Dengan susah payah aku membuka mata, pandanganku tampak buram. Hanya terlihat warna putih dan lampu panjang menyilaukan. Apakah aku sudah mati? Aku ingin bangun tapi tidak bisa saat menggerakkan tubuh. Kepalaku memutar dan semuanya gelap kembali.
Entah apa ini namanya namun aku melihat Luke berlarian di tengah sawah dengan sayap putih yang luar biasa indah. Bajunya hanya berupa kain putih yang dililitkan ke seluruh tubuh. Wajahnya sangat cerah dan bersinar. Luke berlari menuju pohon beringin raksasa yang mengalirkan air jernih dari sela-sela akarnya. Rambutnya tergerai lebih panjang dari yang aku lihat sekarang, dan raut mukanya lebih tampak bahagia tanpa beban. Luke tampil jauh berbeda dari yang pernah aku lihat. Betulkah aku sudah berada di dunia orang mati saat ini?
Dari balik pohon beringin, muncul sosok wanita dengan tinggi semampai yang sangat menawan seperti definisi bidadari yang selama ini aku lihat dalam buku fantasi. Rambutnya panjang hitam legam dan terkepang ke samping berhiaskan bunga putih, entah apa jenis bunga itu. Mirip melati namun sedikit lebih besar. Bajunya berkemban dengan kain batik bercorak asing. Buah dadanya yang besar terlihat hampir tersembul seluruhnya. Tubuh wanita itu tampak sangat sensual dan molek.
Kulitnya indah bagai pualam, kuning langsat dan mulus. Bibirnya ranum serta mungil, merekah seperti bunga mawar. Matanya bulat dengan bulu mata panjang melentik indah. Oh sungguh sempurna sekali. Dia bagaikan dewi kahyangan yang turun dari surga. Luke berlari ke arah wanita itu dan memeluk serta mencium dengan penuh hasrat. Kusaksikan adegan yang tidak aku inginkan, dan ingin memalingkan wajahku. Tapi tidak bisa. Mereka berbaring di tepi mata air dan melihat tubuh keduanya polos tanpa sehelai benang pun.
Luke semakin mempererat pelukan dan mencumbunya dengan penuh nafsu, perempuan itu melenguh dengan penuh kenikmatan tapi juga memegang sebuah belati ditangannya dan siap menghunjam punggung Luke. Aku berteriak memperingatkan Luke sekuat tenaga.
"Riona, Rie, bangun Rie, hush, its okay," suara Maya membuatku terjaga.
Aku terbangun dengan kondisi berbaring di tempat tidur dan tidak bisa bergerak. Saat pandanganku mulai jelas, ternyata berada di rumah sakit. Bian duduk menunggu di sofa.
"Aku ada di mana," tanyaku berusaha bangun. Tapi pundak kiriku terasa perih. Aku meraba dan terasa balutan perban. Maya tersenyum dan membetulkan posisi bantalku.
"Lho aku kenapa?" tanyaku heran.
"Pelan-pelan, kamu baru bangun," ujar Maya mematikan Televisi di kamar.
"Bukannya kita di rumah si bandot ya?" tanyaku lagi.
"Betul, tapi kita diserang sama komplotan iblis tua yang ternyata namanya Behlal, dewa ilmu hitam. Bian udah coba melindungi kamu tapi ternyata terlambat, pundakmu kena sedikit," terang Maya.
"Puri sama Panji? Terus Luke?" tanyaku bertubi-tubi. Maya tersenyum dan dengan sabar menjelaskan.
"Tenang mereka aman, cuman lagi memberi keterangan pada polisi. Soalnya simbok buat laporan kalo kita ini perampok katanya. Untung tidak ada bukti, ditambah iblis Behlal kabur dan kamu terluka. Sudah kamu istirahat dan baru penjelasan lengkap nanti," sergah Maya menahanku untuk bertanya lebih lanjut.
Aku ingin merubah posisi tidurku, badan terasa pegal dan pundakku terasa nyeri.
"Jangan dipaksa," ucap Bian dengan lembut. Aku menghembuskan napas kuat-kuat.
"Bi, terima kasih buat semuanya," Bian menyentil hidungku dengan jari telunjuk.
"Kita bersalah, terlalu berani menyerang tanpa persiapan yang baik dan matang. Terutama Maya yang paling keras menjerit dan heboh," sindir Bian mencoba melucu dan menggoda Maya
.
Aku tertawa pelan, sementara Maya bersiap dengan tamparan mautnya. Plak. Pipi Bian tercetak dengan indahnya warna merah, bekas telapak tangan sakti Maya, aku tertawa kecil. Setelah kunjungan dokter, aku kembali tertidur pulas. Aroma vanila dan hembusan napas hangat kurasakan di dahiku. Aku membuka mata dan mengerjap karena masih tampak buram. Pertama kali kulihat wajah yang sangat kurindukan, Luke. Memandangku dengan tersenyum. Kemudian Puri dan Panji. Maya dan Bian berada di sebelah kanan pembaringan.
"Hai ... kita pulang?" sapa Luke. Aku mengernyit heran, sembarang saja dia mengajak pulang.
"Emang udah boleh?" tanyaku.
"Luke pake magik jaran goyang, ibu dokter langsung mengatakan iya tanpa membantah," seloroh Puri.
"Semua cowok keluar, biar Rie ganti baju dulu," perintah Maya. Puri mengambil baju di tas dan meletakkan di atas tempat tidur. Semua keluar, tinggal Luke.
"Luke?" panggil Maya.
"Ya?" jawab Luke.
"Keluar," pinta Puri.
"Lho aku kan om dia," dalih Luke.
"Om dari hongkong, keluar," bentak Maya tidak kompromi. Luke keluar dengan terpaksa.
Setelah beres dan selesai, kami siap pulang. Bian mendekatkan kursi roda ke samping pembaringan.
"Kursi roda sudah siap nih," seru Bian mendorong ke samping tempat tidur. Aku mengangguk dan berusaha bangun. Maya membantuku tapi dengan sigap Luke mengendong dan membopongku tanpa terasa berat sedikit pun. Aku memekik tertahan.
"Luke turunin," pintaku. Luke diam tidak menjawab dan terus jalan. Aku ingin berontak tapi pundakku terasa ngilu.
"Luke please, aku malu," pintaku lagi, malu dengan tatapan mata sepanjang koridor rumah sakit. Ada yang berdecak kagum, tapi tidak sedikit yang mencibir sinis.
"Dan membiarskan Bian mendorong kamu dengan kursi Bodoh itu? Lupakan," jawabnya pelan. Aku pasrah dan meletakkan kepala didadanya, detak jantung Luke terdengar halus. Aroma tubuhnya mendamaikan perasaanku. Betulkah dia iblis? Kenapa kehangatan tubuhnya seperti manusia normal?
"Huh mentang-mentang kuat, main serobot gendong aja," gerutu Bian dari belakang, Panji sontak memeluk pundaknya untuk menghibur. Maya dan Puri mengikuti dari belakang sambil senyum.
***
Sudah seminggu sejak pulang dari rumah sakit aku harus bed-rest total. Keempat temanku bergantian menjaga. Puri merelakan diri untuk menginap juga merawatku. Sementara Maya meminta maaf karena orang tuanya tidak mengizinkan untuk menginap, jadi hanya berkunjung dan pulang sore hari. Luke sangat terbantu dengan bantuan para temanku. Aku terharu dan tidak lagi merasa sendiri.
Kemudian, aku mendapat cerita lengkap bahwa pundakku terkena tembakan peluru yang ditembakkan dari luar. Bian yang sudah melihat dari balik pintu langsung berlari ingin melindungi tapi rupanya sudah terlambat. Hari ini keempatnya tidak akan hadir. Mereka menjadi penyambut tamu reuni akbar. Aku akan sendiri di rumah dengan Luke.
Bayangan mimpiku di rumah sakit mengusik dan membuat ingin bertanya. Ada rasa tidak nyaman saat melihat Luke mencumbu wanita itu. Secara fisik perempuan itu di atas segalanya. Aku? Tinggiku hanya 155 cm. Rambutku sebahu dan agak ikal. Kulitku memang putih, tapi tubuhku terlalu mungil. Tidak tinggi semampai. Pinggangku dan bokongku bulat padat kecil. Payudara? Aku cukup beruntung karena ukurannya lebih dari cukup. Duh, aku malu sendiri mematutkan diri dengan tubuh telanjang di depan kaca. Aku segera memakai baju dan keluar kamar.
Aku menatap Luke yang terlihat sibuk menata masakan di atas meja. Saat mendekati, hidungku mencium aroma bebek bakar madu yang menggugah selera. Luke terlihat lain dengan rambut diikat setengah ke atas. Rambut gondrongnya menambah daya pikat lelaki ini.
"Makan yuk," ajaknya, aku mengangguk dan menarik kursi duduk.
"Aku sudah berhasil menangkap Dumballa dan Coyote. Tinggal dua target lagi," Luke membuka cerita.
"Aku mimpi Luke," aku tidak merespons beritanya tapi malah kubawa mimpiku dalam diskusi.
"Mimpi apa?" Jarak Luke denganku tidak jauh, aroma vanila yang menjadi ciri khasnya tercium di hidungku. Aku baru ingat, bunga yang menghiasi rambut wanita itu adalah bunga vanila! Hatiku mengeras.
"Kamu nggak baca pikiranku?" tanyaku menyelidik, Luke menggeleng.
"Aku putuskan tidak lagi," jawabnya.
"Mimpi yang kulihat adalah kamu dalam fisik masih bersayap, dan perempuan cantik banget, berambut hitam panjang." Aku menarik napas.
"Kalian bercumbu," lanjutku.
"Bunga yang menghiasi rambutnya adalah vanilla." Cerita berakhir dan aku menunggu reaksinya. Luke meletakkan garpu dipiring. Tangan kiri Luke meraih gelas berisi wine merah dan minum dengan nikmat.
"Sudah?" tanya Luke.
"Perempuan itu yang membuatmu kembali ke dunia ini kan?" tanyaku.
"Iya dan tidak," jawab Luce kembali menikmati makan malamnya.
"Tolong jelaskan," pintaku.
Luke mengambil napas panjang dan mengelap mulutnya. Matanya menatap dengan tajam.