Aku menulis laporan akhir shift dan meregangkan tubuh yang terasa penat. Maya meringis kesakitan sambil memegang tumit kakinya.
"Kenapa May?" tanyaku.
"Tumitku lecet, duh padahal baru hari pertama, kamu yang seminggu gimana kabarnya tuh kaki," keluh Maya. Aku tertawa dan menunjukkan kedua tumitku yang berbalut plester. Maya seperti biasa terbeliak matanya.
"Ya ampun, itu plester sampe tiga baris! " seru Maya dengan raut syok.
"Nggak ada pilihan, tapi sebentar lagi pasti terbiasa kok," sahutku ringan. Maya menurunkan kakinya dan tidak lagi mengeluh, dia berdiri dan memandangku dengan mata berkaca-kaca.
"Hidupmu jungkir balik begini, tapi kamu bisa kuat," bisiknya haru.
"Get used to it," sahutku berusaha tegar, walau mataku mulai merebak.
"Kita jadi berkumpul sore ini nggak?" tanya Puri yang muncul dari belakang, kami mengiyakan dan bersiap serta meluncur ke rumahku.
Begitu sampai, Puri dan Maya merebahkan diri di gazebo dan menungguku mandi. Luke mungkin ada di kamar karena mobilnya kulihat parkir di garasi. Begitu selesai, kulihat Puri dan Maya sedang tertidur, mungkin kelelahan karena bekerja seharian. Aku tersenyum geli. Dulu, aku dan Maya yang sudah berteman sejak SMP, selalu membayangkan bagaimana rasanya menjadi dewasa dan bekerja serta memikul tanggung jawab. Tapi sekarang, saat ini kami lakukan, ternyata tidak semudah yang diucapkan dulu. Aku membuka kulkas untuk mengambil minuman dingin. Pintu kamar Luke terbuka. Aku pura-pura tidak mendengar. Luke berdehem. Tetap tidak kutolehkan wajah sedikitpun.
"Rie," panggil Luke. Aku diam tidak merespons. Luke mengeluarkan helaan napas panjang. Mungkin berusaha membujukku kembali.
"Sampai kapan kamu mau diam dan tidak mau mendengarkan penjelasanku?" tanya Luke. suaranya dalam dan tenang.
"Tergantung," jawabku sambil menarik kursi di meja makan dan duduk. Luke bersandar di tembok, matanya memandangku dengan serius.
"Inikah yang dilakukan bangsa manusia jika marah?" tanyanya kembali.
"Ya, apa kamu berharap kami akan menyemburkan api dari mulut?" sindirku sinis. Luke tersenyum. Dia berjalan mendekatiku.
"Kupikir hubungan kita semakin membaik," ditariknya kursi di depanku dan duduk.
"Sebelum kamu mengingkari janjimu, dan meninggalkan aku seperti orang asing," desisku makin tajam. Luke berkerut keningnya.
"Janji? Untuk melindungimu? Seperti yang diucapkan pacarmu Bian?" tanya Luke dengan nada tinggi.
"Pertama, Bian bukan pacarku, dan kedua kamu berjanji tidak akan meninggalkan aku. Tapi Luke, kamu selalu menghilang setiap aku membutuhkan kamu …," seruku sambil mengusap air mata yang mengalir di pipi. Luke tertawa. Aku seketika tersentak dan tersinggung.
"Sebesar itukah kamu membutuhkan aku? Rie, inilah yang membuat kalian kaum manusia terpuruk! Tidak bisa menangani masalah kemudian menyalahkan orang. Aku tidak bisa selamanya melindungimu. Masalah yang sedang kucoba selesaikan bukan berputar pada dirimu. Jadi usap air mata cengengmu dan mulai belajar menjadi manusia yang tahan banting," ucapnya dingin.
Aku memandang Luke dengan tidak percaya. Betapa teganya dia melempar ucapan itu kepadaku.
"Jangan pernah bicara lagi sepatah kata pun padaku," desisku penuh amarah.
Tiba-tiba kudengar suara tertawa perempuan yang membuatku bergidik, aku dan Luke menoleh dan melihat wanita kemarin yang ditemui Luke.
"Inikah primadonamu sekarang Luke?" tanya perempuan itu sambil berjalan ke arah kami. Suara sepatu berhak tinggi berdetak nyaring. Bajunya lebih pantas digunakan untuk pesta, warnanya merah menyala dan terbuka dimana-mana. Auratnya jelas terlihat. Mulutku seketika membuka.
"Kenapa datang sekarang?" bentak Luke. Wanita itu tidak peduli. Dia duduk di sofa dan menyilangkan kakinya dengan cara yang mengundang nafsu. Luke membuang muka.
"Perkenalkan aku Maktika, kekasih abadinya Lukas," ucap wanita itu sambil tersenyum.
"Mimpi kamu," desis Luke sinis. Aku harus mencari cara pergi, batinku.
"Silahkan selesaikan masalah pribadi kalian," ujarku sambil bangun.
"Duduk Rie, Maktika ada yang ingin dia sampaikan," pinta Luke melunak. Aku kembali duduk dengan ragu.
"Tidakkah kita saling melepas rindu dulu Luk, kemarin aku belum puas," pinta Maktika manja. Luke menunjukkan muka datar. Tidak ada jawaban. Wanita siluman itu menghela napas dan tanpa tersinggung tersenyum dan berpaling padaku.
"Baik, atas permintaan Luke, untuk menebus penderitaan yang telah kutimpakan kepadanya, aku harus membantumu lepas dari perjanjian darah dengan Belpeghor," aku mengerutkan keningku. Maktika membantuku? Jadi selama ini Luke menghilang karena dia ingin mencari cara memutuskan janji darahku? Meskipun dia harus berhubungan kembali dengan Maktika? Oh Tuhan, aku sudah salah sangka! Aku memandang Luke dengan pandangan menyesal.
"Sayangnya itu harga yang jauh lebih mahal dari yang mesti kutebus," lanjut Maktika penuh kelicikan.
"Maksudmu apa setan?" seru Luke tajam. Maktika tertawa senang.
"Jadikan aku permaisurimu di neraka Luke, dan aku akan melakukan apa pun untukmu," bujuknya penuh tipu daya. Luke sontak naik pitam.
"Bukan itu yang kau ucapkan kemarin," desisnya geram.
"Kenapa? Begitu sulitkah? Atau kau sudah memiliki perasaan terhadap yang lain? Seperti yang dikatakan Asmodeus?" Maktika melirikku. Aku mulai takut. Asmodeus adalah dewa nafsu yang juga menjadi target incaran Luke. Wanita yang kami temui dirumah kosong dua minggu yang lalu. Apa yang dimaksud Luke memiliki perasaan terhadap yang lain? Kepada siapa? Hatiku berdebar kencang. Wajah Luke mengeras.
"Jangan libatkan hal lain di luar diskusi dan kesepakatan kita, Maktika." Luke mulai menunjukkan amarahnya.
"Katakan iya, atau aku tidak akan melakukan sama sekali," ancam Maktika dengan ringan. Kakinya bergoyang-goyang tanpa beban sedikit pun.
Luke terjebak. Aku masih tidak memahami. Siapa perempuan yang dimaksud Maktika dan kenapa Luke tidak mau mengakuinya? Aku menekan hatiku dan berusaha bersikap netral, ini tidak adil bagi Luke untuk mengiyakan.
"Kalau memang berat buat Luke mengucapkan iya, tidak apa-apa. Aku tidak berhak memintanya berkorban untukku," aku mengucapkan kata-kata itu dengan nada putus asa. Harapan yang tadi sempat muncul sirna. Mungkin Luke ingin bahagia bersama wanita yang dicintainya, bukan dengan Maktika.
"Oh Riona, jadi kamu belum tahu siapa wanita itu?" tanya siluman yang suaranya sangat menjengkelkan ditelingaku.
"Aku tidak peduli, bukan urusanku," jawabku sambil menelan pahit dan berdiri, aku harus meninggalkan mereka berdua. Aku tidak mau terlibat dengan masalah mereka, yang entah membuatku tidak nyaman.
"Betulkah?" tanya wanita siluman itu dengan pandangan heran.
"Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan Maktika!" bentak Luke.
Maktika tidak peduli, dia berjalan ke arahku. Jarinya yang berkuku runcing menyentuh wajahku.
"Jangan sentuh dia Maktika!" ancam Luke. Maktika tersenyum. Tubuhku gemetar saat kukunya menelusuri leherku. Wajahnya terlihat sadis dan bengis.
"Wajahmu memang tidak lebih cantik dariku, tapi jiwamu yang membuat dia jatuh cinta. Kau dan dia belum saling menyadari. Dan, wow, dia belum menyentuhmu sama sekali?" Maktika berpaling kepada Luke dengan tatapan takjub.
"Maktika lepaskan tangan kotormu dari wajahnya!" teriak Luke tidak sabar.
"Ok Ok, tenang. Aku tidak akan menyentuhnya Lukas, dia milikmu."
Maktika melepaskan cengkeram tangannya di leher. Aku terjatuh dan duduk di lantai. Tubuhku gemetar, sesaat kupikir wanita itu akan membunuhku mengingat dia pasti mengenal Belpeghor dan mungkin berada dipihaknya. Wanita itu sangat menakutkan.
Begitu Maktika berjalan menjauhiku, Luke melesat bagaikan anak panah mencekik lehernya.
"Katakan kau akan membantu Riona atau kuhabisi kau sekarang!" desis Luke penuh angkara.
"Tenang Luke, aku akan membantumu," jawab Maktika dengan ketakutan dan panik. Luke menggigit jari tangannya dan mencorengkan darah di dahi Maktika.
"Tidak perlu kau tandai aku seperti itu Luke!" jerit Maktika histeris.
"Sekarang kau tidak bisa lari dari janjimu iblis!" kata Luke merasa menang.
Maktika melolong ngeri dan lenyap dari pandangan. Suasana kembali senyap, dan aku tidak mampu membendung lagi, tangisku pecah sejadi-jadinya sementara duduk di lantai. Luke mendekat dan duduk di lantai bersamaku.
"Rie," panggilnya. Aku mengangkat wajahku. Tangannya mengusap air mataku.
"Tidak seharusnya kuundang dia kesini," bisik Luke penuh penyesalan. Aku masih gemetar dalam isak, tangan Maktika yang dingin masih terasa di leherku.
Luke mendekatkan wajahnya, jarinya menyibakkan rambutku yang menutupi wajah. Dikecupnya daguku hati-hati, jantungku berdebar tidak terkendali tapi aku tidak sanggup menolaknya, perasaan apakah ini? Dengan gerakan perlahan, bibirnya menyentuh bibirku, melumatnya dengan lembut dan penuh perasaan. Kupejamkan mata pasrah menikmati sentuhan lelaki pertama kali. Luke menciumku dengan cara yang menggairahkan. Bibirnya terasa manis dan memabukkan. Luke melepas dan memandangku tersenyum.
"Jangan menangis lagi," bisiknya. Aku ingin menjawab, tapi sesuatu berdesing dan menghunjam punggung Luke.
Luke terdorong ke depan dan terengah, aku melihat darah keluar dari kemeja birunya. Aku panik, tubuhku seperti mendapat tekanan berat dan kupingku berdengung.
"Luke," bisikku dengan air mata yang mengalir tanpa isak.
Luke memandangku dengan tatapan sedih. Sesuatu dari belakang menghentaknya dan menarik Luke ke sebuah lubang hitam yang muncul tiba-tiba ditembok ruang makan.
"Luke!!" teriakku histeris. Aku ingin mengejar Luke tapi tangan Puri menahanku. Aku meratap pilu. Di saat aku menyadari perasaanku, aku kehilangan dirinya. Comeback Luce, I still need you!