Setelah beberapa hari aku mencoba memahami cara berpikir Luke, sedikit demi sedikit aku mendapat gambaran tentang apa yang dia inginkan. Mungkin Luke juga mulai melonggarkan tuntutannya, karena aku tidak lagi menemani dia berburu mangsa.
Pagi ini kami berencana menyaksikan pertandingan badminton antar kampus. Bian, sahabat kami sebagai salah satu pemainnya, akan mendapat dukungan penuh dari kami bertiga, bersama beratus-ratus cewek lainnya tentu saja.
Puri dan Maya bersemangat menciptakan yel-yel untuk Bian, cukup membangkitkan semangat bagi Bian yang terlihat melambaikan tangan dengan antusias. Lapangan indoor basket yang dipergunakan untuk pertandingan semakin padat penonton. Kursi hampir terisi penuh. Lima menit lagi pertandingan dimulai.
Ponselku bergetar pelan, dua buah pesan masuk. Aku membuka dan nama Luke muncul.
- cari orang difoto ini, dia datang bersama dua orang lainnya ke kampus -
Lalu muncul foto mirip dengan Daniel, anak jurusan teknik, yang ditaksir Maya bersama dua orang yang sepertinya bukan mahasiswa karena tampangnya sudah cukup matang. Pesan yang cukup ganjil dari Luke.
Aku mulai mengedarkan pandanganku ke sekitar kampus. Tidak ada tanda-tanda Daniel muncul.
-Kamu yakin? Belum muncul sampai detik ini-
Aku membalas pesan Luke.
-Terus cari, aku usahakan secepatnya kesana-
Balas Luke.
Aku menyimpan kembali ponselku. Suara gegap gempita penonton menyambut pemain yang mulai masuk ke lapangan membahana. Bunyi terompet dan peluit serta siulan saling bersahutan. Aku pun ikut bertepuk tangan. Saking sibuknya mencari sosok Daniel, tidak kusadari bahwa Maya sudah tidak lagi duduk di belakang . Puri terus meneriakkan nama Bian dengan teriakan paling keras.
Aku mulai cemas. Entah karena instingku yang mulai kuat akhir-akhir ini atau karena Daniel berhubungan dengan Maya yang membuatku khawatir. Kenapa Luke mencurigai Daniel?
Di tengah hiruk pikuk penonton, aku melihat ke seberang bangku penonton, Maya sedang bersama dengan Daniel. Deg! Dadaku berdegup kencang. Gerak gerik Daniel sangat mencurigakan. Aku berlari ke bawah dan berjalan setenang mungkin menuju mereka berdua. Aku melihat Maya sedang menolak dengan halus ajakan Daniel yang sepertinya berakhir menjadi paksaan.
Aku semakin panik karena Daniel terus menggiring Maya hingga menuju ke arah toilet kampus yang sepi. Maya mulai terdengar marah. Daniel kembali mendorong tubuh sahabatku dengan kasar. Aku tidak sabar lagi,
"Daniel, hentikan!" teriakku. Pemuda itu terkejut, tidak menyangka aku akan berada di situ.
Maya berlari dengan sigap ke arahku.
"Brengsek loe Dan! Nyesel gue pacaran sama loe!" teriak Maya emosional. Daniel terdengar mendesis.
Aku sontak mundur. Maya menunjukkan memekik kecil saat sedikit demi sedikit Daniel wajahnya berubah. Bermula dengan bola matanya yang memanjang mirip seperti mata ular, kemudian kedua taring mencuat dari mulutnya diikuti lidahnya yang semakin panjang keluar dan terbelah dua. Persis lidah ular.
Lambat laun leher Daniel memanjang. Mengeliat naik dan menuju arah kami berdiri. Aku menarik tangan Maya yang terus menjerit histeris dan kami berlari tunggang langgang. Saat kami hampir berbelok menuju ruang lapangan indoor muncul dua orang yang ada dalam foto kiriman Luke. Kami hampir menabraknya. Maya menjerit semakin tidak terkontrol.
Aku tidak punya apa pun untuk mempertahankan diri. Aku meneriakkan nama Luke dalam hati, tapi tidak juga muncul. Kami panik melihat Daniel dalam bentuk mengerikan semakin mendekat dengan leher yang terus menggeliat. Aku memandang dua lelaki yang juga ternyata bukan dengan tampang manusia biasa. Kuping mereka runcing berbulu, gigi tajam menyeringai, dan mata merah membara.
Oh Tuhan, makhluk apakah mereka? Inikah yang disebut Luke manusia jadi-jadian?
Pada momen kritis, Puri muncul dari arah belokan dan langsung menghantam dua lelaki dengan tendangan yang fantastis. Puri tidak berhenti di situ, dia menghajar terus dua makhluk manusia siluman tanpa ampun. Aku berlari mencari tempat aman sambil terus menarik tangan Maya.
Puri tampak agak kewalahan, menghadapi tiga kekuatan makhluk siluman. Aku mulai berdoa dan berharap semoga Luke segera muncul. Mataku sibuk mencari pertolongan dan berharap ada orang lewat, tapi lorong itu sepi dan tidak ada satu pun manusia. Hanya bunyi gemuruh sorak sorai dari lapangan indoor.
Buukk …. Suara hantaman keras terdengar dan tubuh Puri terhempas ke lantai.
"Puri!!" Aku menjerit tidak berdaya. Apa yang harus aku lakukan? Jika aku berlari ke arah lapangan meminta bantuan, kejadian ini akan menimbulkan kegemparan dan identitas Luke terbongkar. Daniel sudah siap mematuk Puri yang kesulitan berdiri tegak, kudengar derap kaki berlari di belakang, belum sempat aku menoleh dengan kecepatan kilat sosok itu menghantam satu persatu siluman hingga terdengar bunyi tulang patah.
Dengan gagahnya sosok itu berdiri di lantai dengan sikap kuda-kuda. Bukan Luke ataupun Bian. Siapakah dia? Merasa salah satu dari mereka terluka parah, ketiga manusia siluman itu pun kabur dan lenyap seperti asap tertiup angin, tak berbekas.
"Ma-makasih …," ucapku terbata-bata.
"Semprul, kenapa lama banget sih?" gerutu Puri. Aku terkejut ternyata dia mengenalnya. Cowok itu menoleh ke arahku dan Maya yang sudah jatuh terduduk syok.
"Kalian nggak papa?" tanya pemuda itu. Aku mengangguk kikuk.
"Rie kenalin ini Panji, sepupuku yang kuliah di sini, angkatan di bawah kita" terang Puri sambil memegang rahangnya yang lebam. Rambut sebahu Puri berantakan. Aku berlari memeluknya.
"Makasih Ri," bisikku dengan airmata terurai. Puri menepuk punggungku.
"Ayo cabut, kita liat seberapa parah lukamu," ajak Panji. Aku menyimpan semua pertanyaanku dan kami pulang ke rumahku.
Selama perjalanan, kami semua terdiam. Setiba di rumah aku terhenyak melihat mobil sport merah terparkir di garasi tapi Luke entah pergi ke mana. Aku melupakan mencari Luke dan menyiapkan kotak P3K untuk mengobati luka Puri. Panji yang ternyata mengambil jurusan kedokteran dengan sigap membantu mengoleskan betadine dan alkohol. Untunglah hanya berupa goresan. Setelah mengobati lukanya dan berganti baju yang kupinjamkan, Puri mengambil sikap meditasi di bantu Panji untuk memulihkan luka dalam dan staminanya. Aku membuatkan Maya teh hangat dan menemani dia di gazebo dekat kolam renang.
Tidak berapa lama Puri dan Panji kembali dan bergabung dengan kami di Gazebo.
"Rie dan Maya jika ada pertanyaan untuk kami atas kejadian tadi, silahkan?" kata Puri sambil meluruskan kakinya dan mengambil posisi santai.
"Sungguh mengejutkan kalian memiliki kemampuan bela diri yang bisa melawan mahkluk. Sejak kapan?" tanyaku, Panji tersenyum.
"Kami keturunan bangsawan Yogyakarta, hal seperti itu bukan asing bagi kami dari kecil. Untuk bela diri kami belajar juga sedari kecil," jawab Panji sambil membuka botol mineral dan meneguknya.
"Bagaimana kalian bisa tahu aku sama Maya dalam bahaya?" tanyaku kembali.
"Ya jelas, kamu dan Maya tiba-tiba ngilang, makanya aku cari," sahut Puri simpel.
"Kalian tahu tentang semua siluman itu?" desis Maya seperti berbicara pada dirinya sendiri.
"Maaf May," sahutku.
"Sekarang adalah waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya. Dulu kita tidak pernah menghadapi situasi aneh kayak gini, sulit buat menerangkan ke kamu," terang Puri dengan hati-hati.
"Sebenarnya tadi Daniel ngapain kamu sih? Sampe Luke mengirim pesan tiba-tiba," tanyaku. Puri duduk tegak dan melirik Panji serta kemudian menatapku dengan sikap waspada.
"Luke tau kalo Daniel Siluman?" tanya Puri, aku gugup karena kelepasan bicara. Aku berusaha mencari alasan tepat, tapi tidak kutemukan.
"Rie jawab yang jelas," kali ini suara Puri terdengar tajam dan tegas, dia bukan sosok Puri yang kukenal.
Panji juga memasang wajah keras.
"Daniel meminta aku mengantar ke rumah kamu Rie …, dan dia maksa banget," jawab Maya pelan tapi penuh keheranan.
"Siapa Luke sebenernya Rie? Apa yang kamu sembunyikan dari kami?" seru Puri. Aku memandang satu persatu dari mereka, tidak kumiliki kata-kata yang tepat untuk memulai penjelasanku, mulutku terbuka tapi ada kalimat yang keluar. Suasana menjadi hening dan aku terjebak sendiri.
"Jangan desak dia! Aku di sini, akan kujawab pertanyaan kalian," suara Luke membahana dari arah ruang makan. Kami semua menoleh. Baju Luke tampak robek dan kotor, dia terlibat pertarungan lagi. Puri dan Panji loncat dari gazebo dan memasang kuda-kuda serempak. Luke dengan santai membuka kulkas dan mengambil kaleng bir serta menenggaknya hingga habis. Tangannya melempar kaleng kosong ke dalam tong sampah dan masuk dengan tepat.
"Duduklah Puri dan Panji, aku memiliki tujuan yang sama dengan kalian," ujar Luke dengan gerakan tangan mempersilahkan mereka kembali duduk.
"Apa jaminannya bahwa kamu berada di pihak kami?" tanya Panji tegas. Wajahnya datar namun suaranya terdengar tegas.
"Aku memang penghuni neraka yang kalian sebut jahanam, tapi kaumku tidak pernah ingkar apalagi berbohong," desis Luke tajam.
"Tapi kalian penipu paling licik!" cecar Puri kembali.
"Dengarkan dia dulu," aku menyentuh tangan Puri, dengan terpaksa dia kembali bersikap biasa dan menarik Panji untuk duduk. Luke menatapku dan tersenyum hangat.
"Ceritaku mungkin akan mengubah dunia dan cara pandang kalian, bersiaplah karena terdengar sangat mustahil," Luke mengucapkan kata demi kata. Selama ini aku tidak pernah menanyakan alasan pasti Luke datang ke dunia. Aku harus siap dengan kejutan berikutnya.