Api menjalar dimana-mana. Kota penuh harapan sekarang menyimpan kepedihan bagi para penghuninya. Yang diiming-imingi kota masa depan, malah sekarang tempat terjadinya pembantaian paling mematikan pada dekade ini. Pasukan Elang terus-menerus melakukan agresi dari dalam menyingkirkan berbagai elemen pemerintahan pasca kabut.
Orang-orang keluar melewati gapura kota. Sebagian besar kehilangan sesuatu yang penting bagi mereka. Ada yang tidak terlihat seperti barang-barang yang mereka tinggalkan dan ada pula yang terlihat tidak lengkap dari batang tubuh mereka.
Mereka menungguku. Rudy sudah gregetan ingin segera keluar tapi aku mencegahnya. Apa yang Elen lakukan di dalam kota? Apa ia sudah tertangkap Pasukan Elang?
Pasukan relawan mulai pergi berhamburan keluar satu demi satu. Ada yang dalam keadaan memegang luka mereka di salah satu bagian tubuh dan ada yang ditandu oleh rekan-rekannya. Salah seorang dari mereka berteriak untuk segera pergi dari sini pada prajurit yang bersamaku dan Rudy. Kota ini sudah hilang katanya.
Rudy menggenggam pundakku sambil menggeleng dengan wajah yang kecut. Ia dan lainnya membalikkan badannya menjauhi dari tempat ini. Aku dengan berat hati mengikutinya. Elen pasti bisa mengatasinya di dalam dan aku yakin ia akan mengunjungi kami.
Di tengah perjalanan rombongan kami dibagi 2, aku dan Rudy masih akan bersama ke bagian utara ke arah kompleks. Sementara yang lainnya menuju selatan ke arah Bandung dan Sumedang. Semua yang kami punya ditinggalkan di kota penuh harapan itu.
================================================================
Tubuhku berkeringat. Sebuah pemandangan tembok putih bersih terpampang di hadapanku. Meja belajar dari kayu dengan lampu dan buku-buku tertumpuk begitu saja di pojok ruangan sebelah kiriku. Kedua tanganku menggenggam sebuah selimut biru langit halus. Selimut ini mungkin adalah selimut terhalus yang pernah tanganku sentuh seumur hidup.
Bukan hanya itu saja yang terlihat, bajuku kini berbeda dengan baju hijau muda kompleks yang selalu melapisi tubuh, kain pada baju ini mampu menahan dinginnya udara luar yang minim cahaya matahari. Kasur dibawahku benar-benar sempurna.
Wangi semerbak dengan keempukan seperti berada di atas kasur foam. Satu set didekatku ini berwarna biru muda yang mengingatkanku pada langit biru ketika langit masih cerah beberapa tahun lalu.
Aku tidak akan pernah beranjak dari tempat tidur ini meskipun hanya mimpi sekalipun. Tubuhku tak pernah merasa senyaman ini sebelumnya.
Tapi tempat apa ini? Pilot, Clara, memasuki kabut, dan peperangan itu seperti mimpi buruk. Lagi pula makhluk apa sebenarnya di dalam kabut itu? Memikirkannya saja membuat jantung berdetak hebat. Mata itu, begitu bersinar di tengah teror dinginnya kabut. Tubuhku membeku saat matanya menoleh ke arahku.
Lalu sosok Elen teman lamaku yang memegang sebuah sniper. Sebuah senjata yang tidak pernah kulihat dengan mataku meskipun selalu menyapa orang-orang bersenjata di kompleks. Bisa-bisanya dia.
Sebuah bayangan melewati jendela kamar ini. Tubuhku langsung beranjak menggenggam kenop pintu. Udara luar tampak tak begitu asing. Kecuali prajurit bersenjata memakai seragam coklat tua seperti lumpur ada di sekitar bangunan ini. 2 diantara mereka yang terdekat denganku menoleh.
"Anu pak, kira-kira saya sekarang ada dimana ya?" tanyaku menggaruk kepala."Di Bandung nak!", ujar salah satu prajurit yang sepertinya menyentuh kepala 3.
"Hah! Kenapa saya bisa berada di sini?"
Mereka hanya menoleh sebentar lalu mengacuhkanku. Apa-apaan orang-orang ini.
"Apa aku boleh keluar?"
"Maaf ya nak! Anda hanya boleh berkeliaran di sekitar pekarangan ini saja," jawabnya, berbeda dengan pertanyaan sebelumnya. Mereka menatap satu sama lain dan tertawa. Keduanya pergi menuju gerbang luar yang disekitarnya dijaga oleh lebih banyak prajurit Pasukan Aliansi.
Pintu kamar sebelahku terbuka sebagian. Tumpukan buku-buku berserakan di lantai pintu depan. Seseorang familiar sedang duduk membaca buku di atas ranjang yang mirip sekali dengan ranjangku. Ekspresi wajahnya berubah drastis ketika melihat sebagian tubuhku nongol dari pintu. Dia sama sekali tidak menyukaiku.
"Akhirnya kau bangun juga bodoh! Gimana mimpimu bersama Melodi yang kau cintai itu?" tanyanya ketus.
Sebagian diriku ingin langsung pergi dari kamar itu. Karena sepertinya caci maki yang keluar dari mulutnya tidak akan berhenti begitu saja setelah perbuatanku di malam itu. Tapi setidaknya aku harus tahu apa yang terjadi di sini dikarenakan para penjaga yang tidak akan memberitahukan aku apa-apa.
"Bagaimana kita bisa sampai sini ra?" tanyaku dengan jantung yang berdebar-debar.
Ia membuang matanya kembali pada buku yang ia baca, "Kita ditangkap dasar bodoh!".
Aku menghela nafas panjang. Suara gemerincing berbunyi dari rantai yang dilingkarkan pada pergelangan tangan kanan Clara. Ujung lain rantainya diikatkan mengelilingi saluran pipa yang mengarah ke atap di pojok ruangan.
"Kamu kenapa pakai di rantai segala?" tanyaku penasaran.
"Pasukan Aliansi mengikatku supaya aku tidak mencekikmu saat kau enak tidur berhari-hari." Aku menelan ludah. Berhari-hari? Pasti karena malam melelahkan itu. Semua luka gores, bahkan luka pukulan mematikan si besar itu sama sekali tidak berasa sekarang ini.
"Ra. Maafkan aku."
Sebuah buku melayang tepat mengenai kepalaku. "Kamu minta maaf agar kemarahanku berkurang, kan? Asal tahu saja ya, aku tidak akan pernah memaafkanmu atas yang kau lakukan terhadap Bobby dan yang kau lakukan pada bawahanku pada Pasukan Benalu. Kita bukan lagi teman baik atau apapun, seharusnya aku membunuh pengkhianat sepertimu. Tapi tenang saja, orang-orang disini tidak akan menerimamu."
Aku ingin sekali menamparnya, siapa suruh mengejarku. Sebagai ketua gugus pencabut benalu, aku tidak menyangka job desc kelompok itu sudah sangat merenggut otaknya. Nafasku sedikit tersengal berusaha menahan emosiku.
Mungkin ia benar, ini memang benar salahku. Ia sama sekali tidak ingin berkhianat tapi kami berdua berakhir di tempat yang sama. Teman-temanku di kompleks akan sangat membenciku karena telah mengambil dua orang penting ditambah dengan pengkhianatanku.
"Pak Amir, ada yang ingin bertemu denganmu," ujar seorang penjaga mengagetkanku.
Seorang wanita berperawakan kecil memakai atribut Pasukan Aliansi berupa pakaian coklat berkantong dengan bagian pada ujung lengan pendek berwarna biru tua. Celana lapangan hitam gombrang terlihat menutupi sampai mata kaki, memperlihatkan sepatu bot coklat yang benar-benar diatas ukurannya.
Wajahnya begitu mulus dan sedang tersenyum. Itu mengingatkanku pada ekspresinya ketika bertemu denganku beberapa bulan lalu, sebelum ia benar-benar pergi dari kompleks, sebelum ia mencabut diri dari dunia di hari itu. Tak kusangka akan menemukannya di tempat ini masih dalam keadaan sehat sentosa.
"Amir! Bagaimana kabarmu?" suaranya yang halus menari-nari dalam telinga. Tangannya yang kecil dan halus menggenggam tanganku yang lebih besar dan kasar. Tatapan matanya menyatu denganku. Seolah kedua mataku mengunci pada kedua matanya. Tidak kusangka aku bertemu dengannya.
"Kau ... kemana saja kau Mel?" rasa penasaranku tidak bisa dibendung.
"Maaf kepergianku begitu mendadak, ceritanya cukup panjang. Nanti akan kuceritakan semuanya. Tapi sebelum itu apa kau ingin menjadi salah satu Pasukan Aliansi dan menetap disini, bersamaku?"
"Hei kau!" teriak Clara berderap maju dari arah kamarnya. Ia ditemani oleh salah satu prajurit di belakangnya dan nampak kesal karena ucapan Melodi. Sekarang siapa yang tertawa?
Sebelumnya ia meragukan kalau aku bisa selamat di dunia luar setelah pengkhianatanku. Tapi lihat kan sekarang, aku disambut dengan tangan terbuka dan ditambah lagi Melodi ada di hadapanku. Ingin sekali kulihat ekspresi tidak percayanya.
"Clara ya? syukurlah kamu juga selamat dari kejadian semalam," Melodi tersenyum meskipun tampang Clara yang berusaha menahan kaget.
Langkahnya berhenti ketika kami menoleh ke arahnya. "A-apa kau Melodi?" tanyanya dengan ekspresi kaget, "Ya Tuhan, Apa yang terjadi padamu?".
Malaikat di depanku hanya mengangguk. "Ini abis kecelakaan beberapa waktu lalu, ngomong-ngomong kenapa kamu bisa berada disini juga?".
"Kami diserang setelah berusaha menginvestigasi pesawat jatuh itu, iya ya Mir ya?" Si muka dua tiba-tiba merangkul pundakku sambil tertawa. Ingin sekali aku membuang tangannya.
"Syukurlah kalian selamat, terimakasih sudah menjaga Amir."
"Haha bukan masalah kok," Clara membiarkan dirinya disalami.
Melihat pemandangan ini benar-benar memuakkan. Sudah tidak dipungkiri lagi ia benci padaku, apalagi dengan Melodi. Memasang akting meskipun sudah hal-hal yang ia baru saja katakan 30 menit yang lalu di kamarnya, lihat saja akan kupantau terus ra, tidak kubiarkan kepalsuanmu menipu aku atau Melodi. Aku menang!
"Aku sebenarnya ingin menanyakan dimana keberadaan timku setelah pertarungan kemarin. Kurasa mereka ada di Bandung bersama kami. Apa itu benar?" tanya Clara.
"Maaf kami hanya menemukan kalian berdua di hutan itu malam minggu lalu. Kompleks sudah mengkonfirmasi bahwa mereka sudah kembali dengan aman."
"Tunggu dulu, bagaimana denganku? Kenapa kompleks tidak mencariku?" tanyanya lagi.
"Kau dan Amir baru saja melewati kabut itu, tubuh kalian harus diperiksa terlebih dahulu pada fasilitas yang lebih mumpuni daripada kompleks. Tidak usah khawatir, kompleks menyetujuinya kok."
"Hmm masuk akal!" mereka semua melihat gumamanku.
Clara memegang kepalanya dan menggeleng. "Berapa lama kira-kira?".
Melodi hanya menggeleng.
"Sebentar ya beri kami waktu!" sebuah cengkraman kuat menekan tangan kananku. Clara menarikku ke belakang.
"Oke maafkan aku atas tindakanku tadi kepadamu, tapi ada yang benar-benar salah dengan ini semua", bisik Clara sambil sesekali matanya memperhatikan Melodi dan pasukan Aliansi lain.
"Apa maksudmu sih ra?" tanyaku bingung.
"Bukan bermaksud menghina penampilannya, tapi apa yang sebenarnya yang terjadi pada kulitnya, pada rambutnya. Kau nggak ngerasa aneh? Kulit wajahnya sekarang pucat dan mulus kaya kulit boneka. Lalu rambut palsunya, apa yang sebenarnya terjadi pada Melodi berambut panjang alami yang dulu? Terus seluruh badannya dilapisi oleh perban yang terlihat menguning, apa kamu ngga aneh, atau bertanya-tanya gitu?"
Penampilannya yang sekarang belum begitu penting bagiku. "Ga tahu ra, siapa tahu ia kena musibah sebelumnya."
"Dasar bo- ehm maaf. Lalu yang terpenting adalah kenapa Melodi ada di sini? Maksudku sejak kapan ia menjadi salah satu Pasukan Aliansi?" ia seperti berbicara sendiri.
"Ga tau ra! Mungkin setelah ia kabur dari kompleks," jawabku berusaha meyakinkannya kalau semua baik-baik saja. Tapi sepertinya aku harus memanas-manasinya sedikit.
Clara diam saja. Ia menatapku tajam. Sesekali ia menarik nafas dalam lalu menggeleng kepalanya.
"Apa yang kau pikirkan?"
Jawabanku dijawab oleh nyengiran. Andai aku bisa tahu apa yang sedang dipikirkannya. Haha, sembunyikan apapun yang kau bisa ra. Apapun yang terjadi aku tidak akan membiarkanmu mengacaukan momenku bersama Melodi jauh dari kompleks terkutuk itu.
"Kira-kira sampai kapan kita akan berada di sini?" tanyanya kembali pada Melodi.
"Sampai kami putuskan demikian," jawabnya, "Tapi sekarang kalo mau berjalan-jalan di luar silahkan, aku akan memberimu prajurit untuk mendampingi."
"Sendiri saja tidak apa-apa, hanya sebentar kok mencari udara di luar".
"Kami harus terus memantaumu ra," Melodi beranjak, "Kau mau ikut Clara Mir?"
"Lain kali saja," jawabku berusaha membuatnya pergi meninggalkanku sendiri.
Ia menerima baju casual yang disediakan prajurit itu, mengenakannya lalu pergi keluar bersama seorang prajurit, meninggalkan aku, Melodi, dan satu orang prajurit lagi di lapangan.
"Kenapa kau nggak biarkan Clara pergi saja, Mel? Kasihan ia ingin kembali ke kompleks," ujarku setelah dipikir-pikir kehadiran Clara disini karena kesalahanku dan aku berharap bisa mengurangi beban yang ditanggungnya tersebut.
"Aku nggak bisa Mir, ia akan membahayakan semua orang disini jika keluar, begitu pula kau", ia menggeleng.
"Lah kenapa begitu?" tanyaku bingung
Melodi menatapku dalam. "Mir, ayo jadi Pasukan Aliansi bersamaku!", ajaknya tersenyum.
"Nggak tahu Mel! Terlalu mendadak! Lagipula aku adalah pengkhianat kompleks. Apa ini nggak akan membuat kompleks marah jika mereka mengetahui ini?" tanyaku mulai mengerti apa pertanyaan Clara tadi.
"Nggak apa-apa kok Mir, aku juga sama denganmu tapi lihatlah aku."
"Tunggu sebenarnya apa yang terjadi padamu sehingga bisa ... begini?" Setelah memandangnya lagi, yang dikatakan Clara benar-benar mulai menggangguku.
"Ntar ya aku ceritakan, temani aku ke kediamanku," ia menarik tanganku menuju pintu keluar. Apapun yang terjadi sebelumnya, yang penting kita bisa bersama lagi.