Tanpa mereka sadari, Martien sang anak mendengar semua percakapan kedua orang tuanya. Ia masih kecil, namun dia juga bukan tidak memahami arti dari hinaan sang ayah yang dilayangkan kepada ibunya.
Martien masih diam, ketika ia melihat dibalik pintu kamar orangtuanya. Ia melihat sang ibu tengah bersimpuh di kaki Ayahnya. Saat ini Laurent memohon agar suaminya tidak meninggalkannya. Rasa cinta yang besar membuatnya kehilangan harga diri.
Lauren hanyalah gadis desa yang polos, di usia yang beranjak remaja ia bertemu Samuel. Meski ia tahu, Samuel tengah memiliki keluarga rasa cintanya yang besar membutakannya. Ia rela kehilangan semuanya dan bahkan meninggalkan keluarganya demi bisa hidup bersama Samuel.
Bagi dirinya cinta adalah Samuel dan tidak ada toleransi tentang hal itu. Samuel hanya melihat wanita sebuah mainan saja.
Ketika dia bosan dengan istrinya yang memang sudah menua. Ia berganti teman tidur hanya untuk memuaskan hasratnya. Namun, cintanya tetap pada istri sahnya.
Terkesan gila namun itulah laki- laki yang sangat dicintai Lauren.
"Lepaskan! Aku sudah tidak mau dengan mu! Aku sudah bosan, sekarang pergi dari hadapanku!" Sentak Samuel ia mendorong tubuh sang istri yang tengah bersimpuh di kakinya.
"Berapa kali ku katakan, kau hanya salah satu mainanku! Kenapa kau sampai memiliki anak itu! Aku tidak mau, suatu saat dia menjadi ancaman bagi keutuhan rumah tanggaku!"
"Ingatkah, kita beda kasta! Dan kau, hanya seorang buruh nelayan mana mungkin aku mengakui anak itu!" sentaknya lagi.
"Aku tidak akan memintamu mengakuinya, aku hanya minta kau tidak meninggalkanku, kumohon aku sangat mencintaimu," pintanya dengan mengatupkan kedua tangannya dengan bersimpuh.
"Kau belum menyadari pula. suatu saat, hubungan kita akan tercium, aku tidak mau menyakiti istriku, karna aku menikahimu yang hampir seumuran anakku.
"Kau memikirkan perasaan istrimu, tapi kau tidak memikirkan perasaanku, sedikit saja?!"
"Tidak! Sudah ku bilang kau hanya mainanku, tubuhmu yang ku cintai bukan dirimu dan sekarang aku sudah bosan! Bukankah aku sudah bilang dalam hubungan ini kita tidak boleh memiliki anak dan kau bersikukuh melahirkannya! Itu menjadi urusanmu!" sentaknya.
"Sudahlah, aku akan pergi, ingat! Jangan pernah mencariku! Anggap kita tidak pernah saling mengenal!" serunya sambil berlalu.
Laurent mengejar suaminya hingga di depan rumah. Ia mengejar mobil mewah suaminya, jangankan berhenti. Samuel menambah kecepatan mobilnya.
Kakinya sudah tidak sanggup menopang berat badannya, dia sudah sempoyongan. Laurent tersungkur tubuhnya telah menyatu dengan pasir laut yang dingin. Seorang Anak kecil ikut berlari mengejar ibunya dengan membawa selimut di tangannya.
Ia menyelimuti tubuh mungil sang ibu dengan selimut yang dibawanya. Ibunya terus menangis dan menjerit, bagaimana tidak sudah banyak yang ia korbankan untuk bisa hidup bersama pria yang sangat ia cintai itu. Tetapi, dengan mudah pula ia dicampakan.
"Ibu, kau kenapa?" tanya anak kecil yang sedari tadi nampak khawatir. "Diam, kau!" bentaknya. Laurent mendorong tubuh anaknya hingga anak kecil yang masih sangat polos itu terpental. Ia menangis baru kali ini, ia melihat ibunya berlaku kasar padanya.
Selama ini hidup mereka sangat sulit, hinaan sudah menjadi makanan sehari-hari bagi mereka. Kadang mereka harus makan nasi sisa kemarin untuk menyambung hidupnya. Tapi kesusahan tidak membuat ibunya kalap. Baru kali ini, sang ibu tampak seperti orang lain.
Anak kecil yang masih terlihat menggemaskan itu kembali mendekati ibunya. Ia memeluk sang ibu dengan terisak. Anak sekecil itu belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi namun ia bisa merasakan sakit yang di rasakan ibunya.
__________**___________
Hari- hari berlalu begitu cepat, semenjak kejadian itu Laurent mengurung dirinya di kamar, ia sudah tidak ada semangat untuk hidup.
Seperti mayat hidup tubuhnya tampak kurus kering, rambutnya berantakan, matanya membengkak karena setiap hari yang ia lakukan hanya menangis dan menangis.
Lauren berdiri di depan sebuah lemari tua yang warna catnya sudah memudar terdapat kaca besar di sana, ia melihat bayangan wajahnya, rambut yang berantakan, mata yang menghitam, ia sadar hidupnya kacau. Masih ada butir-butir air mata yang tersisa. Tangannya membuka sebuah laci, nampak sebuah gunting berwarna hitam yang masih sangat tajam, mengambil gunting itu dengan berderai air mata.
Ia mendekatkan gunting itu pada perutnya, mengakhiri hidup itulah yang terbesit dari pikirannya, Ia mengedarkan pandangannya, nampak wajah tampan anaknya yang terbingkai di sudut ruangan dengan senyum yang nampak manis, mengambil dan membelai foto buah hatinya dengan tangisan. Ia menyadari bahwa masih ada malaikat untuknya. Yah, dia harus kuat, demi anak yang tengah ia besarkan dengan penuh kasih sayang.
Berjalan menyusuri ruangan yang tidak begitu luas, memejamkan matanya saat ia berada di ruang keluarga yang sempit, ia kembali menangis melihat foto pernikahannya dengan Samuel. Tampak wajahnya yang masih remaja dan cantik, sedang pria di sampingnya sudah tampak tua. Dia juga tidak menyangka akan mencintai pria yang sudah termakan usia. Tidak bukan itu fokusnya, dalam foto itu ia tampak bahagia. Ia masih merasakan pelukan pria yang tengah tega membuangnya. Pria yang dulu hangat dan menyayanginya, pria yang mengajarkannya arti cinta, tapi, kenapa dia juga yang memberikan luka yang begitu perih.
Wanita yang sudah seperti mayat hidup itu membuang foto kenangan indahnya bersama suaminya itu ke luar dan melemparnya ke sebuah tempat sampah yang terbuat dari susunan bata yang sudah hampir tak berbentuk.
Duduk di kursi kayu dengan membelai kursi. Teringat dengan orangtuanya saat kecil ia selalu tidur dipangkuan ibunya, bercanda dengan ayahnya. Ia teringat senyum manis kedua orangtuanya, tangis pun kembali membanjiri pipi yang tengah tak ada daging itu, tampak tulang rahang terlihat jelas saking kurusnya.
Seandainya, ia tidak pergi dan memilih pria tua yang telah menikahinya, mungkin hidupnya tidak semenyedihkan ini.
"Ibu, ayah, maafkan aku," lirihnya dengan menangis bersimpuh di bawah kursi yang kosong, saat ini ia membayangkan ibunya yang tengah tiada duduk di kursi itu. Ia membayangkan Ayahnya mengelus rambutnya, karena hal itu yang biasa mereka lakukan saat duduk bersama.
"Ibu, aku menyesal, Ayah, maafkan aku," ucapnya lirih dengan menangis tersedu.
Menyesal, apalah arti penyesalan saat ini, karena ibunya telah tiada. Ingin sekali ia menjerit, namun, tubuhnya sangat lemah. Selama sebelas tahun menjadi istri simpanan Samuel, selama itu pula ia menjadi anak yang durhaka. Sekalipun, ia tak pernah mengunjungi keluarganya.
Ia pun membayangkan pertemuannya dengan suaminya.
Laurent POV
Kala itu aku berumur lima belas tahun, aku hanya seorang gadis desa pengerajin. Kegiatanku hanyalah merajut syal untuk aku jual pada tetanggaku. Aku kehabisan benang, yang mengharuskan aku pergi ke pasar membeli kebutuhanku.
Desa kami sangat terpencil, harus melewati hutan untuk menuju pasar, saat kembali aku dirampok dan kesucianku hampir direnggut oleh ketiga pria yang bertubuh besar, aku lari dan aku tetap tertangkap. Baju ku sudah robek, rambutku sudah berantakan aku terus berteriak meminta tolong, mustahil, ini jalanan sepi. Aku menangis saat mereka sudah mengikat aku disebuah pohon dengan baju yang terbuka sebagian.
Aku memohon pada Tuhan, aku takut, sangat takut. Mereka terus tersenyum menatapku dan hal itu justru semakin membuat tubuhku bergetar, lututku lemas, tak bertenaga. Aku sudah pasrah dan memejamkan mataku, sungguh tak sudi, aku melihat wajah salah satu dari mereka mulai menyentuhku, aku menggelengkan kepala kekanan dan kekiri menolak dan memberontak. Bibirku terus berteriak. Aku berharap ada yang akan menolongku, meski mustahil.
Tanpa diduga seorang pria yang memang hampir seumuran ayahku datang dari arah kanan, dengan sigap dia menghajar habis para bajingan itu, hingga mereka tidak berdaya dan lari terbirit-birit.
Dia mendekatiku, namun aku menolaknya aku takut, sangat takut. Tetapi, dia mampu meyakinkan aku, dia membuka Kemeja yang ia kenakan dan memakainya pada tubuhku yang sudah menampakkan sebagian apa yang ada ditubuhku.
Baru kali ini dalam hidupku melihat pria dewasa telanjang dada tepat dihadapanku, dia memang tua, tapi masih terlihat tampan dan gagah, dadanya putih mulus dan terdapat sedikit bulu halus, berotot persis seperti lukisan dewa Yunani. Pandangan matanya begitu lembut sehingga membuat aku terpaku, dia melepas ikatan tanganku, jarak kami sangat dekat, aku menghirup aroma maskulin pria yang baru pertama kali aku menciumnya.
Oh, Tuhan, aku memejamkan mataku saat dia memangku tubuhku, tentunya dia meminta ijin terlebih dahulu dengan sangat sopan dan lembut, aku dibawa ke mobil mewahnya, tangis ku belum mereda, aku masih terisak namun entah kenapa aku merasa tenang, tapi, juga aku merasakan sensasi yang berbeda. Tubuhku terasa berdesir.
Ia membawaku pulang, aku masuk kedalam kamar, sayup ku dengar ia menceritakan kejadian yang menimpaku. Ayah dan ibu merasa berhutang budi dan berterima kasih padanya. Singkat cerita, Samuel itulah namanya, dia sering mengunjungiku, selalu membawa buah tangan dan dia selalu sopan dan ramah sehingga membuat orangtuaku menyukainya.
Perasaanku padanya semakin besar, aku diajaknya jalan-jalan ke sebuah pantai, tidak banyak yang kami lakukan, hanya makan dan berjalan- jalan. Namun, saat kami hendak pulang hujan lebat, hari semakin larut, pantai pun telah sepi. Kami masih duduk disebuah bangunan yang sudah tak terawat disisi pantai. Hari semakin gelap, sayangnya, Samuel memarkirkan mobilnya jauh dari area pantai. Dia tak mengijinkan aku untuk kehujanan. Aku masih polos diperlakuan seperti itu, membuat aku merasa berbunga dan bangga.
Hari semakin gelap, tidak ada satupun penerangan. Kami semakin terjebak, hujan masih deras dan angin pun semakin kencang.
Aku mendekap tubuhku, dengan kedua tanganku, dingin sudah semakin menyelimutiku, tubuhku telah bergetar hebat menahan dingin. Samuel membuka kemejanya untuk yang kedua kalinya. Ia memakaikannya pada tubuhku, ia rela bertelanjang dada hanya untuk aku, dan itu sukses membuatku semakin mencintainya.
Aku masih kedinginan, meski tengah memakai kemejanya, Samuel meminta ijin untuk memelukku dengan bodohnya aku mengijinkannya aku berpikir hanya pelukan, aku tidak tahu itu adalah awal kehancuranku.
Dia mendekap tubuhku, aku bisa merasakan sesuatu yang berbeda, dia mengangkatku di pangkuannya, dia beralasan bahwa ini akan membuat aku kehilangan rasa dingin yang semakin membuat tubuhku kaku. Aku hanya menurut entah kenapa tatapannya membuatku tak berani menolak.
Aku membulatkan mataku saat ia membalikan tubuhku sehingga kami berhadapan, aku diam saat sentuhan hangat itu menyentuh bibirku, aku memejamkan mataku, merasakan kehangatan yang tak pernah ku rasakan sebelumnya.
Aku masih diam, saat dia membuka satu persatu kancing yang melekat di tubuhku, aku menggelengkan kepalaku, saat dia mulai berani membaringkan aku di sebuah pasir, bangunan tua ini tidak ada lantai hanya beralaskan pasir pantai.
"Sakit, aku masih ingat rasa sakitnya saat pertama kali dia menodaiku, tapi aku hanya bisa menangis, berkali-kali dia menenangkan aku. Sehingga malam pun kami habiskan dengan memanas dan aku hanya diam dan menangis. Takut, yah, aku takut. Ini salah, aku tahu, tapi aku tak bisa menolaknya.
Tubuhku bergetar hebat, saat aku merasakan apa yang membuat aku merasa terbang ke langit ke tujuh, sakit itu seperti menghilang, setalah beberapa kali kami melakukan penyatuan yang saling memberi kenikmatan. Tidak terasa kami tertidur dengan saling berpelukan.
Pagi menjelang hujan sudah reda, pantai masih sangat sepi, aku melihat pria yang menodaiku malam ini tengah tertidur pulas.
Aku beranjak tapi aku merasakan sakit, sakit saat aku akan berjalan, aku meringis dan menangis kenapa rasanya seperti ini dan terasa perih. Aku merasa tulang- tulangku terasa remuk. Aku meringgis, sehingga membuat pria di sampingku terbangun, dia memelukku, dengan tersenyum manis. Entah kenapa perlakuannya membuat aku selalu merasa bahagia.
Kami pulang dengan disambut wajah angker kedua orangtuaku, aku adalah anak tunggal dari keluarga sederhana, tapi kasih sayang tidak pernah kurang kurasakan.
Ayahku menampar pria yang sudah menodaiku semalam, memaki dan menghajar wajahnya. Entah dari mana ia mengetahui bahwa pria di hadapannya tengah beranak istri. seketika mereka mengusir pria itu. Tapi aku tidak mau dipisahkan dengannya. Aku sudah sangat mencintainya, terlebih dia telah merenggut kehormatan aku, jika ayahnya tahu itu akan membuatnya semakin murka.
Ayah menarik tanganku untuk masuk ke dalam rumah tapi aku menolaknya, aku tetap bersikukuh ingin hidup bersama pria yang terpaut umur jauh dariku. Aku memohon untuk direstui pernikahanku. Tetapi, ayah mengusirku, dan aku pun memilih pergi bersama laki-laki yang tidak aku ketahui asal usulnya.
Aku masih di luar di samping Samuel yang telah bersimpuh darah disudut bibirnya atas pukulan ayah.
Ayah masuk kedalam, tidak lama, ia meleparkan baju-bajuku yang dibungkus dengan selimut tebal. Tidak ada koper. Ibu menangis dia memohon pada ayahku, namun, ayah tidak mau menerima Samuel dan aku tak mau berpisah dengan cintaku ini. Sehingga aku pergi dengan membawa baju bajuku saja. Aku melihat ibuku tengah pingsan, dan dibopong ayahku kedalam, namun, Ayah menghentikan langkahnya menatapku. Saat ini aku menyesal, Tapi dulu aku egois, karena cinta yang besar aku pun tak mengindahkan keadaan ibuku, aku tetap berjalan menjauh dan semakin membuat ayah menatap tajam dan murka melihat anaknya bahkan tidak peduli, kembali melanjutkan langkahnya masuk ke rumah dengan tangan yang memangku ibuku.
Samuel membawaku tinggal di rumah kecil di sisi pantai yang sampai detik ini masih ku tempati. Menemui aku jika ia memiliki tugas didaerah ini dan hanya akhir pekan kita bisa bertemu dan melepas rindu. Semenjak kejadian itu aku tak pernah bertemu mereka, aku mendengar kabar dari tetanggaku yang dulu kerja ditempat ini. Dulu dia mengatakan bahwa ibuku tengah sakit, dan bahkan sampai meninggal Samuel tak mengijinkan aku untuk menemui ibuku.
Mengingat semua kejadian yang menimpanya semakin membuat dia menangis dan merasa bersalah pada kedua orangtuanya. Entah bagaimana dengan kabar ayahnya saat ini.
Tiba-tiba ia merasa kepalanya sangat berat, matanya berkunang. Ia memang akhir- akhir ini merasa mual, dan selalu muntah yang tak ada isinya. Merasa curiga dan akhirnya ia kembali ke kamarnya mengambil tespek di laci lemari. Membawanya ke kamar mandi, menunggu hasil dan betapa ia terkejut dengan apa yang ia lihat, Ia berteriak frustasi.
"Tidak, ini tidak mungkin." Wanita itu bersimpuh dengan memegangi tespek di tangannya, tubuhnya bergetar, ia tidak menyangka akan bahagia atau bersedih. Yang pasti pikirkan tak terima kenyataan ini, Ia menangis dan memukul perutnya.
Matanya menatap tajam melihat sebuah botol yang tergeletak di sudut kamar mandi. Tanpa berpikir ia mengambil botol itu dan melemparnya hingga menjadi pecahan-pecahan yang tajam.
_____________***_____________
Martien adalah anak yang mandiri, ia bekerja untuk menyambung hidupnya. Terkadang, ia membantu nelayan menangkap ikan, upahnya ia gunakan untuk menyambung hidup bersama ibunya.
Siang itu ia kembali dengan ceria memegang ikan besar kesukaan sang ibu, senyuman terus melekat indah dibibir mungil anak kecil itu, ia bersemangat akan memasak dan menyuapi ibunya seperti biasanya. Karena jangankan untuk makan mandi saja Lauren sudah tidak mau melakukannya.
Dia hanya menangis sepanjang waktu, menatap dan mengusap bingkai foto pernikahannya bersama Samuel. Cinta yang salah membutakan mata hatinya.
Martien berfikir bahwa ibunya akan sangat suka dengan hasil tangkapannya. Ia berjalan dengan mendendangkan lagu. Dia anak yang ceria, meski hidupnya selalu menderita.
Sampai diambang pintu ia berteriak memanggil sang ibu, sudah terbiasa tidak ada jawaban dari ibunya. Ia melangkahkan kakinya penuh semangat menuju kamar ibunya. Mengetuk pintu masih tidak ada jawaban.
Teriakan memanggil nama ibunya semakin parau, hawa sejuk mendekap anak kecil itu, merasakan firasat yang tidak baik. Mendorong pintu kamar ibunya. Senyuman yang melekat indah dibibir mungilnya seketika menghilang.
Ikan besar kesukaan ibunya terjatuh ke lantai, tangannya bergetar tubuhnya membeku seketika bulir-bulir suci menetes membasahi pipinya.
Masih diam diambang pintu, dengan kebisuan dan rasa sesak yang menyelimutinya. Saat ini, ia tidak bisa berkata apa-apa rasa kecewa, sakit dan terluka lengkap menyelimuti anak kecil ini.
Apa yang ia lakukan selama ini seperti percuma, ibunya tetap selalu merasa sedih, kebahagiaannya adalah ayahnya. Tapi mencari kemanapun, Martien tak pernah menemukan ayahnya.
Ia berjalan dengan kaki yang bergetar, mendekati ibunya. Tubuh sang ibu sudah terkujur kaku. Matanya terbuka lebar, mulutnya masih mengeluarkan busa sisa racun yang ditelannya. Tampak racun pembunuh serangga masih tercecer di lantai. Pergelangan tangannya memiliki luka yang cukup parah, darah sudah memenuhi kamar ini.
Ia memegangi tubuh ibunya yang terasa dingin, membayangkan senyuman yang selalu menyambutnya ketika seusai bermain, pelukan hangat tidak akan lagi ia rasakan, tawa renyah dari bibir sang ibu saat bercerita tidak akan lagi ia dengar. Sendiri dalam gelap itulah Martin sekarang.
Ibunya mati dengan sangat mengenaskan, anak kecil bersimpuh didepan jasad ibunya yang kaku, ia membisu hanya Isak tangis yang memenuhi isi ruangan.
Memejamkan matanya merasakan butir-butir suci membasahi pipinya. Sesak didadanya, sakit seperti teriris, ia tidak memiliki siapapun sekarang, ayahnya entah dimana, bahkan melihat ibunya seperti ini ia membenci pria itu. Ibunya mengakhiri hidupnya bahkan tidak memikirkan dirinya. Sungguh ia merasa seperti anak tak berguna dan tak diharapkan.
"Ibu, mengapa meninggalkan, Martien," ucapnya lirih, "apa salahku, Bu?" tanyanya pada jasad yang terkujur kaku. "Ibu kenapa harus mengakhiri hidup, kau tenang saja, Bu, pria itu harus merasakan sakit dan perih yang ibu rasakan, aku berjanji, Bu." Martin berkata dengan amarah dan tangis di hadapan jasad ibunya yang tengah tak bersua.
Ia meraung pun percuma, tidak akan membangunkan ibunya. Menangis pun percuma, tidak akan menyembuhkan luka dihatinya. Matanya memicing melihat foto pernikahan ayah dan ibunya.
Tangannya meremas kuat foto itu, anak sekecil itu tidak banyak mengerti tapi bisa merasakan sakitnya ditelantarkan, perihnya dibuang dan pahitnya menjalani kehidupan.
Ia bertekad pada dirinya, untuk tetap bertahan. Rasa sakit dan perih yang ia rasakan harus terbayar. Nyawa ibunya menjadi saksi kekejaman sang ayah.
Ia mengusap kasar wajahnya. Ia berjanji pada dirinya bahwa dia tidak akan menangis apapun yang terjadi, ia bertekad bahwa apa yang dilakukan ayahnya harus ada bayarannya. Ia membawa foto itu ke kamar miliknya. Sebelum ia memanggil tetangganya untuk membantu pemakaman sang ibu.
TBC