Pukul enam sore Bian datang dengan baju basah oleh keringat. Wajahnya tampak masam dan duduk dengan bahasa tubuh kesal. Maya menjelaskan dengan sabar. Bian sesekali melemparkan kalimat tidak percaya, namun Panji mendukung dengan pernyataan dari pengalamannya selama ini. Bian pun akhirnya tampak memahami walaupun masih terkejut dan syok. Panji kemudian melanjutkan penjelasan Maya dan membeberkan hingga detail terkecil.
"Ini cerita paling gila dibandingkan kisah pocong, genderuwo, kuntilanak dan tuyul!" seru Bian dengan raut terpana.
"Kamu pernah ketemu semua makhluk itu?" tanya Maya dengan keras.
"Nggak semua sih. Tapi pocong pernah," jawab Bian sambil mengusap wajahnya dengan gelengan kepala yang tidak berhenti. Aku mendengar Maya, Panji juga Bian melanjutkan perbincangan tentang makhluk yang menjadi momok masyarakat Indonesia selama ini.
Aku dan Puri memasak untuk makan malam. Ternyata Puri cukup lihai mengenal semua bahan-bahan dapur yang bagiku terasa asing.
"Ri, Luke bilang kalo laki-laki calon suamimu dulu itu juga alasan Luke datang ke dunia ini. Kamu tahu dia?" tanyaku hati-hati, Puri berhenti sebentar memotong sayur dan memandangku.
"Aku tidak mengenalnya dengan baik, tapi kakekku pasti tahu sedikit tentangnya. Kamu yakin Rie kalo Luke bilang gitu?" tanya Puri dengan wajah ragu, aku mengangguk dengan yakin.
"Aku cari tahu dulu. Siapa tahu ada titik terang. Mbak kakung mungkin punya informasi," ucap Puri dan meletakkan pisau serta meraih ponselnya. Aku menunggunya dengan tidak sabar. Kenapa saat Luke membicarakan tentang pria tua itu wajahnya murung? Apa yang diperbuat laki-laki itu sehingga Luke menjadikannya sebagai target? Ada rahasia apa lagi dibalik ini semua?
Puri kembali dengan wajah setengah bingung.
"Gimana? Ada info?" tanyaku penasaran.
"Kakekku bilang dia berasal dari Jawa Barat, tapi aku nggak yakin dia berasal dari sana. Pasti ada alasan yang membuat si kambing bandot ini memilih Jawa Barat sebagai asalnya," jawab Puri menjadi ikut penasaran.
"Mungkin karena dia akan lebih bebas? Ingat kata Luke? Daerah ini menjadi kekuasaan Ratu Kidul, jadi dia tidak akan berbuat semena-mena," balasku dengan asumsi.
"Cukup masuk akal sih. Tapi Kenapa Luke mengejar dia? Apa jangan-jangan dia salah satu raja kecil neraka?" tanya Puri sambil bergidik. "Untunglah aku nggak jadi nikahin si bandot," gumam Puri dengan wajah pucat.
"Kenapa Ri?" tanya Maya muncul dengan bumbu yang sudah terkupas semua.
"Inget nggak calonku yang fotonya pernah aku kasih tahu ke kalian?" tanya Puri sedikit keras supaya Bian dan Panji ikut mendengar.
"Iya yang bikin Pakdhe Baskara marah-marah kan," sahut Panji terkekeh.
"Iyalah, bapakku mana terima anak gadisnya dijodohkan. Mbah kakung aja yang ngaco dan tergiur janji manis si bandot. Cuman gara-gara dia mengaku keturunan Ratu Kalingga." Wajah Puri tampak kesal.
"Nah Panji, kamu tahu informasi tentang dia?" tanya Puri kemudian. Panji diam berpikir sejenak.
"Terakhir kali datang ke pernikahannya di Sleman, keluarga kita juga di undang, aku ikutan datang kok," ujar Panji. "Kenapa kok tiba-tiba berubah pikiran, nyesel nih, mau balikan," goda Panji lagi. Bukannya marah, Puri malah meloncat senang.
"Kamu masih ingat rumahnya di mana?" Puri berjalan mendekat ke Panji, sepupunya mengangguk yakin dengan bingung. Aku ikut memekik kegirangan.
"Kenapa sih kalian berdua" tanya Bian penasaran.
Puri menceritakan dengan singkat dan jelas. Mungkin untuk membantu Luke, kami turut mencari keberadaan iblis yang lain sehingga Luke bisa focus mengerjakan tugas lainnya. Bian tampak antusias.
"Gue suka sama ide loe Ri, kita berangkat dah …," seru Bian semangat. Maya mendelik.
"Jangan malem ini dong besok aja, gue kan belom ijin ortu, lagian nggak bawa baju," protes Maya. Semua mengangguk setuju.
Malam itu kami menyusun rencana hingga matang. Setelah selesai, Puri dan Panji pulang, sedangkan Maya di jemput oleh sopir. Bian merelakan dirinya menemaniku hingga Luke pulang. Aku membuatkan Bian kopi dan menemani di gazebo sementara dia sibuk dengan laptopnya.
"Bi, kalo boleh tau kenapa Ibu kamu meninggal?" tanyaku. Bian membeku dan tidak menyangka mendapat pertanyaan tersebut.
"Mama meninggal karena kanker," sahutnya pelan. Aku diam dan merasa bersalah karena melemparkan pertanyaan sensitif itu.
"Sorry Bi, aku nggak bermaksud mengungkit hal buruk cuman pengen tahu," sesalku.
"Tapi itu bohong, setelah gue gede dan nyari tau, Mama meninggal karena di santet sama lelaki yang mengejar-ngejar dia," lanjut Bian sambil menutup laptopnya. Aku terperanjat, wajahku termenung. Bukan cuman aku yang memiliki masalah dengan iblis, ternyata Bian pun sama.
"Hidup ini penuh dengan misteri, terkadang tidak masuk akal dan nalar. Tapi itulah kenyataan. Kamu beruntung masih punya Luke yang siap melindungi kamu dan membantu melewati masa-masa tersulit hidupmu. Aku dulu harus berjuang sendiri. Papaku terlalu larut dalam kesedihan dan tidak perduli. Kakakku yang cewek sama aja, drugs dan diskotik. Sampe akhirnya mati over dosis. Untung adikku diambil sama tante dari mama. Syukurlah dia diurus dengan baik soalnya tante juga tidak punya anak. Sekarang tinggal aku, yang harus kerja untuk menghidupi diri sendiri." Bian tampak menerawang ke depan.
"Papamu?" tanyaku dengan bingung.
"Dia sih ada kerjaan, bokap kan jaksa. Jadi kerja nggak kerja dapet duit dari pemerintah. Tapi gue nggak sudi makan uang dari dia, kalo nggak kepaksa banget, jarang juga komunikasi," sahutnya tersenyum getir.
"Bi, jangan begitu. Papamu kan juga mengalami kesedihan sendiri. Pasti sulit menerima karena mamamu adalah belahan jiwanya," kataku mencoba untuk meringankan beban hatinya.
"Dia harusnya lebih kuat dari kami, Rie. Kita semua juga terpukul dan kehilangan," suara Bian tertelan oleh air mata. Kami berdua terdiam dalam kesedihan masing-masing. Bagaimana dengan aku? Orang tua yang jauh lebih egois mengorbankan anaknya demi kesenangan duniawi? Kalaupun ada waktu dan kesempatan aku ingin menanyakan itu kepada mereka.
"Dia seharusnya menjadi pengayom kami dan bukan lari dari tanggung jawab. Kakakku meninggal karena keegoisan dia. Nggak ada sesal sedikit pun yang gue liat. Dia seperti nggak peduli." Bian terus Melanjutkan kalimatnya dan mengungkap kekecewaannya yang selama ini terpendam.
"Gue nggak pernah menceritakan ini pada siapa pun. Gue malu banget punya orang tua kayak Papa." Aku menatap Bian dengan sedih.
"Jangan, Bi. Aku kadang juga punya pikiran yang sama. Tapi mencoba untuk memaafkan karena untuk Mamamu yang sudah meninggal butuh doa juga ampunan kita. Kita fokus aja pada hal itu mulai sekarang," ucapku pelan.
Bian mengusap hidungnya dan mengeraskan rahangnya.
"Gue berusaha tegar. Tapi kadang merasa rapuh dan nggak sanggup menampung ini semua. Kebanyakan teman menganggap gue sebagai pria yang tangguh. Padahal gue nggak sehebat itu. Makasih udah menyempatkan diri buat dengerin," ucap Bian dengan kepala tertunduk.
Aku tidak menjawab namun mengelus punggungnya dengan lembut. Bian tertawa dan meminum kopinya.
Kami meneruskan berbincang hingga larut malam dan akhirnya Bian memutuskan untuk menginap karena Luke tidak kunjung pulang hingga tengah malam.