Seluruh koridor sekolah dipenuhi oleh para siswa yang tengah bergosip tentang kejadian beberapa saat lalu di lapangan. Amat tampak jika sebagian besar dari mereka begitu kesal dengan apa yang terjadi sebelumnya. Mata mereka memincing, kening mereka pun mengeriput saking tak sukanya.
"Anak baru itu gede juga nyalinya," ucap seorang gadis yang menggunakan seragam paling ketat di antara teman-temannya. Gadis itu pun menggunakan make up cukup tebal yang harusnya tak boleh dilakukan oleh para siswa.
Audrey terus saja melotot ke arah sebuah ruang kelas yang berada tak jauh dari posisinya. Tangannya terkepal erat seolah begitu gak terima.
"Gue nggak bisa biarin dia kali ini!" Seketika itu juga, Audrey melangkah masuk ke ruang kelas XI IPA 2, tanpa permisi atau pun mengucapkan salam pada murid yang ada di dalamnya.
Langkah Audrey yang begitu cepat membuat gadis itu hanya memerlukan waktu beberapa detik saja untuk sampai di sana. Dan yah, jangan lupakan dua antek-antek yang selalu sigap berada di belakangnya. Entah mereka mau karena dibayar berapa.
Brak!
"Dimana tuh pelacur?!" teriakan Audrey menggema ke seluruh ruang kelas XI IPA 2. Tatapan Audrey pun telah mengedar mencari pemilik nama Aleena.
Dalam ruang itu hanya ada beberapa siswa saja, dan seluruhnya kompak terdiam. Antara tak ingin ikut campur atau tak ingin meladeni Audrey yang sok berkuasa. Sebagian dari mereka juga menundukkan kepala seolah tak ada siapa pun di ambang pintu kelas sana. Kasian sekali ia.
Audrey yang merasa ucapannya tak digubris dibuat semakin naik pitam di tempatnya. Berani-beraninya mereka.
"Nyali kalian udah segede apa berani ngacangin gue, hah?!" Untuk kedua kalinya Audrey membuat suara teriakan di dalam kelas XI IPA 2. Mata gadis itu menatap semakin nyalang pada satu persatu adik kelasnya. "Apa kalian mau gue bully habis-habisan sampai kalian keluar dari SMA Garuda?!" Dan yah, gadis itu kembali melakukan trik yang sama untuk kesekian kalinya. Mengancam. Hanya itu yang ia bisa.
Seluruh teman sekelas Aleena yang saat itu berada di dalam kelas semakin dibuat bungkam tak bersuara. Mereka tak tahu harus berbuat apa. Ingin menjawab namun mereka tak tahu apa-apa. Ingin mengusir pun mereka tak memiliki nyali untuk melakukannya.
"Kita nggak tau kemana Aleena, Kak." Salah seorang dari mereka akhirnya buka suara. Gadis itu tengah takut-takut untuk menjawab pertanyaan Audrey. Takut disalahkan tentunya. Dialah Gisella.
"Lo tau kan konsekuensinya kalau ketahuan bohongin gue?" tanya Audrey sembari menaikkan salah satu alisnya. Manik matanya bergerak menatap dari ujung rambut sampai kaki gadis di sana.
Dan yah, Gisella yang tak lain adalah teman sekelas Aleena itu merasa begitu ketakutan dalam diamnya. Ia memang tak tahu apa-apa. Ia juga tak menyembunyikan apapun pula. Namun tetap saja rasa takut itu ada.
"Aku nggak bohong kok, Kak! Kita bener-bener nggak tau dimana dia," ucap gadis itu berusaha kekeh dengan penuturannya.
Untuk beberapa saat, Audrey hanya diam sembari memandang mata Gisella di sana. Menelisik mencari kebohongan yang barangkali terpancar dari sana.
"Ok, tapi awas kalau salah satu dari kalian ada yang berani bohongin gue!" ancam Audrey dengan nada penuh penekanan di setiap kata yang ia lontarkan.
Audrey kemudian melenggang dari kelas tersebut diikuti oleh dua orang gadis di belakangnya. Tatapan Audrey terlihat begitu marah hingga membuat keadaan terasa sedikit mencekam bagi dua orang sahabat yang ada di belakangnya.
"Huft! Sialan tuh anak baru! Masih beberapa hari datang ke kelas kita aja udah berani bikin masalah!" ucap Gisella dengan keras saat matanya tak lagi melihat Audrey dan teman-temannya.
Penuturan Gisella sontak disetujui oleh seluruh siswa yang saat itu berada di sana. Mereka semua kompak mengangguk sependapat dengan apa yang Gisella lontarkan sebelumnya.
Tatapan penuh ketakutan yang sedari tadi ia tampakkan ke arah Audrey kini berubah menjadi nyalang karena rasa kesalnya pada Aleena. Siapa dia? Siapa sebenarnya Aleena hingga gadis itu selalu menjadi sumber keributan SMA Garuda?
"Hm, enaknya di apain ya tuh anak?" ucap Gisella sembari menyungging senyum seringai di bibirnya.
Sedangkan di sisi lain, seorang lelaki terus saja bungkam tak bersuara. Matanya terus mengedar mencari keberadaan sang gadis yang ia incar sejak hari pertama kepindahannya.
Beberapa menit lalu, Vino bertemu dengan Aleena. Gadis itu tampak begitu marah saat mengetahui ia dan Mikael sengaja berkelahi untuk dirinya. Wajah Aleena merah padam saat membawa Vino dan Mikael untuk berbicara. Gadis itu bahkan mengatakan bahwa ia tak akan sudi lagi bertemu dengan mereka jika keduanya masih melakukan hal bodoh seperti sebelumnya. Memalukan memang.
Dan sekarang, sudah cukup lama bagi Vino untuk berdiri di gerbang kantin sekolah mereka. Tempat yang mungkin akan dikunjungi Aleena saat jam istirahat seperti sekarang.
"Dia kemana, ya?" tanya Vino pada dirinya.
Arah pandangnya kini telah beralih menatap jam yang melingkar di tangannya. Waktu istirahat sebentar lagi akan habis, dan ia masih belum bisa bertemu dengan Aleena.
"Apa dia hari ini nggak ke kantin?" ucap Vino pada dirinya, lagi.
Aleena, cepatlah datang. Hanya itu kata yang terus Vino lontarkan dalam batinnya.
Entah apa yang membuat seorang Vino Dirga Alaska rela menunggu seorang perempuan seperti Aleena. Seorang perempuan yang belum lama ia kenal namun telah berhasil mengobrak-abrik seluruh tatanan hidupnya. Terlebih lagi tentang rencana perjodohan di antara mereka. Vino masih belum mengerti tentang itu semua.
Kriiiiing!
Bel masuk telah berdering begitu kencangnya. Tanda jam pelajaran telah kembali di mulai itu kian memupuskan harapan Vino untuk bertemu Aleena. Lelaki itu butuh penjelasan. Sesegera mungkin.
Dengan wajah lesunya, Vino mulai melangkah untuk kembali ke kelas. Mungkin hari ini bukanlah waktu yang tepat.
"Kenapa lo? Lesu banget?" sebuah pertanyaan yang tiba-tiba terdengar spontan membuat Vino kembali mengangkat wajahnya. Matanya dipertemukan dengan seorang sahabat karib bernama Bara.
Namun bukannya langsung menjawab, Vino malah kembali melanjutkan jalannya. Wajahnya kembali tertunduk seperti sedia kala.
Vino bahkan tak memiliki sedikit pun niatan untuk menjawab pertanyaan dari Bara. Sungguh, ia sangat malas sekarang.
"Ya elah! Jawab dulu kali, Boss!" ucap Bara sembari mengekor di belakang Vino. Raut wajahnya terlihat begitu penasaran dengan apa yang terjadi dengan sang ketua geng-nya.
"Boss.. putus cinta, ya?" tanya Bara mulai menerka-nerka. Tatapannya pun terlihat begitu yakin jika apa yang ia ucapkan adalah sebuah hal yang nyata.
Dan benar saja, setelah mendengar pertanyaan Bara. Vino menghentikan langkahnya. Kepalanya seketika menoleh memandang ke arah Bara.
"Lo.." ucapan Vino seketika menggantung saat matanya menemukan sesuatu yang lebih menarik dari pada sahabat menjengkelkan di hadapannya.
"Itu dia!"