Aku masih menunggu penjelasan dari Luke mengenai mimpiku. Luke tidak lagi menahan dan kalimatnya pun meluncur.
"Seperti cerita iblis tua bodoh itu, aku jatuh dari surga dan menjadi penghuni neraka karena perempuan tersebut. Jadi kukejar iblis dan perempuan laknat itu yang mengadukan berita palsu. Kedua, bukan karena wanita itu aku kembali, aku harus mengejar target untuk mengembalikan nama baikku yang rusak selama 2000 tahun, puas?" tanya Luke menuang kembali botol wine ke gelas.
"Bohong, aroma tubuhmu tercium vanila, sama dengan bunga yang dipakai wanita itu," serangku. Luke tertawa. Dia membuka kancing bajunya, aku gugup dan menutup mata.
"Luke!" bentakku.
"Relaks, buka matamu," pinta Luke.
Aku membuka mata dan melihat arah telunjuk Luke di pundak kanannya. Sebuah tattoo bunga vanila seukuran lima senti.
"Dari sinilah aroma vanila berasal. Perempuan itu menandaiku dengan mantra busuknya, berupa tattoo ini. Ya aku dulu jatuh cinta dan tergila-gila pada dia. Sebelum aku tahu bahwa dia tidak lebih dari pengumbar nafsu dan kolektor laki-laki pada jamannya. Saat aku memutuskan pergi, dia tidak terima," Luke menutup kembali kemejanya. Ada rasa lega yang menyelinap di hatiku.
"Inilah alasanku mengejar Behlal supaya memberitahu di mana perempuan bejat itu, aku ingin menghilangkan mantra konyol ini," Luke memandangku lagi. Aku tidak lagi mengajukan pertanyaan.
"Ada lagi nona judesku?" jelas sekali Luke meledekku. Aku diam tidak menjawab, dan menyibukkan diri dengan bebek panggang dipiring.
Aku meluruskan kakiku di gazebo. Dua target lagi dan Luke pergi. Apa yang akan terjadi padaku selanjutnya? Tidak selamanya Luke akan ada dan mau bersamaku. Aku harus mulai belajar mandiri. Usiaku bukan remaja yang tidak bisa bekerja. Harus mencoba dari sekarang.
"Pertama kali aku datang ke bumi, aku terpesona oleh yang kalian sebut air. Hal paling ajaib yang pernah Magna Patris ciptakan selain kalian manusia. Di sebuah air terjun jugalah pertama kali aku bertemu dengan dia. Seorang gadis yang sangat cantik dan mempesona. Bahkan bidadari ataupun malaikat tidak ada yang menandingi dia saat itu. Ternyata penampilan yang indah tidak seindah hati dan sifatnya," pandangan Luke menerawang ke depan.
"Aku memang bodoh dan dangkal, tapi semoga aku bukan jenis yang kamu maksud," jawabku pelan.
Luke menoleh menatapku.
"Kamu benar-benar tidak menyadari kelebihanmu ya?" tanya Luke, aku jadi bingung.
"Maksudmu? Aku pintar? Ya, aku tahu," jawabku pura-pura menyombongkan diri, Luke tertawa dan menatapku dengan sangat lama.
"Jangan melihat seperti itu, aku tidak suka?" cetusku, kejudesanku mulai muncul.
"Kamu cantik," ucap Luke kemudian bangkit dan melenggang dari sampingku. Aku mematung. Ini kedua kali dia memuji. Tanpa sadar aku tersenyum.
***
Pagi hari, aku mengemasi dan merapikan kertas lamaran kerja dan memasukkan dalam amplop coklat. Berbekal ijazah SMA dan IP terakhir, aku akan berburu pekerjaan hari ini. Seperti tekadku yang ingin mandiri, aku berniat mencari penghasilan dari bekerja. Jika Luke tidak lagi bersamaku, maka aku tidak mungkin memiliki seseorang yang menanggung hidupku nanti.
Satu persatu perusahaan kecil kudatangi, bahkan toko dan restoran yang mungkin membutuhkan seorang Admin. Kakiku mulai penat. Berjalan sekian jam menelusuri tempat yang lumayan jauh membuat kakiku lecet dan terasa perih. Belum lagi bekas luka di pundak yang masih terasa nyeri. Aku beristirahat di bawah sebuah pohon rindang yang ada tempat duduk. Ternyata tidak mudah mencari pekerjaan.
"Riona?" sebuah suara yang kukenal memanggilku. Aku menoleh, Panji berdiri dengan seorang wanita berumur yang aku tebak pasti ibunya.
"Kok di sini?" tanya Panji heran. Aku tersenyum namun tidak segera menjawab.
"Halo Pan, siang tante," aku menyapa dan memberi salam. "Sedang cari kerja," sahutku tanpa gengsi. Panji tampak terkejut.
"Bukankah ada …,"
"Aku mau mandiri," potongku. Panji geleng-geleng kepala. Ibunya mengamati kami.
"Waduh, mendingan bantuin tante aja daripada kerja sama yang lain. Kebetulan sedang butuh karyawan, besok pagi mulai bisa?" ibunya Panji langsung menawarkan diri. Semangatku terpompa.
"Betul nih? Boleh tante."
Ibu Panji mengangguk dan menawarkan aku untuk bekerja di kafenya mulai besok. Begitu pulang, Luke tidak menunjukkan kecurigaan apa pun. Aku mulai mengatur rencana, karena angkot yang lewat rumah sangat jarang maka aku harus jalan lebih pagi ke toko supaya tidak terlambat. Aku berusaha bersikap normal dan menyimpan rapat-rapat. Luke mungkin akan menentang habis-habisan. Aku sangat hapal dan paham sikapnya.
"Makan dulu?" ajak Luke. Aku mengelak dan mengatakan sudah makan tadi. Ini adalah cara untuk menghindar supaya dia tidak bertanya aktivitasku hari ini.
Pagi buta aku bangun dan sudah bersiap diri. Hari pertama bekerja ternyata tidak sesulit yang aku pikir, walaupun kakiku menjerit ingin istirahat. Tugasnya cukup mudah dan aku suka melakukan pekerjaan ini. Keterlaluan jika aku harus menyerah hanya karena fisikku yang belum terbiasa bekerja. Tidak akan ada lagi Riona Nataline yang cengeng dan lemah. Aku harus belajar menjadi wanita dewasa.
Malam ini aku pulang agak terlambat. Hampir jam tujuh aku tiba. Mobil sport merah tidak ada di garasi. Hatiku lega karena tidak harus menjawab pertanyaan dari Luke. Secepat kilat aku masuk dan segera mandi. Begitu selesai aku melihat ponselku bunyi, Luke menelepon. Aku segera mengangkat.
'Halo'
'Rie, dimana kamu?' suara Luke terdengar khawatir.
'Sudah dirumah, kamu pulang jam berapa?' aku mulai merasa gelisah.
'Sebentar lagi sampe, jangan buka pintu pada siapapun kecuali aku' kemudian telepon mati. Apa sih maksudnya Luke?
Inikah peringatannya tentang tidak mengundang orang asing masuk rumah dengan sembarangan? Aku setengah berlari mengunci semua pintu dan akses masuk. Sekarang tinggal menunggu Luke datang dan semuanya beres. Sepuluh menit kemudian terdengar suara Luke memanggil di luar. Hatiku menjadi lega, syukurlah tidak lagi khawatir karena teror iblis yang sudah kualami dua kali. Langkahku terhenti, sesaat heran, kenapa Luke tidak naik mobil? Getar di ponsel mengurungkan niatku untuk membuka pintu, Luke lagi? Aku mengendap menjauh dari pintu dan berdiri di ruang keluarga yang masih bisa melihat pintu depan dengan jelas. Luke masih memanggilku dari luar pagar.
'Luke?'
'Aku lima menit lagi sampai, ada yang datang?' tanya Luke setengah teriak, aku langsung merinding. Maksudnya apa? Sekarang yang ada di luar pagar siapa?
'Kamu jangan macem-macem ya Luke, kamu ada di luar pagar sedang memanggilku' suaraku terdengar gemetar.
'Aku nggak macam-macam Rie, kamu liat aku lagi nelepon nggak?' mulutku terkunci, gemetar dan panik mulai menyerangku.
'Luke, aku takut … dia sudah masuk ke halaman rumah,' bisikku.
'Sialan,' Luke mematikan panggilan.
Aku bersembunyi di balik gorden ruang tamu. Jika memang dia Luke maka dia punya kunci cadangan rumah. Sosok yang mirip Luke kini mengetuk kaca pintu. Menurut Luke yang asli, makhluk itu tidak bisa masuk tanpa diundang atau dipersilahkan, mungkinkah jika aku buka pintu dia tidak bisa melewati pintu masuk? Aku bimbang. Kembali kaca pintu diketuk sambil meneriakkan namaku. Oh Tuhan, tolong aku. Terus menerus aku harus menghadapi teror, sampai kapan? Aku capek!
Aku tidak mau lari lagi dan ingin menjalani hidup normal atau bahkan menjadi tumbal sekalian, biar jelas dan bukan berada di tengah-tengah tidak jelas seperti ini.
"Kalo kamu bukan Luke tolong pergilah, aku capek dikejar begini terus!" teriakku, muka Luke terlihat terkejut.
"Maksud kamu apa?" tanya Luke heran.
"Jangan bohongi aku lagi tolong," pintaku putus asa. Luke menatapku dengan mata mengernyit dan siap melemparkan kalimat. Aku sangat takut mendengar kebenaran yang mungkin akan keluar dari mulutnya sebentar lagi.