Demi kelangsungan hidupnya, anak kecil ini bekerja untuk makan dan kebutuhannya. Kepergian sang ibu tidak membuatnya menyerah.
Saat ini, ia berada di tengah laut, membantu nelayan yang sedang menangkap ikan. Ombak semakin besar, angin kencang, kemungkinan badai akan datang. Anak kecil yang tengah hidup sebatang kara ini, tengah membantu nelayan menaikkan jaring- jaring yang di dalamnya terdapat ikan. Ia berdiri ditepian perahu.
Tiba-tiba angin datang menyambar tubuh mungilnya, tubuhnya tidak dapat bertahan. Hingga kejadian naas pun terjadi.
Byur
Air laut menerkam tubuh mungilnya, matanya terpejam ia membiarkan tubuhnya terbawa arus ombak. Jauh dan semakin jauh. Ia masih menyadari, namun tubuhnya kaku dan lemah.
Perlahan nafasnya mulai tersengal, air laut sudah mulai masuk mengisi perutnya. Semakin dalam ia masuk ke laut.
Pasrah itulah yang dilakukan anak kecil ini, suara gemuruh ombak masih ia dengar. Riuh dari atas kapal dan teriakan-teriakan yang ingin mencoba menyelamatkannya masih samar terdengar. Tetapi, ia teringat akan satu hal. Ia berpikir ia tidak ingin mati kali ini, terlalu dini untuk menyerah, ia masih bertekad ingin membayar atas semua perbuatan ayahnya terhadap semua penderitaan dia dan ibunya.
Ia mencoba membuka matanya yang mulai terasa berat, mengatur nafas yang sudah mulai terasa sesak dan mulai menggerakkan kaki dan tangannya. Permukaan laut itulah tujuannya.
Berhasil menampakan kepalanya di atas permukaan laut, ia kembali mengatur napasnya, berenang menuju kapal nelayan.
Untunglah salah satu nelayan melihatnya hingga perahu nelayan itu berbalik arah mendekati anak kecil yang tangguh itu, sampai di kapal nafasnya sudah tersengal pandangannya pudar dan seketika ia tak sadarkan diri.
Badai telah mereda, cuaca kembali baik. Para nelayan kembali pergi berlayar, dengan terpaksa mereka meninggalkan anak yang tengah tak sadarkan diri di sebuah gubuk tepi pantai. Dari kejauhan masih ada nelayan dari kelompok lain. Sehingga, mereka dapat menitipkan anak laki- laki ini pada mereka. Meski mereka tengah sibuk mengangkat hasil tangkapannya.
Seorang wanita cantik yang tengah berjalan-jalan melihat keindahan laut. Saat ini ia tengah menemani suaminya yang memiliki kepentingan bisnis disini. Dia pergi menjauh dari pertemuan yang membuatnya bosan.
Matanya memicing, ke sebuah gubuk yang tak jauh dari tempatnya berdiri saat ini, ia menatap iba, anak laki- laki yang dia anggap tengah tertidur sendirian tanpa ada satu orang pun menemaninya.
Berjalan dengan langkah anggun dengan sesekali membenarkan rambutnya yang tertutup angin. Menatap lekat, menggoyangkan tubuhnya, namun tetap tak bergeming. Mengecek nadinya, sehingga ia dapat memperkirakan anak ini tengah tidak sadarkan diri.
Meletakan kepala anak kecil itu di mpangkuannya, mengambil minyak angin di mdalam handbag-nya. Tidak lama, ia melihat ada pergerakan mata dari anak dalam pangkuannya. Ia melihat anak kecil ini mulai mengerjapkan matanya. Ia merasa sangat lega.
Martin merasakan kenyamanan yang sangat ia rindukan, ia tengah tertidur di atas paha wanita yang tampak terlihat anggun. Jari lentik wanita yang tampak lebih tua dari ibunya membelai halus pucuk kepala anak berumur sepuluh tahun itu.
Sentuhannya mengingatkannya pada ibunya begitu nyaman dan menenangkan. Senyuman indah menghiasi bibir sang wanita yang tidak ia kenal, "Nak …," panggilan itu, membuyarkan lamunan Martien. "Apa kau baik-baik saja?" tanyanya dengan sedikit meyungingkan senyumannya.
Martien terlonjak dan segera duduk. "Jangan takut! Aku Marisa. Namamu siapa, Nak?" tanyanya dengan tatapan yang sangat lembut senyuman melekat indah dari bibirnya.
"Martien." jawabnya singkat.
"Nak, dimana ibumu? Sedari tadi aku tidak melihatnya," tanyanya kembali, anak kecil itu seketika terdiam, matanya tampak sendu ia teringat kejadian yang menimpanya beberapa hari yang lalu. Kenangan menyakitkan yang tidak akan pernah ia lupa.
Ia menghirup panjang udara disekitarnya, untuk menguatkan hatinya sebelum dia menjawab pertanyaan yang membuka lukanya kembali.
"Ibuk telah tiada!" jawabnya parau.
"Jadi, kau tinggal dengan Ayahmu? Mari! Ibu antar kamu ke rumahmu!" ajaknya.
Tatapan anak didepannya berubah rona, tampak gurat kebencian dimatanya, hidungnya kembang kempis seperti seekor ikan, "Aku tidak memiliki ayah!" jawabnya ketus. Wanita itu mengetahui ada yang tidak baik tentang ayahnya pada anak ini tampak dari matanya yang memerah.
"Lalu kau tinggal dengan siapa?" tanyannya lagi, "Apa ibu seorang wartawan?" Seketika wanita yang tengah mengiba itu terkekeh pelan, betapa menggemaskanya anak ini.
"Tentu saja-!" jawabnya terputus.
"Pantas! Wartawan itu sangat cerewet dan menyebalkan!" jawabnya sinis. Tawa renyah terlepas dari bibir wanita itu. "Aku belum selesai bicara, aku mau menjawab, tentu saja, bukan! Kau memotongnya."
"Ku pikir ibu seorang wartawan! Ibu tahu aku sangat tidak suka dengan seorang wartawan!" jelasnya dengan berbisik, wanita di hadapannya semakin antusias dengan anak laki- laki di hadapannya ini sangat lucu dan menggemaskan.
"Benarkah? Kenapa?" tanyanya. "Yah, seperti yang anda lakukan sekarang! Terlalu banyak bertanya dan membuatku kesal!" ucapnya dengan mengerucutkan bibirnya.
Marisa tak hentinya tertawa melihat tingkah polos dan sok dewasa anak yang tampak masih sangat menggemaskan ini. Namun, ia juga sedikit terheran dengan cara bicaranya, Marisa berpikir, mungkin karena anak ini tidak tinggal bersama orangtuanya, sehingga ia tidak mengetahui cara berbicara yang baik.
"Jadi kamu tinggal sendiri?" tanyanya kembali.
"Seperti yang anda pikirkan!" ucapnya acuh. "Terlalu banyak bertanya membuatmu sangat menyebalkan, Nona! Saya tidak suka ditanya urusan pribadi!" jelasnya.
"Astaga, anak ini apa tidak bisa berbicara lebih baik lagi," gumamnya dengan menggelengkan kepala.
"Oh, baiklah. Kau sungguh sangat menggemaskan!" Wanita itu menjawil kedua pipi anak yang bertingkat dewasa itu dengan terkekeh pelan.
"Apa kau mau tinggal bersamaku?" tanyanya.
Matanya menatap sinis, anak laki- laki itu bersidakep, "Tidak! Aku tak akan ikut dengan orang asing! Bagaimana kalau kau menjual ku?!" Bukan marah, tapi wanita di hadapannya semakin melebarkan senyumannya.
Martien menggeleng pelan seraya berkata, "Aneh!"
"Kau sekolah sudah kelas betapa, Nak?" tanyanya.
"Aku putus sekolah, yah, beginilah hidup," jelasnya dengan menatap datar.
"Pantas!" timpalnya.
"Kenapa?" tanyanya heran.
"Kasian sekali, pantas saja cara bicaranya sangat berbeda. Dia memang baik, tapi harus diarahkan," gumamnya dalam hati.
"Apa kau tahu? Aku juga memiliki anak laki- laki. Tapi …," ucapannya terputus, ia tampak sendu, dimatanya tersirat kesedihan yang mendalam. Martien seperti melihat wajah ibunya yang tampak sedih, ia menepuk tangan wanita di hadapannya itu, wanita itu kembali tersenyum anak ini begitu sangat unik.
"Kadang, kenyataan memang selalu lebih menyakitkan dibandingkan dengan harapan kita!" ucapnya dengan tetap mengusap tangan wanita yang tampak sedih itu.
"Kau hebat! Masih kecil bisa berbicara seperti itu!" kagumnya.
"Aku memang hebat! Anda tidak perlu heran!" ucapnya sembong dengan menepuk dadanya, "Apa kau tahu arti dari ucapanmu, Nak?" tanyanya.
"Tidak! jawabnya dengan terkekeh.
"Berarti, kau tidak hebat!" sangkal wanita dihadapannya seketika anak laki- laki itu membuang wajahnya.
"Mereka selalu berkata itu padaku!" ucapnya dengan menunjuk beberapa nelayan yang sedang sibuk menarik ikan hasil tangkapan pada box besar.
"Jadi, apa kau mau ikut denganku?" tanyanya kembali.
"Kalau boleh tahu, dimana anak Anda?" tanyanya.
"Anakku sekarang ada dirumah neneknya, dia sedang melakukan pengobatan. Anakku tidak sempurna, Nak!" ucapannya seperti tercekik, menahan sakit.
"Aku akan menyekolahkanmu! Apa kau mau hidup terus seperti ini?! Tenang saja! Aku bukan orang jahat!" jelasnya. Martien sempat berpikir, bagaimana pun hidup tanpa orangtua disini bukanlah ide yang baik. Ia memantapkan diri menyetujui dan menganggukan kepalanya pelan.
Seorang pria yang bertubuh tegap datang menghampiri mereka, senyum ramah menghiasinya. "Sudah sadar, Nak?" tanyanya, Martien hanya menganggukkan kepalanya.
"Dia sudah tidak memiliki orangtua, bolehkah aku mengajaknya untuk menemani Adam?" pintanya dengan tersenyum manja.
"Lakukan apa yang membuatmu senang!" Senyuman merekah di wajah wanita itu.
"Kanalkan namaku Aldric Dalbert," ucapnya dengan mengulurkan tangannya.
"Martien," ucapnya dengan menjabat tangan pria dihadapanya.
"Kita akan tinggal dimana?" tanyanya.
"Kami tinggal di London, Nak, kau juga akan tinggal bersama kami," ucapnya dengan tersenyum ramah. "Pekerjaanku sudah selesai, Ayo!" ajaknya.
Seketika Marisa menggandeng lengan suaminya dan tangan satunya menuntun tangan anak laki- laki yang sangat menggemaskan itu.
Martien meminta kepada kedua pasangan suami istri itu, untuk singgah di kediamannya. Ia mengambil barang- barang berharga sisa peninggalan ibunya.
Dengan berat hati, ia meninggalkan rumah. Kenangan bersama ibunya ia simpan rapi di dalam hatinya, bersama dendam dan rasa sakit yang bersemayam di dalam dirinya.
Ia melangkahkan kakinya keluar dari rumah kecil nan sederhana itu, sampai di ambang pintu tatapannya berbalik menatap rumahnya tanpa merubah posisi badanya. Ia berkata dalam hatinya.
"Ibu, sampai bertemu didunia yang berbeda! Aku akan membalaskan rasa sakit hatimu! Mereka harus membayar semua penderitaan yang kau alami! Aku berjanji, tidak akan pernah ada senyuman dari semua garis keturunan Dawson!"
Ia mengusap kasar butir- butir air suci yang membasahi pipinya dengan kasar, sebelum ia benar- benar meninggalkan rumah yang penuh kenangan itu.
Tepukan di pundak menyadarkannya, seorang wanita yang kebaikannya seperti malaikat itu mencoba menegarkan Martien dan menghapus airmatanya. Ingin sekali dia memeluk wanita di hadapannya ini untuk melepas kerinduan pada ibunya. Tapi, ia tidak memiliki keberanian menunjukkan sisi terlemahnya.
TBC