Semua mata masih terlelap dalam tidurnya, belum ada satupun yang terbangun. Mereka masih merangkai mimpi indah, tidak peduli dengan hawa yang semakin dingin. Mereka terhanyut dengan mimpi yang indah, ada juga yang begitu kelelahan dan enggan mau terbangun. Meski guru sudah berusaha untuk membangunkan mereka semua, mereka tertidur layaknya seorang yang sedang dalam obat bius. Tidak ada yang membelalakkan mata dan masih bergelut dengan selimut yang sengaja mereka bawa dari rumah.
"Ayo! Bangun!" ucap Maria selaku guru.
Dari ucapan Maria, tidak satupun yang membuka mata. Maria kesal, diapun membangunkan mereka dengan caranya sendiri. Dia masuk ke dalam tenda masing-masing siswa-siswi dan kemudian menarik tangan mereka. Dengan cara seperti itulah mereka semua bangun dan bersiap-siap untuk mendaki.
"Baik, anak-anak. Sekarang waktunya kita mendaki, saya harap salah satu diantara kalian ada yang membawa senter untuk menerangi. Satu senter di depan, satu di belakang," ujar Santoso yang juga guru. Siswa-siswi mulai mencari siapa yang membawa senter, dan ternyata hanya Akbar yang membawa. Akbar pun mengambil barisan paling belakang, sedangkan barisan depan dipandu oleh Brian yang sebelumnya sudah mengajukan diri kepada guru. Semua sudah siap dan berbaris rapi, untuk menelusuri kawah gunung Bromo yang indah itu, sekalian mereka ingin melihat sunrise yang memukau. Mereka semua berjalan dengan baris rapi dan saling melindungi, Hayati berada dibarisan paling depan bersama Brian. Begitu juga dengan sahabat-sahabatnya, mereka semua berjalan dengan penuh semangat. Meskipun mata awalnya terasa kantuk, namun bayangan tentang sunrise membuat mereka lebih antusias lagi.
"Ini masih jauh, Kak?" tanya Sofia kepada Brian.
"Masih lama, kalian bawa air putih dan sudah berpakaian tebal kan?" tanya Brian.
"Iya, Kak." jawab Hayati, Marwah dan Sofia barengan.
"Bagus kalau begitu, kita akan terus berjalan ke ujung sana!" Brian menunjuk ke arah kawah yang berada di ujung. Karena langit masih gelap, mereka tidak sepenuhnya melihat ujung itu. Yang jelas dingin semakin menusuk kalbu, bahkan angin juga ikut berdesir pelan. Lautan pasir juga ikut serta memeriahkan perjalanan ke ujung. Mereka semua harus berjalan dan sampai ke kawah bagaimanapun cara yang akan dilaluinya.
"Semakin ke sini, anginnya semakin kencang saja!" kata Marwah.
"Iya, aku juga sudah mulai menggigil," ucap Sofia sembari menghangatkan tubuhnya sendiri.
"Iya, aku juga merasakan," ucap Hayati.
"Kalian bertahan saja, nanti kalau lelah, bisa istirahat terlebih dahulu." kata Brian.
Mendengar akan hal itu, mereka melanjutkan perjalanan kembali. Bagaimanapun mereka harus menyelesaikan dan membuat momen ketika sunrise. Selain ini adalah momen terakhir mereka bersama, mereka juga harus memberikan kesan yang indah, sebelum mereka melanjutkan ke universitas.
"Kalian masih kuat?" tanya Santoso.
"Boleh istirahat dulu, Pak?" tanya salah satu siswa yang bernama Joko.
"Boleh," jawab Santoso.
"Masih kurang berapa perjalanan lagi?" tanya Santoso kepada Brian.
"Sudah sampai separuhnya." Jawab Brian.
Mereka berhenti di pure tepatnya dipertengahan jalan ke kawah Bromo, di gurun pasir yang masih bertebaran. Semua siswa-siswi mengambil roti dan minuman di dalam tasnya masing-masing, wajah mereka masih remang-remang, sebab cahaya yang tidak begitu terang. Mereka saling mengunyah roti mereka masing-masing untuk mengganjal perut mereka yang kosong.
"Kelihatannya kawah Bromo dekat dari tempat camping, ternyata lumayan ya?" ujar Sofia.
"Iya, nafasku semakin tidak beraturan." ujar Marwah lemas.
"Kamu masih kuat?" tanya Hayati.
"Aku masih kuat kok," kata Marwah.
"Kalau begitu, kamu minum yang banyak. Agar semakin kuat dan daya tahan tubuhmu sehat kembali," ujar Hayati.
"Iya." kata Marwah.
Setelah selesai dan badan sudah bugar kembali, akhirnya mereka semua melanjutkan perjalanan. Meski tertatih, mereka memilih untuk bertahan. Selangkah demi selangkah telah mereka lalui, akhirnya mereka sampai di tangga. Dua ratus tujuh puluh anak tangga harus mereka lewati sekarang, untuk melihat sunrise yang memanjakan mata dan keindahan gunung Bromo dari arah ketinggian. Sebelum itu mereka harus memulihkan sekuat tenaga untuk menanjak dan menaiki anak tangga yang lumayan itu, haus, dahaga dan rasa lapar juga harus dikondisikan terlebih dahulu. Anak tangga yang telah dikerumuni banyak pengunjung lainnya, menyebabkan para siswa-siswi harus berpencar menunggu antrian.
"Apakah sudah siap?" tanya Santoso.
"Siap, Pak!" jawab seluruh siswa-siswi sebelum akhirnya mereka menaiki tangga dan berpencar. Panjangnya anak tangga yang begitu banyak, membuat mereka sepertinya sudah tidak kuat. Namun, mengingat keindahan alam di atas gunung Bromo membuat mereka semua menerobos rasa capek dan lelah mereka. Lain halnya dengan Hayati dan sahabat-sahabatnya yang menghitung tangga demi tangga yang mereka lalui, mereka ingin memastikan sendiri jumlah anak tangga yang ada di sana.
"Satu," ucap Hayati.
"Dua," lanjut Sofia di belakangnya.
"Tiga," lanjut Marwah.
Mereka masih bersama, sesekali mereka beristirahat hanya sekedar melihat sekitar yang sudah lumayan terang. Untuk menghilangkan rasa penat mereka, mereka juga sesekali berfoto ria. Mereka masih didampingi oleh Brian, meski teman-teman kelas yang lain masih berada jauh di belakang mereka. Ada momen terindah yang mereka rasakan, sedangkan untuk Akbar, dia masih saja bersama Reva kesayangannya. Terlihat dari atas tangga, Akbar begitu memperhatikan Reva. Ada rasa tidak enak hati yang dirasakan oleh Hayati, entah apa perasaan itu. Yang jelas, Hayati tidak suka dengan pemandangan mereka berdua yang semakin dekat.
"Tuh lihat! Itu Akbar dan Reva!" ujar Marwah menunjuk tepat ke arah Reva dan Akbar.
"Kenapa?" tanya Sofia.
"Mereka romantis banget, kamu yakin tidak cemburu?" tanya Marwah.
"Kenapa harus cemburu, aku sudah tidak peduli dengan mereka lagi. Kalau selera Akbar adalah Reva, maaf maaf saja. Aku sudah tidak tertarik lagi!" ujar Sofia.
"Yakin, nih!?" tanya Marwah.
"Iya, lah. Lebih baik kita lanjut mendakinya daripada bahas mereka." ucap Sofia melanjutkan langkah kakinya menaiki anak tangga. Mereka pun tertawa, saat mereka lupa akan hitungan anak tangga yang sedari tadi dihitung. Mereka melanjutkan perjalanan tanpa hitungan, mereka sudah tidak sabar lagi untuk sampai kepada kawah gunung Bromo. Akhirnya selangkah lagi mereka sampai, mereka perlahan menunggu sunrise tiba. Karena Hayati dan para sahabat-sahabatnya sudah sampai terlebih dahulu, akhirnya mereka bertiga memilih duduk dan menunggu teman-teman kelasnya.
"Mereka lama juga ya!" ujar Sofia.
"Iya, mereka lama. Mana gak bisa main sosial media, sinyal tidak ada!" celetuk Marwah sembari mencari sinyal.
"Sabar saja, kita tunggu." kata Hayati.
Mereka pun menunggu, akhirnya lima belas menit kemudian, teman-temannya sampai. Mereka kembali merapikan barisan, mereka sudah bersiap-siap untuk melihat fenomena alam yang banyak diidam-idamkan oleh setiap orang. Jam juga sudah menunjukkan pukul 05.00 pagi, perlahan-lahan sunrise menampakkan sinar indahnya sedikit demi sedikit. Meski sedikit terhalang oleh kabut, namun hal itu sungguh luar biasa. Tubuh yang semula menggigil kini hangat sedikit demi sedikit, pancaran sinarnya juga membuat suasana alam dan pemandangan begitu memanjakan mata. Alangkah indahnya pesona alam yang satu itu, hingga membuat yang melihatnya tidak mampu untuk berkata-kata.