-Moirai Valentine-
"Dia kenapa?" tanya Gilang. Ia bahkan tidak bicara seharian ini dengan Bintang.
"Apa dia cemburu?" ucapnya ragu-ragu.
"Ck! Kau pikir dia suka dengan Maura apa." ketus Erlang.
"Ya bisa aja kan. Lang! coba Lo pikir, sejak kejadian minggu lalu di perpustakaan juga gitu kan, Bintang marah gara-gara Lo sama Maura yang hampir ciuman. Hari ini juga, di depan tadi dia membentak semua orang hanya karna mereka lagi membicarakan Muara yang tidak-tidak."
Erlang terdiam, ia memikirkan semua perkatan sahabatnya itu. Setelah di ingat-ingat semuanya masuk akal. Ditambah lagi, taruhan ini juga berawal darinya.
"Lagi pula, Bintang itu aneh, ok kita tau semua itu. Tapi Lang, rasanya gak mungkin dia tau segala hal tentang Maura, kalo dia gak ada perasaan. Alasan benci gak bisa membuat alibi yang pasti."
Ya, rasa benci yang dikatakan Bintang seolah-olah membuat alibi palsu agar dia tidak ketahuan mencintai gadis yang beda asrama.
Erlang memejamkan matanya. Bintang yang dia kenal adalah tipe pria paling aneh, santai dan cenderung jahil.
Selama ini dia pria itu bahkan tidak pernah menoleh pada anak gadis dari asramanya sendiri. Rasanya terlalu anah untuk pria sesantai Bintang mengenal Maura lebih jauh.
"Dia bahkan tau nama lengkapnya Maura," guman Erlang pelan. Ia ingat pertama kali awal dari taruhan mereka, dan saat itu Bintang menyebut nama Maura.
Gilang bergumam setuju, "Err … aku bahkan lupa nama lengkap Maura, mungkin saja dia satu-satunya yang mengetahuinya. Siapa ya … er.. Maura Oktober Magen?"
"Ck!! Namanya Maura Oktavia, bukan Oktober. Emang Lo pikir dia bulan apa." protes Erlang.
"Maura Oktavia Magen, ahh ... aku ingat. Well, kalau begitu kau orang kedua setelah Bintang yang mengetahuinya."
Erlang menarik napas panjang, ia mengusap wajahnya. Bukan karena dia bangga, hanya saja rasa kesal lebih mendominasinya.
'Bukan gitu! Emang aslinya otak Gilang aja yang gak sanggup nyimpan banyak-banyak.'
------Moirai Valentine-------
Pria terpintar selama tiga tahun berturut-turut, yang bahkan nilainya selalu mencapai angka sempurna adalah Erlangga Lorenzo.
Setidaknya mudah bagi Erlang untuk mengingat dan menyimpulkan dari hasil diskusi dadakannya dengan Gilang tadi malam.
Bahwa Bintang kemungkinan besar menyukai Maura.
"Hubungan Lo sama dia unik dong," Gilang setengah tertawa mengatakan hal itu tadi malam.
"Maksud Lo?"
"Lo sama Bintang kaya pemeran sinetron yang judulnya jodoh yang tertukar. Bintang sama Sella dan Lo sama Maura, padahal kan aslinya kebalik. Lo suka sama Sella dan Bintang suka sama Maura."
Bintang menyukai Maura…
Bintang menyukai Maura..
Alisnya terangkat, begitukan? Jika begitu maka semuanya akan impas, Bintang akan merasakan apa yang dia rasakan saat ini.
Cemburu yang sama.
Degh..
Seketika bibirnya tersunjing lebar, saat iris abu-abunya menangkap sosok gadis yang selama seminggu ini juga menghindarinya.
Dia Maura, yang tengah berjalan dengan cepat, nyaris berlari di sepanjag koredor lantai dua.
Erlang bergeges. Ia menerobos anak-anak lain, sepertinya Maura tidak terlalu mengamati keadaan sekitar, ia langsung terkejut saat Erlang menangkap tangannya, dan membawanya pergi.
"Apa sih Lang!!"
Erlang menariknya ke sudut, "Lo hindarin gua ya!"
"Ga-gak lah. Ngapaian.." ucap maura terbata-bata.
Karna faktanya dia memang menghindari pria di depannya itu. damn it! Kejadian minggu lalu di perpustakaan benar- benar membuatnya tidak memiliki muka lagi.
Seminggu ini juga dia mati-matian menghindari pertanyaan teman sekamarnya mengenai Erlangga Lorenzo.
"Lalu kenapa setiap melihatku, Lo kabur?"
"Mana ada, itu cuma perasaanmu doang." bentah Maura.
"Lo gak ke perpus lagi."
'Kampret! Itu buat menghindiri Lo dan si penghuni asrama, Bintang Pradipta.'
Maura mendesis kesal mengingat fakta itu. Ia menghela pelan, menatap Erlang yang masih tampak tidak puas dengan jawabannya.
"Sebenarnya Lang, apa maumu?" Maura menyipitkan matanya penuh curiga. Kedua tangannya ia sedekapkan di depan.
"Lo menghidariku bukan?" lagi.. sialan!
Maura memutar matanya bosan, kenapa pria di depannya ini sangat keras kepala.
Maura melirik keadaan sekitar yang sudah terasa ramai. Anak-anak dari asrama lain pasti sudah keluar untuk makan siang. Perasaannya semakin kacau, takut ketahuan.
Sementara ia sibuk berdebat dengan dirinya sendiri, tanpa menyadari jarak wajahnya dan Erlang kini hanya berjarak beberapa inci, mengingat mereka saling mencondongkan wajah meminta jawaban.
Maura terdiam kala matanya tidak sengaja bertemu dengan iris abu-abu milik Erlang. Keduanya tidak mengerti mengapa tubuh mereka seperti membeku dalam waktu yang bersamaan, tidak bisa bergerak.
Mereka saling betatapan beberapa saat, seolah saling mengagumi keindahan masing-masing.
"Jadi..?"
Maura langsung tersadar, ia segra mendorong dirinya menjauh dari Erlang dan berdaham kecil seraya merapikan bajunya salah tingkah.
'Apa tadi? Dia terpesona sungguhan?'
"A-apa?" guman Maura setengah terbata, dia pasti sedang merona saat ini.
"Minggu ini, kita jadi kencan bukan?"
Maura diam, dia hampir melupakan yang satu ini. "Weekend waktunya aku balik ke rumah."
"Mau kujemput di rumah?" tanya Erlang.
Maura lengsung mengeling dengan cepat. Jelas itu bukanlah pilihan yang tepat mengingat mamanya sangat terobsesi dengan Erlang.
"Ti-tidak perlu, aku bisa sendiri. katakan saja dimana kita kencan?"
------Moirai Valentine------
Maura sudah tiba di tempat yang di janjikan Erlang untuk titik pertemuan mereka, Alun-alun kota.
Ia gugup, jantungnya berdegup sangat kencan semenjak dia kabur dari pertanyaan Mamanya. Sesekali ia melirik pakaiannya, kaos biasa dengan blazer panjang.
Mamanya dengan tindakan semena-mena memaksa Maura untuk menggunakan gaun, jelas dia menolak mentah-mentah. Alhasil Maura hanya pasrah dengan mengenakan baju yang terlalu biasa untuk berkencan.
Karena hanya baju ini yang tidak sengaja ia tarik saat kabur tadi.
Damn it!!
Maura menghela panjang, setidaknya dia mengenakan rok yang membuat dirinya terlihat seperti seorang gadis sungguhan.
"Maura."
Erlang memanggilnya. Maura mendongkrak, menatap pria yang kini sedang berlari ke arahnya.
Rambutnya berkibar terpimpa angin, bibirnya tersunjing tipis. Pria itu seperti malaikat yang menghampirinya ketimbang seorang manusia. Bahkan tanpa pakaian brended yang melekat di tubuhnya, wajah itu sudah terlalu sempurna.
Benar-benar jelmaan malaikat.
'Asal jangan Malaikat maut saja, dia belum siap mati untuk saat ini.'
"Sudah lama?" tanya Erlang saat pria itu sudah berada di depannya.
"Err … tidak juga, aku baru sampai."
Erlang mengangguk paham. Ia mengeluarkan dua buah tiket dari saku jeketnya, "Kita nonton. Kebetulan Gilang memberikan ini untuk kencan kita." Serunya, memperlihatkan dua buah teket yang dia beli atas nama Gilang Jupiter.
"Lo suka nonton kan?"
Maura mengangguk. Mereka berjalan beriringan, "Asal jangan flim horror aja."
"Lo takut?"
Maura mengeling, ia menatap Erlang sekilas. "Bukan aku, tapi Lo."
"Aku gak takut.." Erlang berguman dengan cepat.
Maura terkekeh pelan, "Lalu siapa yang mau memberikan semua hartanya untuk Tuan dan Nyonya hantu, di ruangan kosong kemaren, eh? Kau itu penakut, gak usah ngeles, Lang."
Sial!!
Erlang mengusap rambutnya, salah tingkah. "Bukan takut.."
"Lalu?"
"Ya, Cuma tidak berani saja."
Maura memutar matanya bosan, 'Sama aja, kampret!'
Bersambung…