasa malunya karena kembali membahas hal yang satu ini.

Erlang terdiam beberapa saat sampai bibir tipisnya tersunjing dengan perlahan, kekehan kecil terdengar halus keluar dari mulutnya.

"Jangan tertawa!" seru Maura.

Erlang menggeleng, "Mamamu lucu."

Singkat, padat dan sangat jelas.

Maura berani bersumpah jika Erlang pasti sedang memikirkan perihal obsesi kawin ala mamanya itu, kampret!

Maura menggosok mata kirinya yang terasa gatal, denggusan napasnya terdengar mengisi kekesalan yang melandanya.

"Yah, Mamaku kadang sedikit aneh. Dia terobsisi pada pria yang bisa memasak. Mungkin karna dia sendiri tidak bisa memasak."

Maura tersenyum kecil. Ia memikirkan setiap kali Mamanya berekspereman maka seketika ia akan dilarikan ke rumah sakit.

"Aku juga jarang di rumah, waktuku habis di asrama, dan pada akhirnya Papakulah yang menjadi juru masak dalam keluarga kami."

"Keluarga bahagia.." Erlang membuka suara dengan sedikit bimbang.

Maura mendongkrak, menoleh kearah Erlang. Pria itu menatap lurus ke depan dengan tangan yang ia masukkan ke dalan saku celananya.

"Bagaiamana dengan keluargamu? Apa mamamu tidak khawatir karna kau tidak di rumah? Selain itu ini hari terakhir kita liburan bukan?" Maura ingat jika besok adalah hari senin.

"Tidak masalah, lagi pula orangtuaku tidak punya waktu untuk sekedar menemaiku menghabiskan sisa liburan."

Maura mengangguk paham. Ia tidak terlalu mengenal keluarga Erlang, yang ia ketahui hanyalah ayah Erlang kepala kementrian.

"Maura, thanks.."

"Untuk?"

"Waktunya, jujur saja Mamamu lucu. Aku merasa bahagia mengobrol denganya. Rasanya liburanku tidak sia-sia, sungguh."

Maura tertawa kecil, "Yah, apalagi di saat kalian sekongkol untuk memojokanku, jangan ceritakan pada teman-temanmu."

Maura meletakkan dua jarinya ke arah mata, mengisyaratkan Erlang jika dirinya sedang dalam mode mengamati.

Erlang tertawa lepas, kemudian mengangkat tangannya sambil mengunci mulutnya sediri.

Tidak ada yang membuka suara lagi setelah itu, baik Erlang ataupun Maura hanya berjalan menyusuri jalanan sepi di sekitar perumahannya.

Angin malam menyusup, membuat Maura sesekali mendekap dirinya sendiri.

Kini mereka sudah tiba di depan persimpangan, dekat minimarket pertama kali mereka bertemu tadi pagi.

"Pulanglah.."

"kau jalan kaki?" tanya Maura.

Gadis itu tidak melihat motor, mobil ataupun sejenisnya di sekitar mereka.

"Aku bawa motor tapi sudah di bawa Gilang tadi pagi." Erlang menjelaskan.

"Pulanglah, ini sudah malam," lanjut Erlang.

Maura mengangguk paham. Tanpa bertanya lagi ia langsung berbalik dan melangkah meninggalkan Erlangga yang masih berdiri di tempat semula.

Tugasnya selesai, titik. Jika setelah ini kemalangan menimpa pria itu maka bukan salahnya lagi.

----------Moirai Valentine----------

"Lama.."

Erlangga membuka pintu mobil sport abu-abu milik Gilang saat pria itu baru saja sampai. Kemudian ia duduk bersandar serta meletakan sekotak cendamata dari mamanya Maura di kursi sampingnya.

"Sorry, Adikku sedang dalam mode ngambek tadi. Mau tidak mau aku yang harus mengambil alih tugasnya."

Gilang menghidupkan mobil. Kemudian keluar dari Area perumahan dan melajukan mobil membelah jalanan yang lebih ramai.

Tidak ada yang membuka suara, deru halus mobil bahkan terdengar cukup halus mengisi keheningan. Sampai Gilang berdaham pelan untuk mencairakan suasana.

"Jadi apa ini namanya pendekatan kekeluargaan, eh?" tanya Gilang penasaran.

Sejak tadi siang setelah menerima panggilan dari sahabatnya untuk mengamankan motornya, rasa penasaran tidak berhenti menggerogoti benaknya.

Terlebih lagi saat si beruang kutub itu mengatakan tentang bertamu ke rumah Maura. Pikirannya langsung melayang-layang tak tentu arah.

Rasanya Erlang terlalu menjalami perannya untuk menggoda Maura. Jujur saja sahabatnya itu selama ini bahkan tidak bisa bicara manis dalam satu kalimat.

Erlang mendenggus pelan, ia memejamkan matanya, "Jangan di pikirkan, ini hanya sebuah kebetulan belaka."

Gilang mengangkat bahunya, terserah..

Pria itu memelankan laju mobilnya sambil menepi ke depan sebuah pertokoan. Erlang membuka matanya ingin protes, tapi Gilang langsung mengangkat tangannya.

"Maaf, ini darurat. Adikku menyuruh memesankan sekotak ayam untuk biaya admin." Seru Gilang cepat dan menghilang menutup pintu mobilnya.

Erlang menghela pelan, ia memalingkan wajahnya menatap Gilang yang berlari cepat memasuki restoran cepat saji.

Erlang mengetahui jika adik perempuannya Gilang kurang lebih mirip dengan bocah-bocah sekolah mengengah pertama yang penuh dengan permintaan tidak masuk akal.

Banyak maunya dan kadang marah sendiri jika ada yang mengganggu kegiatannya.

Erlang terkekeh pelan, beruntung dia hanya anak tunggal yang tidak di bebankan oleh mereka. Senyumannya langsung menghilang seketika ketika irisnya tidak sengaja menangkap sosok yang dia kenali.

Tepat di samping restoran cepat saji, restoran yang biasanya sering dia kunjungi. Dibatasi dengan dinding kaca yang transfaran.

Sebuah meja yang dihuni beberapa orang, membuat napasnya terasa sesak tiba-tiba. Tangannya mencengkarm erat pinggiran jok, raut wajahnya langsung berubah dingin.

'Sella dan Bintang sedang menikmati makan malam bersama keluarga mereka.'

Bersambungā€¦