-Moirai Valentine-
--Malam hari di Asrama Phoenix--
Perkumpulan anak-anak asrama phoenix di ruangan depan membuat susana kekeluargaan yang tercipta, tawa riang dan juga kekehan lucu.
Agenda harian setelah makan malam itu rutin diadakan oleh ketua asrama untuk mempererat tali persaudaraan, dan juga untuk sekedar mengumpulkan calon-calon pemimpin negaranya.
Hanya saja keramaian itu tidak bisa menghapus kesan canggung dari Gilang yang kebingungan.
Ini sudah hampir seminggu sejak kejadian di perpustakaan, semenjak itu juga kedua sabahatnya benar-benar melakukan perang dingin tanpa bicara satu sama lain.
Bintang lebih memilih duduk di area paling tidak terjemah orang-orang, menyendiri dengan duduk santai mendengarkan musik lewat earphonenya.
Sedangkan Erlangga, ia duduk di atas sofa, memakai sweter hangatnya mengingat ini masih bulan Februari yang dingin, hujan turun bukan hanya sesekali, tapi hampir sepanjang minggu.
Pria itu memangku buku, entah apa judulnya. Hanya kamuflase. Karena Gilang yakin jika Erlang tidak benar-benar membacanya.
Fokos pria itu kini sedang teralihkan dengan celotehan ringan anak-anak laki-laki lain yang sedang membahas seorang wanita seksi, setidaknya itu yang sedang mereka pikirkan.
Para gadis sudah pergi ke kamarnya masing-masing. Kini hanya tinggal para pemuda yang tertawa.
"Dia benar-benar seksi, Lo. Aku bahkan selalu mengamatinya sejak seminggu ini."
Yah, yang mereka bicarakan adalah Maura. Hampir semua cowo di asramanya selalu membicarakan tentang gadis itu. Si seksi yang mereka temuai minggu lalu di koredor.
Sejak saat itu pula Maura jadi buah bibir.
Selama ini baik Gilang, Bintang ataupun Erlang sekalipun tidak mengubris hal itu, tapi itu dulu.
Sebelum mereka tau siapa si seksi yang dibicarakan. Setidaknya Gilang dan Erlang.
Mereka tidak sengaja mendengar salah satu dari mereka yang menyebut nama Maura. Mungkin itu juga yang membuat Erlang memilih menguping dengan cara paling elit.
"Sayangnya gak ada hari panas lagi sejak hari itu, hujan menyebalkan."
Yang lainnya tertawa sambil mengangguk setuju, "Aku masih ingat pas seragamnya basah oleh keringat, well semuanya tercetak jelas di tubuhnya."
Gilang melirik Erlang yang hanya diam mengamati, menguping. Sesekali tersenyum menanggapi mereka.
"Seandainya dia bukan gebetannya Erlang, udah gua ambil, Bro!" pria itu menepuk pundak Erlang.
"Dia seksi, Lo beruntung dapatin dia."
Erlang terkekeh pelan, "Tentu saja," jawabnya santai.
Tangannya mengepal keras sambil meremas ujung lembaran buku yang ia pegang.
"Mau kuberi saran buat kencan panas nanti, eh?"
"Siapa namanya? Maura Magen, eh?"
Brakk..
Bintang mendorong meja di dekatnya sampai menimbulkan suara keras. Sentak semuanya langsung menoleh.
Bintang langsung mendongkrak, ia melepaskan earphonenya dan berdiri. Tatapannya kasar, tak terbaca, menyapu ke segala arah termasuk Erlangga.
Bintang mendenggus kasar, ia menatap pria yang tadi menyabutkan nama Maura.
"Lo semua menjijikan!! Sadar dong, kalian itu masih di bawah umur, gak pantas sama sekali bicara menjijikan. Persis kaya anak gak berpendidikan."
Semua orang terdiam, mereka mengerutkan alis, menunduk dan sesekali bergumam pelan.
"Setidaknya pikirka otak kalian, seimbangkan dengan usia kita yang masih sekolah," lanjut Bintang.
Setelah mengatakan itu, Bintang langsung berlalu pergi, menaiki undakan tangga yang kokoh menuju kamarnya sendiri.
Gilang mendekati Erlang, menyikutnya pelan. "Sebaiknya Lo nyusul dia, kalian udah persis kaya kapas sama angin yang gak bisa ketemu. Ngalah gak bakalan buat lo lemah, Lang. minta maaf aja, kalian kan satu kamar apa gak canggung tuh?"
Erlang mendenggus kesal, memang selama ini dia tidak bicara sepatah katapun setelah kemarahanya yang sama-sama meluap saat kejadian di perpustakaan seminggu yang lalu.
"Malas, dia yang mulai duluan. Harusnya dia yang minta maaf."
Erlang mengambil bukunya dan melangkah meninggalkan ruang depan dengan mereka yang masih mematung tidak paham situasi apa yang sudah terjadi.
"Teman Lo kenapa Gi?" tanya salah satu pria di sampingnya.
Gilang menghela napas berat, mengangkat bahunya, "Gak tau. Mereka sudah seperti itu sejak seminggu yang lalau, perang dingin." adunya setengah kesal.
Pria itu mengangguk, "Kita turut prihatin ya, moga aja mereka kembali rujuk." Sahut yang lainnya.
Gilang mendesis setenagh kesal. Ia mendudukkan tubuhnya ke sofa sambil mengusap wajahnya dengan kasar.
"Percayalah, gua lebih sudi mereka cerai sekalian."
Semuanya langsung tertawa lepas, mereka menganggap itu lelocon dari the mother of phoenix.
Gilang mengelingkan kepalnya, 'Memang dari awal hanya dia yang waras di sini, titik.'
--------Moirai Valentine------
Erlangga tidak tau harus memulai dengan apa. Ia juga canggung dengan situasi ini.
Sekamar dengan sahabat yang saling bersitengang persis bak sekamar dengan penjahat aka musuhmu sendiri.
Erlang menyandarkan tubuhnya ke sandaran Kasur, ia mengotak atik ponselnya sejak tadi. Padahal hanya membolak balik dari menu depan, masuk dan kembali ke menu depan secara berulang-ulang.
Sesekali dia merilik Bintang yang duduk di karpet berbulu dengan stik ps di tangannya. Hanya itu kegiatan mereka selama seminggu.
Kamar yang dulunya penuh kehebohan, dengan pertaruhan konyol kini tak ubah bak kuburan, sunyi dan sepi.
Pintu depan terbuka secara tiba-tiba saat Erlang hampir menghubungi satu orang lagi yang juga menghindarinya selama seminggu penuh, jari-jemarinya jadi bingung antara ingin memulai atau hanya diam di tempat seperti selama ini.
Alhasil, Erlang tersendak kaget dan ponselnya jatuh. Beruntung hanya di atas kasur.
"Shitt!! Kampret lo Gi!!" umpat Erlang kasar.
Gilang mengangkat bahunya, pria itu masuk dengan tampang santai sembari membawa sebuah kotak.
Sekilas ia melirik Bintang yang tidak mengubah posisinya, seolah kedatangan Gilang tidak membuatnya terkejut.
"Shett.. dia masih marah? Lo udah minta maaf belum." bisik Gilang.
Erlang memutar matanya bosan, sudah sering ia mendengar kalimat itu dari mulut sahabatnya.
"Apa yang Lo bawa?" Erlang mengalihkan perhatian.
"Oh, ini hadiah."
"Lo ulang tahun?"
Gilang mengeling cepat, ia duduk di pinggir Kasur, "Ini hadiah dari teman-teman buat acara kencan lo nanti."
Erlang mengambilnya, membukanya dengan perlahan. Alisnya terangkat tinggi, "Apa ini?"
"Hadiah.."
"Aku tau … tapi, ini maksudnya apa?" Erlang mengangkat tinggi-tinggi bungkusan aneh yang temannya berikan itu.
"Untuk apa mereka memberikanku hadiah permen karet?" lanjutnya.
Gilang mengambilnya dengan cepat, mengamatinya beberapa saat kemudian melotot, "Ck!! Kurang ajar mereka," gerutunya.
Gilang langsung menyembunyikan benda itu ke saku celananya, "Gak usah di pikirkan itu hanya pengaman. Mereka mungkin iseng memberikan itu. Nanti akan ku buang."
Erlang mengangguk, lagi pula dia juga tidak terlalu paham. Otaknya masih sesak dengan masalahnya sendiri. Pria itu melirik sekilas ke arah Bintang yang sudah mengecilkan voleme gamenya.
"Lo benar-benar kencan akhir minggu ini dengan Maura? Lusa bukan?" Gilang bertanya.
Belum sempat Erlang menjawab. Bintang lebih dahulu membuyarkan keadaan dengan membanting pintu kamar. Pria itu pergi begitu saja dengan layar monitor yang masih menyala.
"Dia kenapa?" tanya Gilang. Ia bahkan tidak bicara seharian ini dengan Bintang.
"Apa dia cemburu?" ucapnya ragu-ragu.
Bersambung…