Chereads / SEIN KIRI, BELOK KANAN / Chapter 22 - PETUAH AYAH

Chapter 22 - PETUAH AYAH

"Ada apa ini?" tanyaku sambil menatap Ayah, Ibu dan Alan. 

Alan yang duduk di sebelahku tersenyum, "Nanti kamu juga akan tahu."

Bukan jawaban ini yang kumau, "Maksud Aa' bawa aku keluar itu apa? Keluar dari rumah ini?"

Alan mengangguk, tapi senyumnya tadi sudah memudar saat melihat perubahan di wajahku. 

"Kenapa dari awal nggak ngomong kalau bakal tinggal di rumah sendiri? Aku nggak bisa ninggalin Ibu sama Ayah!" sergahku dengan intonasi suara yang sedikit meninggi. 

"Nada, itu suami kamu lho, nggak boleh ngomongnya meninggi."

Ibu langsung memperingatkan, tapi aku tetap tidak mau peduli. Dia sudah berpikir belum sih, sebelum memutuskan ini. Jelas-jelas aku anak tunggal, perempuan pula, bagaimana bisa harus keluar dari rumah? Nanti siapa yang akan menjaga Ayah dan Ibu? Egois sekali jadi laki-laki. 

"Harusnya Nada kasih syarat dulu ke dia sebelum menerima pernikahan ini. Nada nggak akan keluar dari rumah, Bu. Nanti Ayah sama Ibu, gimana?" bantahku dengan ekspresi jengkel, yang terekam jelas. 

Alan terdiam setelahnya. Nasi goreng yang telah habis setengah di piringnya itu, terabaikan sudah. Kulihat ia dengan sorot tajam, sementara dirinya tampak bingung sendiri. Makanya, kalau mau ambil keputusan itu, bicarakan dulu sama aku. Jangan mentang-mentang jadi suami, seenaknya saja membuat perencanaan sendiri. 

Tak lama Alan minta izin ke Ayah dan Ibu untuk keluar. Pergi saja sana! 

Orangtuaku hanya bergeming membiarkan dia pergi. 

"Habiskan dulu sarapannya," titah Ayah terdengar dingin. Seketika suasana di meja makan berubah menjadi horor. 

Meski selera makan sudah terganggu, kuputuskan saja tetap menghabiskan nasi gorengnya. Sekalian juga punya Alan. Aku ingat nasehat Ayah dan Ibu, serta guru di sekolah dan TPA, orang yang mubazir itu adalah saudaranya setan. Tidak baik kita membuang-buang rezeki berupa makanan yang sudah diberikan Allah, karena tidak semua orang mendapatkannya.

Hatiku mendongkol melihat Alan pergi begitu saja tanpa menghabiskan dulu makanannya. Huh!

*

Selesai beres-beres, aku dipanggil oleh Ayah untuk duduk di ruang tamu. Kulihat jam di dinding, sudah menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh pagi. Bukankah Ayah seharusnya sudah berangkat kerja. Meskipun, lokasi kantor lurah itu cukup dekat dari rumah, dan Pak Lurahnya, Ayah sendiri. Namun, beliau sangat jarang pergi kerja lebih dari jam tujuh lewat lima belas menit. 

Aku duduk di hadapan Ayah, dan Ibu di sebelahku.

"Nada, ada apa denganmu? Kenapa bisa melakukan hal yang menyakiti hati suamimu begitu?"

Kuangkat wajah, dan melihat Ayah. Tampak ada gurat kekecewaan di wajah yang tak lagi muda itu. 

"Nada udah bilang tadi, Yah. Nada nggak mau keluar dari rumah, ninggalin Ayah sama Ibu berdua aja. Lagian, dia juga kenapa nggak mau ngomong sebelumnya sama Nada? Sok-sokkan ambil keputusan sendiri. Emang dia pikir, Nada bakalan mau ikut dia keluar dari sini. Entar Nada diapa-apain lagi di sana."

Ayah menggeleng-gelengkan kepala mendengar jawabanku. Kemudian menghela napas sedikit dalam. Aku hanya berkata sesuai dengan apa yang diinginkan hati. 

"Suamimu memang belum mengatakannya kepadamu, Nada, tapi ia sudah lama mengutarakan keinginan ini pada Ayah."

Kedua alisku bertaut. "Jadi, Ayah udah lama tau?"

Ayah mengangguk, "Ayah sudah pernah bilang, bahwa Alan adalah sosok terbaik pilihan Ayah untuk kamu. Saat meminta ia dijodohkan denganmu, terlebih dahulu telah Ayah selidiki latar belakang kehidupannya. Perencanaan hidup ke depan yang akan ia jalani juga. Karena itulah, Ayah semakin yakin meminangnya untuk menjadi suamimu," ungkap Ayah dengan nada suara yang melemah. 

"Jadi, Ayah juga udah tahu, kalau setelah menikah, dia bakalan bawa Nada keluar dari rumah. Tinggal berdua sama dia?" tanyaku seolah tidak ingin percaya dengan semua yang telah diungkap Ayah barusan. 

"Nada, seharusnya kamu bersyukur mendapatkan pria seperti Nak Alan. Dia itu sosok impian, laki-laki bertanggung jawab."

Ibu ikut menimpali, membuatku menggeleng-gelengkan kepala, rasanya tidak ingin percaya dengan kenyataan ini. Orangtuaku menyokong agar aku dibawa pergi dari rumah. 

"Ayah dan Ibu mau Nada pergi dari sini?"

Perasaanku benar-benar berubah nelangsa. Bagaimana mungkin ini terjadi pada diriku? Setelah menikah, benarkah aku akan terbuang seperti ini?

"Bicara apa kamu ini, Nada?" 

Suara Ayah mengagetkanku dari aktivitas mengasihani diri sendiri. 

"Kamu tahu tidak, jadi laki-laki yang sudah berstatus suami itu berat tanggung jawabnya. Tidak hanya tetap memberikan hak ibu dan saudara-saudara perempuannya saja, tetapi bertambah dengan beban yang lebih berat lagi, bertanggung jawab penuh terhadap anak orang, yang telah dinikahi, dijadikan istri."

Ayah menegaskan. 

"Karena itu, sewaktu kamu membawa teman laki-lakimu itu ke sini, Ayah uji ia dengan pengetahuan agama. Jadi imam salat saja ia tak bisa, bagaimana akan menjadi imammu dalam rumah tangga. Ayah dan Ibu tidak ingin kamu jatuh ke tangan yang salah. Alan, sudah teruji. Dia pria saleh, memiliki kemapanan masa depan, dan yang paling penting ia adalah sosok yang bertanggung jawab."

Bagaimana Ayah bisa seyakin ini? Belum tentu juga dia akan bertanggung jawab seperti yang dikatakan Ayah barusan. 

"Tugas dan kewajiban suami terhadap istri, salah satunya adalah memberikan nafkah, pakaian, dan menyediakan tempat tinggal yang layak sesuai dengan kemampuannya. Alan melakukan ini karena ia seorang kepala keluarga. Setelah ijab qabul dilakukan, tanggung jawab Ayah resmi berpindah ke pundaknya. Sehingga, segala sesuatu menyangkut kamu, bukan lagi wewenang Ayah. Namun, jika dimintai pendapat mengenai kamu, Ayah akan berikan karena kamu anak Ayah, dan sudah pasti tahu watak aslimu," terang Ayah menambahkan. 

Aku hanya diam. Mencoba mencerna semua penuturan Ayah ini. 

"Ayah menyokong tindakan Alan untuk membawamu keluar dari rumah ini, bukan bermaksud mengusirmu, tetapi agar kalian bisa mandiri, supaya kalian bebas mengatur rumah tangga kalian sendiri."

Aku masih tetap bergeming, menunduk kian dalam. Tangan lembut Ibu terasa mengusap punggungku. 

"Ya sudah, Ayah berangkat kerja dulu. Assalamualaikum."

Ibu segera berdiri. "Waalaikumsalam." Lalu menjawab salam Ayah. Tak lama, kulihat tangan yang sejak bayi hingga dewasa ini selalu membelai kepalaku dengan sayang, terulur di hadapan.

"Ayah mau berangkat kerja. Biasanya kamu salaman. Meski kamu bukan lagi tanggung jawab Ayah, tapi Ayah tetaplah orangtua kandungmu."

Segera kuraih tangan itu, dan menciumnya takzim. Aku bahkan sampai meneteskan air mata, karena ucapan Ayah barusan. 

"Sudah, jangan menangis, meskipun kamu tidak lagi tinggal dengan kami, tapi pintu rumah ini akan selalu terbuka lebar untukmu, Nak."

Terasa tangan Ayah mengusap puncak kepalaku, lalu menciumnya. 

Bagaimana aku akan bisa hidup jauh dari orang tua sebaik mereka? 

*

Siangnya, Alan pulang. Kulihat ia langsung masuk ke dalam rumah setelah mengucapkan salam. Aku sedang berada di halaman samping, membersihkan rumput-rumput di dalam pot-pot bunga Ibu. Sepertinya, Alan tak melihatku. 

Aku juga salah, padahal tahu suami pulang, malah bersikap acuh tak acuh saja. Bagaimana, ya? Apa kususul dia ke dalam?

Namun, beberapa saat kemudian, ia kembali keluar dan terdengar pintu mobil dibuka dari jarak jauh dengan remote. 

"Aa' ... " panggilku membuatnya terkejut. 

"Iya?"

Aku sudah berada di hadapannya. 

"Aa' mau ke mana?" tanyaku sedikit meragu. 

Ia tampak berat untuk menjawab. Aku paham. 

"A', soal ucapan dan sikapku tadi pagi ... maaf ya, A'."

Aku sadar, sikapku tadi pagi memang terlalu berlebihan, dan terkesan tidak menghormatinya di depan orang tuaku. 

"Iya, nggak apa-apa," jawabnya singkat, lalu kembali diam. 

Aku saja yang aktif. Toh, diri ini juga yang mulai menyulut pertikaian. 

"Aa' tadi habis dari mana?"

Pertanyaan ini bukan bermaksud ingin tahu, hanya saja tidak ada lagi bahan untuk membuka percakapan yang terpikir, selain ini.

"Dari suatu tempat."

Duh, jawabnya kok singkat-singkat terus. Aku jadi bingung. Dia malah tidak ada inisiatif untuk bertanya balik lagi. 

"Boleh aku tau, suatu tempatnya itu di mana?"

Mendengar pertanyaan itu, sorot mata Alan menatapku dalam. Aku jadi grogi dibuatnya. 

"Serius kamu mau tau?" 

Ia bertanya balik. 

Langsung kujawab dengan anggukan mantap. Membuatnya menatap bertambah lekat, seolah mencari-cari sesuatu, yang ingin diketahui jawabannya dari dalam mataku.

------------